Sisi Lain FIFA Matchday Jepang vs USA: Bagaimana Kedua Negara Membangun Kekuatan Liga Domestiknya?

Internasional

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Sisi Lain FIFA Matchday Jepang vs USA: Bagaimana Kedua Negara Membangun Kekuatan Liga Domestiknya?

Tim Nasional Jepang dan Amerika menggelar laga persahabatan di Merkur Spiel Arena, Jerman, Jumat (23/9). Hajime Moriyasu, pelatih Jepang, memanggil 30 pemain untuk mengikuti FIFA Matchday dan Kirrin Cup. Menariknya, hanya delapan dari 30 pemain yang bermain di liga Jepang!

Sebetulnya, Jepang terhitung baru memasuki dekade ketiga membangun sepakbola profesionalnya secara lebih serius. Berawal dari berdirinya Japan Soccer League (JSL) yang dikelola secara amatir pada 1965, kompetisi profesional bernama J League 1 digelar pada 1993 yang diikuti 10 tim. Kemudian pesertanya bertambah menjadi 16 tim pada 1997. Jumlah kuota J League 1 bertambah lagi menjadi 18 klub pada 2005 dan masih bertahan hingga sekarang.

Sementara itu, klub-klub di Jepang didanai perusahaan atau pemerintah. Distribusi pendapatan liga dibagi rata kepada 18 tim, sehingga tak ada tim yang mendapat pemasukan yang lebih besar dibanding tim lainnya. Sepakbola pun menjadi olahraga yang populer di Jepang sehingga berhasil menarik berbagai sponsor.

Popularitas Menjadi Daya Tarik Sponsor

Salah satu kunci keberhasilan J League adalah dengan menggandeng Hakuhodo (salah satu agensi iklan terbesar di Jepang) dan Sony Creative Products (yang bergerak di bidang merchandise). Pada 1993, Sony Creative Products berhasil menarik keuntungan sebesar 21.6 juta dolar dari penjualan merchandise. Dari pendapatan penyiaran televisi, Hakuhodo berhasil menarik keuntungan sebesar 59.962 juta dolar dari pendapatan sebelumnya yang hanya berkisar 1.349 juta dolar.

Melihat perkembangan yang signifikan, perusahaan-perusahaan besar pun segera ikut merapat untuk mensponsori klub, misalnya, Sumitomo Metal bersama Kashima Antlers, Nissan bersama Yokohama Marinos, dan Mitsubishi bersama Urawa Red Diamonds.

Di sisi lain, untuk menambah daya tarik sekaligus meningkatkan permainan, klub-klub Jepang mendatangkan pemain bintang dunia, seperti Zico yang merapat ke Kashima Antlers, Gary Lineker yang bergabung dengan Nagoya Grampus, Pierre Littbarski dengan JEF United, dan Ramon Diaz yang bergabung dengan Yokohama Marinos. Kedatangan pemain bintang itu semakin menarik minat banyak orang untuk menonton sepakbola di televisi, datang ke stadion, atau melihat mereka di tempat latihan.

Zico, misalnya, setelah tak lagi aktif bermain di Kashima Antlers, ia menjabat sebagai direktur teknik dari 1994 hingga 2002. Pemain Brasil lain yang pernah berkarir di liga Jepang adalah Dunga, yang membela Jubilo Iwata dari 1995 hingga 1998.

Perlahan, klub-klub tidak lagi mengandalkan penjualan tiket sebagai pemasukan utama. Klub-klub itu justru mendapat pemasukan dari iklan. Penjualan tiket masih merupakan salah satu sumber pemasukan utama, meski tidak menjadi yang terbesar.

Menurut Yoshinori Okubo, dalam The Football Business in Japan, Zico dan Dunga merupakan dua sosok yang begitu mempengaruhi sepakbola Jepang, karena mereka membawa sikap profesional kepada klub, pendekatan teknikal dan taktikal yang baru, kerja sama tim yang tegas, dan tentunya skill ala Brasil. Pengalaman dua orang itu di kancah sepakbola Internasional membantu klub untuk membentuk sikap profesional dan manajemen jangka panjang yang baik.


Data 1. Persentase perbandingan pemasukan klub-klub Jepang pada 1995 dan 2003, sumber: Yoshinori Okubo, The Football Business in Japan.

Pada 2001, ada sekitar 3,3 juta rakyat Jepang yang bermain sepakbola, berarti 2,6% populasi di Jepang pada tahun itu bermain sepakbola. Manajemen liga yang baik disertai pembinaan yang mumpuni membuat Jepang dalam waktu singkat memiliki banyak sumber daya pemain.

Pasca Jepang dan Korea Selatan menggelar Piala Dunia, klub-klub Eropa melihat ada potensi pasar besar di Asia. Dengan mendatangkan pemain Asia, klub akan mendapat atensi besar media, terutama televisi.

Hidetoshi Nakata, misalnya. Sebelum Piala Dunia berlangsung, ia sudah bermain di Eropa. Ia direkrut Parma pada 2001. Nakata menjadi salah satu pemain Jepang paling terkenal. Ketika ia bermain, televisi-televisi Jepang selalu meliputnya. Nakata juga mendapat kontrak endorsement dari beberapa jenama terkemuka, seperti Nike, Canon, MasterCard, dan Subaru.

Tak heran pada 2003, beberapa pemain Jepang berkarir di luar negeri, seperti Shunsuke Nakamura (Reggina), Atsushi Yanagisawa (Perugia), Shinji Ono (Feyenoord Rotterdam), Naohiro Takahara (Hamburg SV), Junichi Inamoto (Fulham), Takayuki Suzuki (RC Genk), dan Kazuyuki Toda (Tottenham Hotspur).

Sepakbola Menjadi Olahraga Populer

Perlahan, popularitas sepakbola di Jepang bisa menyaingi baseball, meski penonton baseball masih lebih banyak dibanding J League 1.

Data 2. Perbandingan jumlah penonton baseball dan J League 1 1993-2005. Sumber: Yoshinori Okubo, The Football Business in Japan.

Japan Football Association (JFA) pun merancang sebuah plan jangka panjang untuk industri sepakbola Jepang.

Di tahun 2030, mereka menargetkan kepadatan stadion lebih dari 80%. Target itu diraih dengan cara membangun korporasi sosial yang kuat di antara fans dan sepakbola, dengan menguatkan aspek bisnis penguatan pondasi manajemen.

JFA meluncurkan platform bernama SHAREN! sebuah platform yang bertujuan untuk menghubungkan klub-klub dengan fans, di mana digelar SHAREN Awards di setiap tahun bagi klub-klub J League.

Klub-klub J League pun merekrut pemain-pemain dari Asia Tenggara, seperti Chanathip Songkrasin dan Theerathon Bunmathan . Selain karena kebutuhan klub, di sisi lain juga untuk memperluas segmen pasar mereka. Klub J League 2, Tokyo Verdy, merekrut Pratama Arhan. Meski tak bermain di tim utama, Arhan tetap berperan di luar lapangan. Ia memperluas nama Tokyo Verdy di Indonesia dan Tokyo Verdy pun menerima eksposur luas media-media di Indonesia.

Kemunculan Sepakbola Amerika di Tengah Keterpurukan

Pelatih Amerika, Gregg Berhalter, memanggil 26 pemain untuk FIFA Matchday, termasuk melawan Jepang. Persamaannya dengan Jepang, dari 26 pemain itu hanya ada delapan pemain yang berlaga di Major League Soccer (MLS).

MLS sendiri, didirikan pada 1996, berselang dua tahun setelah Amerika menggelar Piala Dunia. Amerika saat itu bersaing dengan Brasil dan Maroko dalam proses bidding tuan rumah Piala Dunia pada 1988. Maroko hanya mempunyai dua stadion berstandar internasional, sementara FIFA mengharuskan ada 10 stadion. Ekonomi Brasil tidak dalam keadaan baik dan banyak stadion yang rusak. Memperbaiki stadion pun akan memakan biaya yang tidak sedikit.

Hal itu merupakan kesempatan emas bagi Amerika. Presiden FIFA saat itu, Joao Havelange pun sempat bertemu dengan Ronald Reagan. Direktur teknik FIFA di era itu, Walter Gagg pun menganggap Piala Dunia tak harus digelar di negara sepakbola.

Amerika sangat menginginkan menjadi tuan rumah Piala Dunia di tengah kondisi sepakbola mereka yang terpuruk. Liga sepakbola profesional Amerika sebenarnya sudah digelar sejak 1967. Ada dua liga waktu itu, yakni United Soccer League dan National Professional Soccer League (NASL). Kedua liga itu bergabung dalam naungan nama NAFL.

Sejak 1984 hingga 1992, Major Indoor Soccer League (MISL) menjadi satu-satunya liga yang bergulir di Amerika. Namun, pada 1992, MISL vakum dan digantikan oleh divisi kedua liga, yakni Continental Indoor Soccer League, sampai 1996 lahirlah MLS dengan manajemen liga yang lebih baru.

Awalnya, MLS hanya diikuti oleh 10 tim, yang dibagi ke dalam dua grup, Eastern dan Western. Sejak awal, MLS dikontrol dengan sistem single-entity. Dengan single-entity, transfer pemain, strategi marketing, kontrak televisi, dan akuisisi sponsor dipegang oleh pihak liga.

MLS menerapkan batas gaji atau pengeluaran klub yang biasa disebut dengan salary cap. Dengan model itu, pihak liga bisa mengontrol pemasukan dan pengeluaran setiap tim, sehingga tidak terjadi ketimpangan antara tim satu dengan yang lainnya. Dengan begitu, persaingan liga pun diharapkan akan semakin kompetitif. Selain itu, MLS tidak menerapkan sistem degradasi.

Tidak adanya sistem degradasi di MLS tidak semata-mata membuat MLS kompetitif dan klub-klub MLS bisa bersaing di kompetisi antar klub negara CONCACAF. Namun, sistem non-degradasi ini menjadi yang terbaik yang bisa diterapkan di Amerika karena sepakbola di sana kalah populer dibanding, misalnya, basket.

MLS tak segera meraih keuntungan di awal-awal pendiriannya. Kerugian lima musim pertama ditaksir mencapai 250 juta dolar, imbas dari beberapa tim yang sulit mendapatkan sponsor. Hal itu bisa dipahami mengingat sepakbola merupakan olahraga yang kurang populer di Amerika.

Lamar Hunt, pengusaha di bidang olahraga di Amerika dan inisiator American Football League, merupakan salah satu investor awal MLS. Selain Hunt, ada juga Philip Anschutz, dari Anschutz Entertainment Group (AEG). Sampai tahun 2004, Hunt dan Anschunts menguasai 9 dari 10 klub peserta MLS.

Investor klub-klub MLS berusaha konsisten untuk mengatur gaji pemain di harga yang masih terjangkau. Di musim perdana, salary cap bagi klub-klub MLS adalah 1.25 juta dolar, sementara batas gaji individu pemain adalah 175.00 dolar. Awalnya, dengan pertimbangan pemasaran, setiap klub diperbolehkan merekrut empat marquee player dan hanya boleh merekrut lima pemain asing. Hal ini untuk mendorong pemain Amerika lebih mendapat banyak jam terbang, sembari menyelesaikan pendidikan di National Collegiate Athletic Association (NCAA).

Pada 1997, menanggapi peraturan single-entity, para pemain MLS menggugat liga, lantaran peraturan itu mereka anggap melanggar antitrust law. Pada 2005, ditetapkanlah Collective Bargaining Agreement (CBA), yang membuat MLS mampu meningkatkan nilai harga pemain Di tahun yang sama, kenaikan gaji pemain meningkat dari 24.000 dolar menjadi 28.000 dolar.

Titik Balik Perkembangan MLS

2005 menjadi titik balik perkembangan MLS. CBA memungkinkan klub untuk mendatangkan pemain bintang dengan harga tinggi dan meningkatkan peningkatan gaji. Duog Quinn, Executive Vice President MLS tahun 2005, mengibaratkan tahun 2005 sebagai tahun pertama di mana tahun itu merupakan bagian dari keseluruhan pendekatan bisnis untuk mencetak bintang lapangan. Pada 2005, total gaji yang dikeluarkan 12 tim MLS sebesar 23,1 juta dolar.

Rating televisi siaran MLS pun meningkat. Pada 2004, rating ESPN2 sebagai penyiar meningkat 11,1%. Peningkatan rating ini tidak didapatkan dengan mudah. Pada 1996, pihak MLS justru membayar America Broadcast Company (ABC) untuk menyiarkan kompetisi sebesar 450.000 dolar ditambah biaya produksi. Di musim 2005, 95% pertandingan MLS disiarkan langsung di televisi, dengan tambahan tajuk “Soccer Saturdays.”



Data 3. 10 gaji tertinggi pemain MLS tahun 2005, sumber: Frank Pons and Stephen Standifird, Marketing of Professional Soccer in the US: Some Lessons to be Learned.


Data 4. Total pengeluaran gaji klub MLS tahun 2005, sumber: Frank Pons and Stephen Standifird, Marketing of Professional Soccer in the US: Some Lessons to be Learned.

Saat ini, MLS masih menerapkan kebijakan salary cap. Yang menarik adalah ketika David Beckham bermain di MLS bersama LA Galaxy. Mendaratnya David Beckham membuat MLS mengeluarkan peraturan baru yang memungkinkan klub-klub untuk mengeluarkan uang demi membayar pemain berlabel bintang.

Ketika Beckham datang, salary-cap MLS berjumlah 2,1 juta dollar per tim. Sementara itu, nilai gaji Beckham sekitar dua kali lipatnya. Pada akhirnya, Beckham tetap bermain di MLS, karena MLS terlalu sayang melewatkan Beckham yang saat itu masih bisa bermain di level tertinggi kompetisi setelah hengkang dari Real Madrid. Toh, kehadiran Beckham pun membuat penjualan tiket LA Galaxy dan tim yang melawan LA Galaxy meningkat.

MLS bagaimanapun menjadi rujukan pemain-pemain Eropa ketika masa keemasan mereka sudah berakhir. Musim ini, Giorgio Chiellini bermain di MLS bersama klub Los Angeles FC, sebagaimana Lorenzo Insigne yang bermain untuk Toronto FC.

Komentar