Buruknya Piala Dunia 1990 Jadi Awal Revolusi Sepakbola Dunia

Cerita

by Andreas Marbun

Andreas Marbun

Founder - CEO panditfootball.com

Buruknya Piala Dunia 1990 Jadi Awal Revolusi Sepakbola Dunia

Piala Dunia 1990 disebut-sebut sebagai Piala Dunia terburuk sepanjang sejarah. Namun, dari situlah revolusi sepakbola dunia dimulai.

Turnamen yang diadakan setiap empat tahun itu kerap mengundang perhatian masyarakat dunia. Popularitasnya bahkan mengalahkan Olimpiade yang mempertemukan sekitar 200 kontingen negara di dunia.

Namun, seperti hal lainnya, ada yang terbaik dan yang terburuk. Piala Dunia pun demikian. Meski turnamen ini selalu menghadirkan bintang kelas dunia dan menjamin kejutan, tak jarang juga memberikan cerita kurang menyenangkan. Misalnya insiden tandukan Zinedine Zidane kepada Marco Materazzi yang berujung kartu merah pada laga final Piala Dunia 2006 lalu. Insiden itu sekaligus menjadi penanda akhir kariernya.

Jika Piala Dunia 2006 menyisakan cerita perselisihan antara Zinedine Zidane dengan Marco Materazzi, maka lain halnya dengan Piala Dunia 1990. Digelar di Italia, Piala Dunia ini dikenang sebagai yang terburuk sepanjang sejarah. Hal ini ada kaitannya dengan catenaccio ala Italia.

Piala Dunia 1990 hanya mencatatkan 115 gol sepanjang turnamen atau rataan 2,21 gol di setiap pertandingan. Rataan gol tersebut merupakan yang terendah sepanjang sejarah Piala Dunia. Minim gol di fase grup, dua pertandingan semifinal yang berlanjut ke babak penalti menjadi sorotan maraknya taktik negatif yang digunakan negara peserta. Puncaknya, terjadi pada laga final Piala Dunia 1990 yang mempertemukan Jerman Barat (sekarang Jerman) dan Argentina.

Laga Final yang Negatif

Jerman dan Argentina memiliki sejarah panjang dalam persaingan mereka di sepakbola dunia. Karenanya, laga ini digadang-gadang bisa menjadi penutup sempurna untuk Piala Dunia 1990. Namun, ekspektasi penonton tak terpenuhi.

Laga tersebut berakhir untuk kemenangan Jerman Barat atas Argentina dengan skor 1-0. Meski demikian, pertandingan ini tercatat sebagai final terburuk di Piala Dunia. Bukan hujan gol yang mereka saksikan, tapi hujan pelanggaran dan kartu. Selain itu, Argentina juga menerapkan taktik negatif pada laga ini. Mereka tercatat hanya melakukan sekali tembakan. Sedangkan Jerman melepaskan 16 tembakan tepat sasaran dari 23 tembakan.

Gol dari titik putih Andreas Brehme menit ke-85 menjadi pembeda. Namun, proses menuju gol tersebut diwarnai berbagai pelanggaran kontroversial.

Argentina sendiri harus kehilangan dua pemainnya pada laga ini. Pedro Monzon menjadi pemain pertama sepanjang sejarah Piala Dunia yang dikartu merah di final. Taktik negatif yang diterapkan Argentina juga membuat mereka menjadi negara pertama yang tak mencetak gol di final Piala Dunia.

Argentina akhirnya harus gigit jari di babak final. Taktik negatif yang diterapkan untuk memaksakan adu penalti gagal total. Mereka juga kehilangan dua pemain pada laga ini. Argentina juga kecolongan melalui penalti kontroversial Jerman yang diraih setelah Rudi Voller dilanggar oleh Roberto Sensini.

Usai pertandingan, sang wasit, Edgardo Codesal (Meksiko) diincar para pemain Argentina karena menganggap dirinya `membantu` Jerman menang. Mereka memprotes keputusan penalti untuk Jerman. Meski demikian, wasit tetap bergeming dan hasil tetap menunjukkan Jerman menjuarai Piala Dunia untuk ketiga kalinya.

Franz Beckenbauer yang melatih Jerman Barat saat itu sukses menorehkan rekor sebagai pelatih dan pemain kedua yang menjuarai Piala Dunia (bersama Mario Zagallo). Lebih spesial karena Beckenbauer merupakan satu-satunya pemain yang memenangkan Piala Dunia saat menjabat sebagai kapten untuk negaranya.

Beckenbauer saat itu menyayangkan permainan negatif Argentina yang menurutnya menjadi alasan timnya kesulitan mencetak gol meski sangat dominan.

"Kami bisa saja terus bermain sabar. Kami setidaknya bisa mencetak gol sepanjang pertandingan itu. Namun, kami bermain penuh 90 menit dan saya menyayangkan Argentina tidak memberikan kami apa-apa [perlawanan]. Itu terasa seperti bukan pertandingan resmi. Mereka mencoba menghancurkan pertandingan ini. Tapi Anda tak bisa memilih lawan Anda," ujarnya dilansir The New York Times.

Perubahan Drastis dan Polemik Diving

Piala Dunia 1990 membuat FIFA melakukan sejumlah perubahan dasar untuk kualitas pertandingan sepakbola yang lebih baik. Salah satunya dengan mengubah jumlah poin kemenangan menjadi tiga poin (dari dua poin). Hal ini bermaksud untuk menambah semangat persaingan antar negara yang bertanding dalam merebut poin penuh.

Selain itu, FIFA juga menerapkan aturan backpass untuk menghindari trik penghabisan waktu dan menangkal sepakbola negatif. Pada Piala Dunia tersebut, banyak tim sengaja berlama-lama mengendalikan bola jika mereka mengalami kesulitan menyerang lawan, salah satunya Argentina. Alhasil, pengembalian bola ke kiper menjadi solusi mereka.

Pertandingan pun berjalan membosankan karena mereka memilih `main aman`. Aturan back pass berlaku jika kiper menerima bola menggunakan tangan hasil tendangan yang disengaja dari rekannya tanpa dikendalikan lebih dahulu atau langsung menerima lemparan ke dalam dari rekannya; sama seperti tendangan.

Taktik negatif lainnya yang ditemukan adalah jatuh secara sengaja (diving). Taktik ini sering ditemukan saat Piala Dunia 1990. Taktik ini rupanya turut digunakan oleh tim pemenang, Jerman. Salah satu pemainnya, Juergen Klinsmann, menjadi aktor penyebab diusirnya Pedro Monzon saat itu.

Dilansir The Guardian, Klinsmann sengaja melompat sambil melengkungkan punggungnya dan meringis kesakitan meski tekel Monzon tak mengenai dirinya. Monzon pun langsung menerima kartu merah karena `tekel hantunya` tersebut.

Hingga kini, diving masih menjadi trik andalan setiap pemain untuk mengelabui lawannya dan mengambil keuntungan permainan (misal tendangan bebas atau penalti). Dibanding gol `Tangan Tuhan` Maradona pada 1986, diving menjadi hal biasa apalagi jika timnya sedang di posisi tidak unggul. Di level internasional atau klub, trik ini kerap diperlihatkan para pemain.

Diving kerap dianggap mencederai sportivitas sepakbola. Meski begitu, diving juga tak mudah dilakukan karena butuh perhitungan untuk melakukannya agar tak dilihat secara kasat mata oleh wasit ataupun hakim garis.

Sebenarnya, ada beberapa tindakan-tindakan yang berpotensi menjadi trik negatif seperti mengganti pemain saat menit akhir, kiper sedikit maju dari garis gawang saat penalti, hingga menendang kaki lawan sambil mengangkat tangan agar terlihat tidak bersalah. Meski demikian, bagi sebagian orang, trik-trik negatif dalam sepakbola sudah menjadi bagian dari sepakbola itu sendiri dan tak bisa dipisahkan.

***

Piala Dunia 1990 memberikan pelajaran bahwa sepakbola pada akhirnya tentang menang dan kalah. Namun, saat itu mungkin mereka salah kaprah atau kebablasan dalam melakukan trik negatif untuk meraih kemenangan. Atau, bisa saja istilah "apapun caranya, apapun risikonya" juga salah ditafsirkan oleh mereka.

Soal trik-trik negatif yang digunakan di sepakbola tentu akan mengundang perdebatan. Misalnya ketika mereka membicarakan gigitan Luis Suarez kepada Giorgio Chiellini di Piala Dunia 2014. Mereka akan memperdebatkan seberapa besar hukuman yang seharusnya didapat. Yang setuju mungkin akan berkomentar, "dia seharusnya dihukum 10 pertandingan atau lebih". Sementara yang kontra mungkin menjawab, "Mengapa hukuman gigitan lebih berat dari diving?"

Yang pasti, apapun tindakan yang dianggap negatif dan merusak jalannya permainan tidak dibenarkan namun juga tidak dilarang; asal tidak ketahuan.




Komentar