Ketika Stadion Nasional Dijadikan Penjara (Kudeta Pinochet dan Sepakbola Chili Bagian 1)

Cerita

by Arienal A Prasetyo

Arienal A Prasetyo

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Ketika Stadion Nasional Dijadikan Penjara (Kudeta Pinochet dan Sepakbola Chili Bagian 1)

2 Juni 1962. Stadion Nasional, Santiago, Chile. Battle of Santiago. Chile dan Italia bertanding dalam lanjutan babak grup Piala Dunia. Chile dan Italia bertanding dengan sangat buruk - mungkin menjadi pertandingan Piala Dunia yang paling brutal. Kebrutalan pertandingan itulah yang menjadi pemicu diciptakannya sistem kartu untuk menghukum pemain.

Wasit Ken Aston asal Inggris mengusir pemain Italia, Giorgio Ferrini, pada menit keempat - perintah itu dikeluarkan secara langsung, tidak melalui kartu merah. Ferrini tak mau diusir, sehingga para polisi pun harus turun tangan untuk mengeluarkan Ferrini dari lapangan. Para pemain kemudian seperti tidak berniat bermain sepakbola, melainkan berniat melukai lawan.

Sembilan tahun berselang, Stadion Nasional juga menyajikan kebrutalan. Kali ini bukan soal sepakbola, melainkan penahanan ribuan orang yang diawali oleh sebuah kudeta militer.

Pada 11 September 1973, pemerintahan Salvador Allende yang berhaluan sosialis dikudeta oleh militer yang dipimpin oleh Jenderal Augusto Pinochet. Allende, yang didukung oleh partai-partai berhaluan kiri, terpilih menjadi presiden Chili melalui pemilihan secara demokratis pada 1970.

Allende menerapkan kebijakan yang mengangkat perekonomian negara dan menyasar rakyat kecil, seperti peningkatan layanan di bidang pendidikan, kesehatan, serta program nasionalisasi industri skala besar.

Allende didukung oleh Unidad Popular, sebuah koalisi yang dibentuk oleh partai-partai berhaluan sosialis. Dalam kecamuk Perang Dingin, mereka mencoba berkonsolidasi dengan Blok Timur, di mana Rusia menjadi negara terdepannya, untuk melawan pengaruh Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat. Di Amerika Latin, Chili menjaga hubungan dengan Kuba sebagai sesama penganut sosialisme.

Naiknya Allende menjadi situasi yang tidak menyenangkan bagi Amerika. Sebelum Allende terpilih, Amerika melancarkan narasi-narasi propaganda anti-komunisme di Chili dan negara-negara Amerika Latin lain. Tujuannya jelas, agar Chili dan Amerika Latin tak dikuasai oleh orang berhaluan sosialis.

Chili sangat bergantung kepada perdagangan tembaga. Amerika mencoba untuk melumpuhkan perdagangan Chili. Pada 1971, harga tembaga turun drastis karena Presiden Amerika, Richard Nixon, memberlakukan embargo ekonomi. Lewat CIA, Amerika juga berusaha untuk mengendalikan pemerintahan Chili sejak 1960-an dengan mendukung Eduardo Frei dari Partai Kristen Demokrat menjadi presiden.

Ketika perekonomian Chili oleng akibat embargo, Allende berusaha menjalin hubungan dengan Partai Kristen Demokrat dengan tujuan memperbaiki perekonomian nasional. Sayangnya, tujuan itu tak tercapai. Situasi kian meruncing dan terjadilah kudeta militer pimpinan Pinochet. Operasi penggulingan itu dinamai Operasi Jakarta, meniru apa yang dilakukan militer di Indonesia kepada Sukarno.

Sepakbola Chili juga punya ceritanya sendiri tentang kudeta.

Pada 11 November 1973, Chili dijadwalkan bertanding dengan Uni Soviet (Rusia) dalam babak play off leg kedua Piala Dunia 1974 di Jerman Barat. Rencananya, pertandingan Chili melawan Uni Soviet akan dihelat di Stadion Nasional, Santiago. Namun, buntut dari kudeta Pinochet, Stadion Nasional diubah menjadi kamp tahanan.

Uni Soviet tak tinggal diam. Mereka melayangkan protes kepada FIFA terkait para tahanan yang ditahan di Stadion Nasional. Hal ini bisa dipahami sebagai aksi solidaritas, mengingat Uni Soviet memiliki haluan yang sama dengan pemerintahan Allende yang telah digulingkan.

FIFA akhirnya meninjau Stadion Nasional, dan tentu saja mereka tak menemukan para tahanan karena pemerintahan Pinochet telah membersihkan Stadion Nasional agar bisa digunakan untuk bertanding. Seandainya para peninjau FIFA itu melihat ke ruang ganti, mereka akan melihat banyak tahanan yang berada di sana. Sayangnya, para delegasi FIFA itu hanya meninjau rumput Stadion Nasional.

“Kami ingin berteriak ‘Hey, kami di sini, lihatlah kami’. Namun mereka (delegasi FIFA) sepertinya hanya meninjau rumput stadion,” ujar Felipe Aguero, mantan tahanan rezim Pinochet, ketika diwawancarai David Waldstein dari The New York Times.

Stadion Nasional dalam masa kudeta dijadikan sebagai kamp tahanan selama kurang lebih dua bulan untuk menahan orang-orang yang diduga sebagai pendukung pemerintahan Salvador Allende. Lorong-lorong Stadion Nasional menjadi panggung penyiksaan para tahanan. Ada yang dilempar ke tembok, dipukul, disundut dengan puntung rokok, atau disetrum dan 41 orang dieksekusi di stadion itu.

Salah satu orang yang pernah ditahan di Stadion Nasional adalah Roberto Navarrete. Waktu kudeta terjadi, ia masih menjadi seorang mahasiswa kedokteran. Ia ditangkap ketika sedang menolong seseorang di malam kudeta.

Ia ditahan di Stadion Nasional sebelum dipindahkan ke penjara Santiago. Di penjara itu, pada suatu kali, ia menonton sandiwara kemenangan Chili atas Uni Soviet. Tentu saja itu sandiwara yang aneh. Uni Soviet, yang bagaimanapun sudah mempunyai kesamaan haluan dengan Allende, tak hadir di stadion ketika waktu pertandingan tiba.

Setelah bebas, Navarrete pergi ke Inggris, menyusul orang-orang Chili yang sudah terlebih dahulu pergi mencari suaka di Eropa.

Baca Juga: Bagaimana Chili Lolos Piala Dunia 1974 (Kudeta Pinochet dan Sepakbola Chili Bagian 2)
Baca Juga: Para Eksil dan Sepakbola (Kudeta Pinochet dan Sepakbola Chili Bagian 3)

Komentar