Menghentikan Siklus Kekerasan Sepakbola Juga Tugas PSSI

Cerita

by redaksi

Menghentikan Siklus Kekerasan Sepakbola Juga Tugas PSSI

Aditya Eka Putranda, suporter PSS Sleman, dikeroyok sekelompok orang ketika ia pulang setelah menonton pertandingan PSS melawan Persebaya Surabaya di Stadion Maguwoharjo.

Dilansir dari Harian Jogja, AKP Ronny Prasada, Kasatreskrim Polres Sleman, mengatakan bahwa awalnya ada 18 orang yang ditangkap. Berdasar peran di lokasi kejadian, yang ditetapkan menjadi tersangka ada 12 orang, dan mereka terkait dengan kelompok suporter PSIM Yogyakarta.

Aditya dan tiga orang temannya berhenti di perlintasan kereta api di Jalan Bibis Gamping, Sleman. Ketika menunggu kereta lewat, rombongan pelaku menabrak mereka dan terjadilah pengeroyokan.

Jika diamati melalui google street, di sepanjang Jalan Bibis terdapat beberapa bendera suporter PSS. Di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, pemasangan bendera ini menjadi hal lumrah.


(Diambil google street lima bulan lalu)

Fajar Junaidi, penulis buku Merayakan Sepakbola, menjelaskan bahwa makna dari pemasangan bendera itu adalah sebagai penguasaan teritori dan daerah itu sebagai basis suporter tim tertentu (Kompas). Namun, papar Fajar, hal ini berpotensi memunculkan sikap saling klaim teritori yang membuat konflik semakin meruncing.

Kejadian penganiayaan yang menewaskan Aditya Eka Putranda ini tidak muncul begitu saja, melainkan lanjutan dari pertikaian-pertikaian yang sudah terjadi sebelumnya.

Diolah dari berbagai sumber, kronik kericuhan antara suporter PSIM dan PSS adalah sebagai berikut:

2001, di Stadion Tridadi, suporter PSIM (PTLM), diusir suporter PSS.

17 November 2007, di Stadion Maguwoharjo, suporter kedua tim saling lempar di dalam stadion, dan menjalar hingga luar stadion.

11 Oktober 2008, di Stadion Maguwoharjo, suporter PSIM tidak terima dengan hasil pertandingan dan mereka membakar bendera suporter PSS.

12 Februari 2010, di Stadion Mandala Krida, suporter PSIM melakukan pelemparan ke dalam stadion.

24 November 2010, tandang pertama PSIM di kompetisi Divisi Utama. Suporter PSIM akan melawat ke Semarang, dan dihadang suporter PSS.

8 Januari 2011, suporter PSS akan melawat ke Bantul, terjadi aksi saling lempar di daerah Janti, dan melukai banyak orang.

12 Februari 2012, PSIM dan PSS sedang bertanding di lapangan AAU. Kedua suporter saling ricuh sebagai buntut aksi saling lempar saat suporter PSIM akan menyaksikan laga tandang dan dihadang suporter PSS di Jalan Solo.

13 Maret 2015, ketika PSIM bertandang ke Magelang. Di sepanjang Jalan Magelang, mereka dicegat oleh suporter PSS.

22 Mei 2016, kedua kelompok suporter terlibat kericuhan di Jalan Magelang, menewaskan satu suporter PSS, Stanislaus Gandhang Deswara.

26 Juli 2018, kedua tim bertanding di Stadion Sultan Agung, Bantul. Terjadi kericuhan yang menewaskan suporter PSS, Muhammad Iqbal.

Pada 25 Juli lalu, Tri Fajar Firmansyah, salah seorang suporter PSS Sleman, meninggal dikeroyok sekelompok orang sebagai buntut dari kerusuhan antara suporter PSIM Yogyakarta dengan suporter Persis Solo.

Perincian peran masing-masing tersangka yang mengeroyok Aditya Eka Putranda, dilansir dari Harian Jogja, adalah sebagai berikut: HN (40) memukul korban menggunakan paralon dan mengenai punggung. AE (21), memukul dengan stik serta membacok korban dengan mandau.

KI (26) menendang dan membacok menggunakan celurit. YM (22) memegangi korban. AP (29) menarik dan memiting korban. AE (18) membacok korban. AS (20) dan SM (37) menendang serta memukul korban. AB (19) memukul dan membacok dengan celurit kecil dan membawa molotov.

RF (22) menabrak korban dengan sepeda motor. FS (31) memukul korban. JN (17), pelaku provokasi dengan mengaku dikejar serombongan suporter dan melemparkan kembang api pada korban.

Barang bukti yang sudah disimpan kepolisian adalah sepeda motor yang digunakan untuk menabrak korban. Sementara itu, alat-alat untuk menganiaya korban dibuang ke sebuah kolam dan sedang dicari oleh pihak kepolisian.

Di tahun 2022 ini sudah ada empat suporter yang meninggal. Dua suporter Persib Bandung meninggal karena berdesak-desakkan mengantre tiket saat Persib akan bertanding dengan Persib Bandung pada lanjutan Piala Presiden 2022 di Stadion Gelora Bandung Lautan Api. Empat kematian dalam enam bulan. Jumlah yang sangat sangat banyak, belum lagi dengan kematian-kematian yang sudah terjadi sebelumnya. Siapa yang bertanggungjawab atas semua ini?

Kehilangan satu suporter seharusnya sudah menjadi pemicu bagi sebuah tim untuk ikut mengurai kekerasan suporter. Di sini perlu ada komunikasi antara dua tim yang suporternya bertikai untuk mencari duduk perkara dan mengentaskannya. Langkah perdamaian harus diinisiasi terlebih dahulu oleh dua tim yang suporternya bermusuhan, karena merekalah yang benar-benar mengerti luka yang sudah dan sedang terjadi.

Aparat keamanan juga ambil bagian. Dalam kasus kematian suporter yang terjadi di luar stadion, itu merupakan tindakan kriminal di mana aparat penegak hukum mempunyai supremasi hukum untuk mengusut dan menghukum pelaku. Sejauh ini, sangat jarang kita mendengar ada pihak yang dihukum secara tegas dalam rentetan kekerasan yang berujung kematian.

Dalam kasus kematian dua suporter Persib, misalnya, tidak ada pihak yang bertanggungjawab terhadap kematian itu. Aparat sebenarnya sangat bisa bekerjasama dengan PSSI untuk mengusut tuntas dan menghukum pelaku.

Kekerasan-kekerasan yang terjadi memang tak terjadi di stadion ketika pertandingan berlangsung. Namun, itu tak menjadi alasan PSSI untuk tak bertanggung jawab. PSSI harus berani mengambil terobosan kebijakan untuk menghentikan siklus kekerasan itu, karena kekerasan itu pada mulanya berawal dari sepakbola, di mana PSSI menjadi organisasi tertinggi persepakbolaan Indonesia. Sanksi jangan dianggap sebagai sekadar penggugur kewajiban tugas tanpa ada tindakan lanjutan yang tepat sasaran.

PSSI menjadi lembaga paling strategis untuk menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, seperti kepolisian, kementerian, pakar sepakbola, klub, dan suporter untuk mulai mengentaskan masalah yang sudah kelewat mengakar. PSSI harus mengambil sikap setegas-tegasnya karena, sekali lagi, konflik itu bermula dari sepakbola.

Komentar