Kebahagiaan di Balik Sepakbola Amatir

Cerita

by Redaksi2022

Redaksi2022

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Kebahagiaan di Balik Sepakbola Amatir

Apa kebahagiaan menurutmu? Apakah itu uang? Punya kekasih? Atau hanya sekedar rebahan di hari libur pasca bekerja?

Ada berbagai macam kebahagiaan, yang tentu tidak berkutat dalam tiga kriteria yang disebutkan tadi. Bagi penulis, maupun sebagian besar masyarakat Indonesia, sepakbola adalah satu dari sekian alasan menjadi bahagia.

Kendati Persatuan Bangsa Bangsa (PBB) menetapkan 20 Maret sebagai Hari Kebahagiaan Internasional, kebahagiaan itu tetap ada saat sepakbola juga ada. Kita sepakat, bahwa ketika bermain sepakbola, ratapan seakan berubah senyuman.

Sepakbola diyakini sebagai medium yang tepat menuju kebahagiaan. Pengaruh sepakbola terhadap diri kita memang sesederhana itu. Untuk mengejawantahkan menjadi kebahagiaan, hanya butuh sebuah tempat, bola, dan kawan.

Tidak ada yang lebih mewah dari bermain sepakbola. Terdengar berlebihan, tetapi kenyataannya demikian. Saat pandemi COVID-19 menerjang dunia, fase kehidupan terhenti, tidak terkecuali sepakbola. COVID-19 adalah titik balik berbuah petaka bagi pecinta sepakbola.

Perlahan, masa pandemi berangsur pulih. Sepakbola kembali bergulir dengan segala keterbatasan. Sebagian orang kembali hidup seiring kembalinya sepakbola. Sepakbola adalah kebahagiaan sekaligus penghidupan.

Di Bandung, kota penulis tinggal, sepakbola memang tak ubahnya adalah kehidupan. Bandung dan Persib Bandung sebagai dua elemen yang kadung sulit untuk dipisahkan. Satu sama lain saling melengkapi, menjadi sebuah entitas sepakbola kebanggaan warga Kota Kembang sampai Jawa Barat.

Berkat Persib dan juga sederet tim profesional di divisi utama, lanskap sepakbola berubah menjadi industri. Sepakbola sekarang ini telah dipandang sebagai jalur efektif mengeruk uang. Yang kita kenal sekarang, sepakbola adalah sportainment.

Meski telah berevolusi menjadi industri, lanskap sepakbola amatir bisa menjadi alternatif atas jenuhnya kompetisi divisi utama. Di sepakbola amatir, kebahagiaan adalah tujuan utama dari berolahraga. Di sana pula, sepakbola pinggiran dirawat dengan sepenuh hati.

Liga Amatir Bandung

Masih di kota saya tinggal, sebuah kompetisi sepakbola amatir bernama Bandung Premier League (BPL) berdiri pada 2018. BPL dikhususkan untuk tim-tim wilayah Kota Kembang sampai Jawa Barat. Satu tingkat di bawahnya, ada Bandung Champions League. Dua kompetisi ini saling terhubung.

Biasanya, pertandingan bergulir setiap pagi pada hari libur dan sore/malam pada hari biasa, di Lapangan Progresif. Jam tanding menyesuaikan dengan para pemain tim-tim amatir, yang mayoritas berkarier di luar sepakbola. Sepakbola sekedar hiburan untuk melepas penat bekerja.

Meski hanya level amatir, para penonton yang memenuhi tribun juga tidak kalah meriah. Tribun yang memuat sekitar 200 orang itu giat menyemangati tim yang bertanding. Mereka seakan menghidupkan makna sepakbola pinggiran sebagai panggung hiburan.

Berolahraga, khususnya sepakbola, memang sejatinya untuk memenuhi kebutuhan bahagia. Tidaklah penting sebuah gelar, kekalahan, uang banyak, kemampuan ciamik, pamor, atau penampilan yang serba mewah. Awali semuanya atas dasar kebahagiaan dan partisipatif, bukan gengsi bahkan prestasi.

Pentingnya Partisipatif ala Jepang

Segala yang dibutuhkan dalam kebijakan olahraga bukanlah keuntungan materi, tetapi peningkatan di level akar rumput (grassroots atau pembinaan) dan juga partisipasi sebanyak-banyaknya.

Jepang telah mempromosikan warganya untuk berolahraga. Mereka menamai kampanye tersebut, dengan sebutan Sports for All. Kebijakan tersebut bukan mengedepankan prestasi, tetapi demi meningkatkan partisipasi agar menyehatkan dan menyenangkan masyarakat.

Secara logika, jumlah atlet profesional di sebuah negara lebih sedikit ketimbang atlet amatir dan masyarakat. Untuk menciptakan lebih banyak atlet profesional, tentu perlu inspirasi dari atlet profesional agar masyarakat rajin berolahraga. Apalagi jika atlet profesional berprestasi.

Dalam proses mengkampanyekan rajin berolahraga demi prestasi, Jepang butuh waktu yang lama. Setidaknya butuh waktu kurang lebih 50 tahun. Dan bagaimana hasilnya? Tentu tidak mengecewakan. Di ranah sepakbola, Jepang adalah salah satu jawara Asia dan langganan Piala Dunia.

Jangan lupa, kampanye Sports for All tidak kenal perbedaan. Semua orang Jepang, dari anak-anak, laki-laki, perempuan, disabilitas, dan berbagai etnis bisa berpartisipasi dalam olahraga. Jepang membuat semua warganya menjadi sehat secara jasmani.

Secara tidak langsung sepakbola amatir Indonesia sebenarnya telah ikut mengkampanyekan Sports for All ala Jepang. Sepakbola amatir seperti BPL secara efektif dan kolektif menarik minat masyarakat untuk berolahraga dan bersenang-senang. Itupun tidak diorganisir oleh pemerintah sendiri.

Padahal pihak yang paling tepat untuk mengkampanyekan rajin berolahraga sebetulnya adalah pemerintah. Namun faktanya tidak ada pergerakan signifikan pemerintah Indonesia untuk menyehatkan warganya. Olahraga seakan tidak sepenting pendidikan lain.

Meski tidak penting, olahraga selalu didorong pemerintah Indonesia untuk berprestasi. Sebut saja sepakbola, dengan program jalan pintas bernama naturalisasi, Indonesia bermimpi untuk juara di level Asia Tenggara maupun Asia. Naturalisasi adalah wujud ketidakpuasan federasi terhadap pemain tanah sendiri. Padahal akar masalahnya dari pendidikan usia dini, yang tidak kunjung diperbaiki federasi.

Di tingkat anak-anak, pembinaan usia dini di Indonesia begitu buruk. Menurut legenda sepakbola Indonesia, Rochi Putiray, pembinaan usia dini tidak lain hanya soal gengsi dan kecurangan. Bahkan dalam urusan kompetisi muda menurut Rochi, sering mencuri umur demi juara.

Sebagai tumpuan utama, kata Rochi, pelatih banyak yang tidak bisa menendang bola. Maka bisa disimpulkan, jika pelatih pun tidak bisa mencontohkan hal benar, maka anak didiknya pun demikian. Apa yang terjadi sekarang, adalah buah dari kegagalan pembinaan usia dini.

Belum lagi ketika Timnas Indonesia Amputasi pergi untuk kualifikasi Piala Dunia Amputasi 2022, pemerintah tidak sedikitpun memberi bantuan uang. “Jadi kita utang demi pergi ke Bangladesh [lokasi kualifikasi],” sebut Sekjen INAF, Rushmanto.

Tanpa sepeser dana, Indonesia Amputasi berhasil lolos ke Piala Dunia 2022, yang seakan pukulan telak bagi federasi. Federasi lebih sibuk mengurusi tim sepakbola normal, yang tidak sekalipun merengkuh prestasi.

Selain sepakbola amputasi, sepakbola perempuan juga belum menemui titik terang. Terakhir, PSSI menggelar Piala Pertiwi 2022 yang dipicu oleh gagalnya Indonesia di Piala Asia Wanita 2022. Indonesia berakhir jadi juru kunci, dan tidak sedikitpun menyarangkan bola ke gawang lawan.

Dari semua permasalahan yang terjadi di sepakbola laki-laki, perempuan, dan amputasi mengakar pada pendidikan usia dini. Untuk memperbaiki semuanya, ada baiknya dimulai dari pendidikan usia dini, membuat kompetisi yang berjenjang, dan konektivitas piramida kompetisi.

Sepakbola Perlu Ditinggalkan?

Saat ini, PSSI (lagi-lagi) tengah mengejar program naturalisasi pemain keturunan. Para pemain naturalisasi ditargetkan untuk membela Indonesia pada kualifikasi Piala AFC 2023 pada Juni mendatang. Lewat jalan pintas ini, Indonesia diharapkan bisa merengkuh juara.

PSSI memang menganakemaskan tim sepakbola, ketimbang yang lainnya. Siapapun ketuanya, PSSI akan selalu berusaha memajukan Timnas Indonesia lewat naturalisasi, ketimbang melucuti masalah dari akarnya.

Masalah di tubuh PSSI – yang jelas-jelas berpengaruh ke Indonesia – telah hinggap bertahun-tahun, tanpa ada itikad memperbaiki. Lewat naturalisasi, PSSI memang ingin memberi harapan ke masyarakat. Padahal sudah terang dan jelas, naturalisasi bukan jalan keluar.

Jika terus seperti ini, penulis sarankan untuk jangan menaruh simpati terhadap sepakbola Indonesia. Sepakbola jangan terlalu dianggap serius. Jadikan sepakbola sebagai ajang hiburan untuk masyarakat semata. Partisipasi dan kebahagian berolahraga adalah hal utama.

___

Kehadiran sepakbola amatir seperti BPL, memang telah mengobati rasa kecewa kita terhadap sepakbola profesional, entah liga maupun timnas. Untuk itu, sepakbola amatir atau pinggiran jangan dianggap rendah. Dari situ, kita tahu makna kebahagiaan sebenarnya dari sepakbola.

Komentar