Ironi Persimpangan Karier Evan Dimas

Analisis

by Ifsani Ehsan Fachrezi

Ifsani Ehsan Fachrezi

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Ironi Persimpangan Karier Evan Dimas

Tahun 2013 menjadi era Tim Nasional (Timnas) Indonesia U-19 tahun menjadi idola sepakbola tanah air. Laga Piala AFF U-19 2013 menjadi panggung anak-anak itu di tengah seretnya prestasi Indonesia di kancah sepakbola internasional.

Tergabung ke dalam grup neraka yang berisikan negara raksasa Asia Tenggara yaitu Vietnam, Malaysia, dan Thailand, Indonesia dengan menakjubkan lolos babak penyisihan grup bersama Vietnam.

Riuh penonton kembali terdengar lebih keras kala Indonesia mampu mengalahkan Vietnam di laga final melalui adu penalti. Sontak kemenangan Indonesia di ajang Piala AFF U-19 2013 menjadi fenomena di kalangan masyarakat Indonesia.

Biang Juara AFF U19 dan Takluknya Korea Selatan

Kesuksesan timnas U-19 selalu menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan di media kala itu. Satu anak ajaib menjadi sorotan berkat penampilan apiknya bersama Timnas U-19. Yaitu Evan Dimas Darmono, sang jendral lapangan tengah dengan ban kapten yang melingkari tangannya.

Tampil dinamis di lapangan tengah, membuat permainan Indonesia lebih berwarna seperti layaknya tiki-taka Eropa. Kemampuan olah bola dan penguasaan bola di kaki yang kuat, menjadikannya pemain tengah ideal bagi permainan operan pendek. Selain menjaga stabilitas lini tengah, kadang kala Evan berhasil mencetak gol.

Meskipun bermain di lini tengah, lima gol yang dicetaknya selama Piala AFF U-19. Torehan Evan tersebut, menjadikannya pemain tengah paling subur di skuad Indonesia U-19 saat itu.

Belum usai berkat penampilan gemilangnya di Piala AFF, Evan seakan menunjukkan tajinya di depan publik Stadion Gelora Bung Karno (GBK) ketika melawan Korea Selatan. Di kompetisi terbesar Asia, AFC U-19, Indonesia berhasil menaklukkan Korea Selatan dengan skor 3-2. Seluruh gol diborong oleh si “Anak Ajaib” ketika melawan skuat Korea Selatan yang waktu itu diperkuat Hwang Hee-Chan.

Langkahnya di Skuad Senior Indonesia

Kepercayaan dari Alfred Riedl ketika melawan Timor Leste pada 2014, menjadi awal kiprah namanya di skuat senior Indonesia. Debut manis bersama timnas senior tidak disia-siakan begitu saja. Evan berhasil mencetak satu gol atas dalam kemenangan skor 4-0 di Stadion GBK, 12 Oktober 2012 silam.

Namanya pun terpampang di skuad Indonesia kala menatap Piala AFF 2014. Evan menjadi satu-satunya pemain Tim Nasional Indonesia U-19 yang masuk skuad senior sekaligus pemain termuda.

Meskipun di dua laga awal tidak diturunkan, laga terakhir di fase grup melawan Laos menjadi pertandingan pertama Evan di laga resmi. Bermain 90 menit Evan menyumbang satu gol dan satu assist atas pesta gol 5-1 Indonesia atas Laos.

Awal yang ciamik bagi seorang anak berusia 19 tahun tampil bersama pemain berpengalaman di skuadnya. Catatan tersebut menjadi bekal berharga bagi Evan untuk menerima panggilan Indonesia kedepannya.

Benar saja, Evan menjadi pemain muda paling sibuk dalam membela timnas Indonesia. Di tahun 2015, dirinya dipanggil untuk membela Indonesia di SEA Games bersama beberapa pemain U-19 lainnya, seperti Hansamu Yama, Hargianto, Paulo Sitanggang, Zulfiandi, Ilham Udin dan Muchlis Hadi. Di tahun selanjutnya, Evan berkembang di usia emasnya dan menjadi andalan bagi timnas senior.

Paling Langgeng Menghuni Skuad Senior Indonesia

Piala AFF 2016, menjadi era awal bagi Evan yang dipercaya sepenuhnya mengemban timnas Indonesia yang saat itu masih berusia 21 tahun. Meskipun hanya membukukan 156 menit bermain dan dua kali tampil sebagai starter, setidaknya Evan dan Hansamu Yama yang mengemas 390 menit bermain lebih baik dari rekan tim seperjuangannya di era juara tahun 2013.

Tahun demi tahun dilalui oleh Indonesia. Dari satu tangan pelatih ke tangan pelatih lainnya, Indonesia seakan menunjukkan inkonsistensinya dalam meramu pemain. Skuad juara AFF U-19 hinggap dan pergi begitu saja, tergusur oleh keinginan pelatih yang berbeda setiap era nya.

Hingga penghujung tahun 2019 di kompetisi resmi Piala AFF, nama lain seperti Zulfiandi, Putu Gede dan Hargianto, masih menghiasi wajah skuad senior dari raut wajah juara era 2013.

Setelah timnas Indonesia ditunggangi Shin Tae-yong, jasa anak-anak yang kala itu menjuarai AFF kelompok usia tahun 2013 dengan drastis tergerus. Hingga terakhir, di ajang Piala AFF 2020 hanya Evan yang langgeng mengisi skuad Indonesia.

Mulai Terseok “Generasi Baru”

Ajang Piala AFF 2020 menjadi pembuktian segelintir pemain dan racikan Shin Tae-yong di sebuah turnamen. Shin Tae-yong memboyong skuad yang lebih segar dengan rerata usia 23 tahun. Fachruddin dan Evan menjadi “dedengkot” diantara pemain muda tersebut. Keduanya mengemas penampilan terbanyak di timnas senior, sekaligus pernah membela di era yang sama pada Piala AFF 2016 dan 2018.

Evan dipercaya menjadi sosok pemimpin di lapangan. Dejavu delapan tahun silam dengan bergerak sentral di lini tengah dengan ban kapten membalut tangannya, Evan berperan dalam mengatur pola dan ritme permainan.

Namun Evan hanya dua laga awal saja tampil sebagai starter. Di dua laga tersebut, Evan mengemas dua gol dan satu assist dari total 9 gol yang dicetak Indonesia.

Memasuki pertandingan ketiga, Shin Tae-yong memakai strategi bertahan penuh dengan memasang lima pemain belakang. Dua gelandang, dua sayap dan satu striker. Tidak ada nama Evan dalam susunan awal pertandingan melawan Vietnam.

Shin Tae-yong lebih memilih Ricky Kambuaya sebagai motor serangan dari lini tengah. Rachmat Irianto berperan sebagai gelandang bertahan dan membantu lini pertahanan ketika Indonesia tertekan. Ketika menyerang, Alfeandra Dewangga yang berposisi bek tengah difungsikan lebih maju membantu lini tengah dalam mengalirkan bola.

Begitu pula hingga laga final putaran kedua, Shin Tae-yong lebih memilih jasa Irianto dan Kambuaya sebagai penghuni lini tengah Indonesia. Keduanya merupakan pemain dengan tipikal agresif dalam menekan lawan. Irianto difungsikan menekan agresif setengah lapangan Indonesia dan Kambuaya di setengah lapangan lawan. Terbukti, keduanya selalu menjadi pilihan awal Shin Tae-yong sepanjang Piala AFF 2020.

Sejak pertandingan ketiga itu, Shin nampak menginginkan skuatnya lebih agresif sejak bola di lini. Kemudian duet Irianto dan Kambuaya nampak memberikan jawaban dan kebutuhan Shin untuk mengarungi kompetisi sampai laga puncak.

Menjadi Pilihan Kedua dalam Skema Permainan Shin Tae-yong

Perannya di lini tengah menjadi opsi cadangan di dalam kantong taktikal Shin Tae-yong. Peran Evan selalu digunakan di babak kedua sebagai penyeimbang ritme permainan Indonesia. Permainan yang terlalu agresif dan tekanan dari lawan selalu dinetralisir oleh aliran bola dari kaki Evan. Selain itu, peran Evan menjadi penjaga keunggulan ketika sedang unggul atau penambah keunggulan ketika Indonesia membutuhkan skor tambahan.

Seperti di laga melawan Malaysia di pertandingan penentu juara grup B. Indonesia sedang unggul 3-1 atas Malaysia. Butuh satu gol untuk Indonesia mengukuhkan dirinya sebagai juara grup. Evan masuk di menit ke-76 menggantikan Irianto. Memanfaatkan keahliannya dalam tendangan penjuru, Evan mengirimkan bola kepada Elkan Baggot yang berpostur tinggi dan tercipta sebuah gol keempat. Skor 4-1 atas Malaysia mengukuhkan Indonesia sebagai juara grup.

Bertemu tuan rumah Singapura di semifinal, Indonesia memiliki tekad besar untuk meraih tiket ke final. Unggul 1-0 berkat gol Witan, Indonesia seakan tidak puas atas kemenangan itu. Pada menit ke-66, Evan dimainkan menggantikan Irianto. Peran gelandang bertahan digantikan oleh Evan yang diharapkan bisa bermain lebih dinamis dan menyerang.

Alhasil, bukannya menambah pundi-pundi gol, Indonesia malah kebobolan di menit ke 70, empat menit setelah posisi gelandang bertahan diganti.


Jika dilihat dari skema gol di atas, berawal operan panjang Dewangga yang terkesan terburu-buru sehingga bola jatuh di kaki lawan. Posisi Evan sedang berada di setengah lapangan lawan. Ketika bola berada di kaki Faris Ramli yang berada sekitar lima meter dari Evan, ia lebih memilih menjaga posisi Shahdan Sulaiman daripada menjegal Faris yang sedang membawa bola. Evan berlari-lari kecil sambil memperhatikan Faris melewati rekannya satu persatu.

Kondisi tersebut berkaitan dengan pentingnya peran sosok Irianto sebagai gelandang bertahan yang agresif. Sementara Evan, terlihat kurang agresif pada situasi tersebut. Jika ingin mengembalikan tempatnya di skuat utama Shin, maka Evan mesti segera mungkin beradaptasi dengan filosofi permainan pelatihnya tersebut.

Wejangan Evan Dimas

Karir Evan muda tentu dinilai cemerlang ketika membela Indonesia kelompok usia muda hingga tembus ke tim senior. Sebuah pelajaran berharga yang ia dapat dari membela timnas senior di usia belia, Evan turunkan kepada para juniornya yang kini membela timnas senior.

Di laga persahabatan melawan Timor Leste, dua penggawa muda, Ronaldo Kwateh dan Marselino Ferdinan mampu menembus skuad senior di usia yang masih belia, 17 tahun. Evan memberi pesan kepada pemain muda itu agar terus mempertahankan posisinya di skuad senior selama mungkin dan berkontribusi baik bagi tim.

Salah satu tips yang ia sarankan kepada pemain muda agar membentangkan sayapnya berkarir di luar negeri untuk menjaga mental dan mengasah kemampuannya. Evan yang sempat trial di Espanyol B, setidaknya membawa bekal berharga karena ada ilmu yang ia petik di negara dengan persepakbolaan yang lebih maju daripada Indonesia. Kemudian, ia juga pernah membela Selangor di Malaysia.

Penyesalannya terasa ketika ia sudah menginjak usia emas (sekarang 26 tahun). Dalam sesi jumpa pers sebelum menghadapi Timor Leste, hari Kamis 27 Januari 2022, Evan menyatakan penyesalannya tidak memanfaatkan kesempatan bermain di luar negeri. “Kalau ada kesempatan bermain di luar negeri, kamu (Marselino dan Ronaldo) main di luar negeri,” pungkasnya di sesi jumpa pers, hari Rabu 26 Januari 2022.

Dikutip dari wawancaranya bersama TribunJakarta.com, sebelum Evan bergabung dengan Persija Jakarta, beberapa tawaran dari klub Malaysia dan Thailand menghampiri dirinya. Yakni Chonburi yang menginginkan jasa dirinya sejak masih membela Bhayangkara FC. Ketika berpindah ke Selangor dan Barito, Chonburi masih mengincar nama Evan dan menyodorkan kontrak selama dua tahun.

“Kemarin itu ada Chonburi dari Thailand, terus juga ada Selangor dari Malaysia. Chonburi itu sudah lama mengincar saya, pas abis dari Bhayangkara FC dan saya mau ke Selangor mereka sudah mengajukan penawaran. Terus sebelum kemarin ke Barito juga, Chonburi terus kontak saya minta gabung dua tahun di sana,” ujar Evan.

Kesempatan itu Evan biarkan begitu saja. Padahal, liga Thailand dari dulu hingga kini kualitasnya lebih baik dibandingkan liga Indonesia. Maka dari itu, pernyataan penyesalan Evan di jumpa pers tercetus saat para pemain muda kini ramai diisukan hijrah ke klub luar negeri.

Di sisi lain, pernyataan Evan terdengar menjadi sebuah pilu dan penyesalan. Apalagi tempatnya di skuat utama Indonesia era Shin menjadi mengabur. Karirnya yang diperkirakan akan melejit di luar negeri sejak muda, justru terjebak di sebuah liga yang penuh dengan perkara dan angkara. Tapi waktu masih, ada karena Evan masih dalam usia yang produktif. Artinya, kesempatan mencari ilmu ke luar negara masih ada dan belum sirna.



Komentar