Disetrap Guru dan Panenka

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Disetrap Guru dan Panenka

Oleh: Dodi Pradipta

Hari Minggu terakhir di bulan Desember, 19 tahun lalu. Saya, yang masih seorang bocah sekolah dasar, berdebar menantikan Final Piala Tiger 2002 antara Timnas Indonesia melawan Thailand di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), Jakarta.

Timnas Indonesia belum pernah sekalipun meraih gelar di kejuaraan ini. Harapan melambung. Utamanya setelah gol semata wayang dari tandukan Bambang Pamungkas melawan Malaysia di semifinal membawa Garuda terbang kembali ke partai puncak untuk yang kedua kalinya berturut-turut.

Seharusnya, saya menyelesaikan sebuah tugas sekolah di hari Minggu itu. Saya lupa persisnya tugas apa. Yang pasti saya ingat: saya tak mengerjakannya.

Peduli setan. Pikiran saya hanya ingin menonton siaran partai final itu di televisi. Saya bahkan sampai berbohong kepada ibu, mengatakan bahwa tidak ada pekerjaan rumah untuk keesokan harinya.

Lalu, saya terdiam, merekam momen ketika Hendro Kartiko meninju angin saat sundulan Chukiat Noosarung membuka keunggulan Thailand pada menit ke-26. Saya semakin terdiam ketika Thailand menggandakan kedudukan melalui gol Therdsak Chaiman 12 menit kemudian.

Ketika jeda babak pertama, saya menyiapkan buku-buku yang akan menjadi mata pelajaran esok hari. Persetan dengan tugas. Timnas ketinggalan 0-2!

Tak sampai dua menit babak kedua berjalan, Indonesia memperkecil kedudukan melalui gol dari Yaris Riadi. Lalu, tendangan Gendut Doni dari sisi kiri gawang Thailand berhasil membuat skor menjadi sama kuat antara kedua tim. Saya bersorak, kegirangan, layaknya bocah saat main hujan-hujanan.

90 menit selesai. Babak perpanjangan waktu pun tidak mengubah skor. Pertandingan dilanjutkan melalui adu penalti.

Saya masih ingat ekspresi kesedihan Bejo Sugiantoro saat eksekusi penaltinya membentur mistar gawang Thailand. Kira-kira seperti itu juga ekspresi saya. Setelah Firmansyah turut gagal, saya sudah menutupi muka.

Partai final itu terasa menyebalkan saat penalti penentuan dari Thailand dieksekusi Dusit Chalermsan dengan teknik panenka. Selebrasi mereka saat adu penalti juga membuat saya sebal, meski diam-diam di dalam hati, saya menganggap tendangan panenka pemain Thailand tersebut keren.

Keesokan harinya, saya bersama beberapa teman disetrap di depan papan tulis selama beberapa jam. Alasan kami sama: Timnas Indonesia terasa lebih penting daripada tugas sekolah. Saya menunduk. Bukan malu, apalagi menyesal karena tidak mengerjakan tugas, melainkan kekalahan semalam membuat saya suntuk sesuntuk-suntuknya, seakan isi kepala saya disetrap oleh panenka.

19 tahun telah berlalu. Kejuaraan sudah berubah nama. Sialnya, prestasi timnas Indonesia di ajang ini tetap sama; sebatas jadi yang terbaik kedua.

*Tulisan ini merupakan salah satu pemenang Pandit Challenge tulisan bertema "Apa Piala AFF Pertamamu?"

**Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar