Merawat Memori dari Rental PS hingga Genggaman Gawai

Cerita

by redaksi

Merawat Memori dari Rental PS hingga Genggaman Gawai

Siang itu, matahari panas menyengat ubun-ubun, kala berjalan melewati gerbang sekolah. Setibanya di rumah, bergegas mengganti baju yang telah dibasahi keringat. Dengan celana seragam merah yang masih melekat, aku berlari menuju gang pojok beberapa puluh meter dari rumah, berharap tempat itu masih sepi.

Setibanya di depan lawang pintu, sandal berjejer sesak memenuhi teras. Riuh berbagai video game menggema hingga beberapa meter. Suara senapan, riuh penonton dan komentator sepakbola, hingga suara mobil sport bergabung bising menjadi satu.

Tiga konsol PS 2 dengan tv tabung berjejer di dalam satu ruangan berukuran kira-kira 3x3 meter menjadi arena bermain yang asik. Dengan uang lima ribu rupiah di saku dada kiri, aku menunggu sembari menatap jarum jam dinding menujukan angka satu. Kira-kira dua jam lamanya aku harus menunggu giliran untuk bermain. Wajah tak asing teman-temanku mengisi pengapnya ruangan rental, sesekali tak sengaja menghirup sesaknya asap rokok dari abang-abang penjaga rental.

Ketika asik menyaksikan temanku bermain sebuah game balap, TV nomor satu terhenti pertanda waktu habis. Saat itu rekanku mengajak empat rekan lainnya termasuk aku untuk bermain game sepakbola dengan mode turnamen. Ide yang bagus, karena saat itu bermain bersama merupakan jalan terbaik untuk menghemat uang jajan. Merogoh uang dua ribu rupiah untuk satu jam saat itu sangat berat, khawatir jatah jajanku tidak cukup untuk bermain hingga larut sore.

Klub haram

Kami patungan seribu per kepala. Alhasil, kami bermain selama 150 menit, alias dua jam setengah. Memasuki mode pemilihan tim, kami memilih berdasarkan hasil gambreng. Siapa cepat dia dapat. Metode itu yang kami pegang dan hormati.

Baca juga: Serunya Aktivitas FIFA Mobile Indonesia

Inter Milan, AC Milan, Juventus, Chelsea, Arsenal, Liverpool, Barcelona, Real Madrid, dan Bayern Muenchen menjadi rebutan. Satu nama klub dihilangkan dalam perebutan: Manchester United. Kala itu, klub ini haram dipakai ketika main mode cup bersama, bahkan hingga orang dewasa pun melakukan hal serupa. Salah satu momoknya adalah Cristiano Ronaldo.

Tidak hanya di atas lapangan, aura ketakutan kepada Setan Merah ini menjalar hingga atas karpet rental PS. Betapa menakutkannya susunan skuad MU yang saat itu dihuni oleh pemain-pemain terbaik di posisinya.

Formasi 4-4-2 populer dipakai untuk MU kala itu. Ujung tombak dihuni oleh Wayne Rooney dan Berbatov, sisi sayap oleh Cristiano Ronaldo dan Ryan Giggs, tengah oleh Paul Scholes dan Park Ji Sung, lini bertahan dihuni oleh Gary Neville, Rio Ferdinand, Nemanja Vidic, dan Patrice Evra, hingga benteng terakhir pertahanan dihuni oleh Van der Sar.

Para pemain rental, ketika menggunakan MU, memiliki cara bermain yang serupa. Sisi sayap dominan oleh Ronaldo menggiring dan menggocek pemain demi pemain dengan kecepatannya. Saat itu, tidak ada yang menandingi kecepatan Ronaldo sehingga dengan leluasa sang pemain mampu menggocek kesana kemari hingga kotak penalti,diakhiri dengan tendangan kencangnya. Sesekali umpan direct menuju dua pemain depan yakni Rooney maupun Berbatov menjadi hal yang tidak diinginkan ketika berhadapan dengan MU.

Belum lagi sulitnya membongkar solidnya pertahanan MU. Umpan silang dari sayap selalu dimentahkan oleh Rio Ferdinand. Menyerang dari lapang tengah selalu dijegal Paul Scholes, Park Ji Sung, dan Vidic. Belum lagi tendangan jarak jauh yang selalu dengan mudah dihalau oleh penjaga gawang Van der Sar.

Tidak hanya kekuatan Ronaldo dan para pemain utama saja. Komposisi MU memiliki kekuatan sepadan hingga bangku cadangan. Keberadaan Nani, Carlos Tevez, Michael Carrick, Anderson, Jonny Evans, hingga Darren Fletcher menjadi alasan lain betapa menakutkannya klub yang bermarkas di Old Trafford tersebut.

Robot dari Internazonale dan Tendangan Roberto Carlos

Dengan membredel MU, opsi pertama seorang pemain saat mendapatkan giliran pertama untuk memilih klub adalah Inter. Bukan tanpa alasan, Inter saat itu dihuni oleh pemain dengan kekuatan diatas rata-rata, yakni Adriano.

Dalam sebuah permainan sepakbola konsol, Adriano dianugerahi kemampuan yang tidak masuk akal sebagai seorang striker. Kekuatan menyerang 90, body balance 90, akselerasi 90, dan kekutan tendangan 99 membuat Adriano tidak terhentikan.

Pemain yang berduel lari dengan Adriano selalu tersungkur karena body balance-nya yang kuat. Penjaga gawang tidak dapat menghalau sepakan keras Adriano bahkan dari luar kotak penalti. Seperti memakai CR7, pemain yang menggunakan Inter Milan akan selalu bertumpu pada kekuatan Adriano.

Adriano bukan satu-satunya pemain "sempurna" dalam sejarah gim sepakbola. Sebelumnya, adalah Roberto Carlos yang dianugerahi memiliki kekuatan spesial. Sering kali para pemain menggunakan Carlos untuk eksekusi tendangan bebas, berusaha merekonstruksi gol ajaibnya ke gawang Fabian Barthez pada 1997. Hal ini berkat kekuatan tendangannya yang tak tertandingi.

Kendati posisi asli Carlos adalah bek sayap, tak jarang yang menjadikannya sebagai seorang striker. Jika kesepakatan bersama melarang Carlos menjadi penyerang, maka upaya terbaik yang dilakukan adalah menggiring bola menggunakannya hingga sepertiga akhir lapangan dan langsung melepaskan tendangan. Beberapa percobaan terkadang sukses terkadang nihil. Metode ini biasanya dilakukan ketika pemain buntu atau telah unggul.

Merawat Memori

Dari sekian banyak hal yang tak terlupakan di era rental PS, ketiga hal yang disebut merupakan memori yang paling melekat. Aku yakin, memori serupa terukir dalam benak para "atlet" rental PS di penjuru daerah lain.

Gim sepakbola saat itu menjadi hal yang wajib bagi seseorang yang hendak membeli PS. Jutaan rupiah rela dihabiskan oleh orang tua untuk membelikan sebuah PS sebagai hadiah prestasi akademik hingga untuk menutup mulut anak yang terus merengek. Puluhan hingga ratusan ribu dikeluarkan untuk membeli perlengkapan lainnya, termasuk membeli game sepakbola.

Perkembangan usia berbarengan dengan berkembangnya teknologi. Konsol, termasuk PS mengalami perkembangan yang signifikan. Game sepakbola pun memiliki grafik hingga gameplay yang jauh lebih beda dengan belasan tahun yang lalu. Mulai dari kemiripan wajah, detail rumput lapangan, gemuruh stadion, pemain yang lengkap, hingga mode karier kini bisa dimainkan dalam genggaman gawai.

Jika dulu harus berjuang melewati bosan menunggu giliran, menghabiskan uang jajan, hingga bergelut dengan asap rokok di dalam ruangan, kini bermain bersama teman bisa dilakukan dengan merebahkan badan dan tidak terbatas jarak serta waktu.

Satu hal yang sama: kebahagiaan mentertawakan kesedihan teman yang kalah.

Komentar