Gelombang Pertama Aksi Protes Bonek Terhadap PSSI

Cerita

by redaksi

Gelombang Pertama Aksi Protes Bonek Terhadap PSSI

Sepanjang tiga bulan sejak Liga 1 bergulir pada 27 Agustus 2021, sejumlah permasalahan tak henti-hentinya menerjang federasi sepakbola Indonesia. Pengaturan skor dilakukan oleh klub Liga 2, Perserang Serang. Sebanyak enam pemain dijatuhi sanksi oleh federasi karena terbukti mencoreng sportivitas.

Permasalahan lain hadir dalam bentuk kepemimpinan wasit. Dari sekian banyak kontroversi kepemimpinan dan keputusan wasit dalam pertandingan liga Indonesia, pertandingan Persela vs Persebaya berbuah aksi protes dari pendukung.

Dalam pertandingan tersebut, wasit yang memimpin pertandingan mengambil beberapa keputusan kontroversial. Pertama, tendangan striker Persebaya, Jose Wilkson, tidak disahkan sebagai gol oleh wasit meski telah melewati garis gawang. Kedua, gol Ivan Carlos disahkan oleh wasit meskipun posisinya telah melewati garis pertahanan akhir Persebaya alias offside.

Yang lucu, sang pencetak gol justru mengakui jika dirinya pada posisi offside. Dalam postingan Instastory yang diunggah melalui akun @_ivan_carlos_8_, pemain Persela tersebut berkata “wasit di Indonesia banyak melakukan kesalahan di setiap pertandingan, ya saya dalam posisi offside. Tapi itu salah wasit”.

Kesalahan demi kesalahan dari sang pengadil menginisiasi Bonek (sebutan pendukung Persebaya) melakukan aksi protes terhadap Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI). Aksi tersebut sebagai bentuk kekecewaan Bonek terhadap kepemimpinan wasit hingga tindak lanjut komisi disiplin dan komisi wasit yang bias akan sanksi pengistirahatan yang dijatuhkan kepada wasit Musthofa Umarella. Ketua Komisi Wasit, Ahmad Riyadh tidak menjelaskan detail dari hukuman yang diterima oleh Musthofa selaku wasit.

Bonek berusaha menggruduk kantor PSSI Jatim untuk menyuarakan aspirasinya. Seruan aksi digaungkan Bonek, salah satunya melalui akun @Greennord27 yang diunggah pada tanggal 9 November 2021, yang berencana melakukan aksi bertepatan pada hari pahlawan, yakni 10 November 2021.

Beberapa poin aspirasi yang ingin disampaikan oleh Bonek, antara lain:

  1. Revolusi total sistem sepakbola nasional,
  2. Tindak tegas semua wasit sepakbola Indonesia yang tidak menjunjung semangat fairplay, respect, dan sportifitas,
  3. Transparansi dan publikasi hukuman kepada perangkat pertandingan yang dikenai sanksi, terutama pertandingan antara Persebaya Surabaya vs Persela Lamongan yang digelar tanggal 21 Oktober 2021,
  4. PSSI segera melakukan penguatan sistem untuk membantu kepemimpinan wasit di liga 1 dengan penambahan teknologi VAR, atau penambahan jumlah hakim garis terutama garis gawang di setiap gawang tim yang bertanding,
  5. Bila aspirasi kami ini tidak didengar dan terjadi kembali kesalahan-kesalahan serupa, kami akan melakukan aksi serentak secara nasional dengan jumlah masa aksi lebih besar, terhitung 14 hari setelah surat ini diserahkan.

Dari lima tuntutan yang disuarakan Bonek melalui surat kepada PSSI ini terlihat jelas kekecewaan atas kepemimpinan wasit sebagai pengadil lapangan. Tuntutan berfokus pada perbaikan kualitas wasit dalam memimpin pertandingan, karena keputusan-keputusan dagelan selalu terjadi berulang (dan akut).

Pada 9 November 2021 malam, Bonek, Manajemen, dan Asprov PSSI mengadakan pertemuan dan berdiskusi mengenai aspirasi yang dimaksud. Dengan ini, gerakan aksi yang dilakukan oleh Bonek di hari pahlawan batal digelar. Namun, seperti yang tertulis dalam poin kelima tuntutan, Bonek akan memberi waktu kepada PSSI untuk berbenah dan menempati aspirasi yang telah diterima. Jika masih belum berbenah, Bonek siap turun dengan jumlah massa yang lebih besar.

Gelombang Protes Suporter terhadap PSSI

Gerakan Bonek menjadi kali pertama pendukung salah satu klub Indonesia melakukan aksi terhadap PSSI, terhitung sejak bergulirnya kompetisi di era pandemi. Ketika basis pendukung lain ramai-ramai melakukan aksi terhadap manajemen tim sendiri, Bonek dapat dikatakan menjadi pendukung paling bising dalam melakukan protes kepada federasi.

Melihat ke belakang, kurang lebih sepuluh tahun silam, PSSI sudah pernah mencicipi kisruh dengan alasan lain. Jajaran kepemimpinan PSSI periode 2003-2011, yang saat itu dinahkodai oleh Nurdin Halid, ditempa kritikan pedas para penikmat sepakbola Indonesia. Bagaimana tidak? Nurdin mendekam di jeruji besi saat itu masih menjabat sebagai Ketua Umum PSSI di tahun 2004.

Kisruh PSSI tahun 2010-2011 “didukung” oleh minimnya prestasi yang diraih oleh Timnas Indonesia. Hal tersebut membuat kelompok yang mengatasnamakan diri Forum Suporter Indonesia melakukan aksi protes di depan Kantor PSSI di kompleks Stadion Utama Gelora Bung Karno agar Nurdin Halid segera turun dari jabatannya. Momen aksi tersebut bertepatan dengan pertandingan Indonesia menghadapi Thailand pada tanggal 7 Desember 2010.

Tidak hanya sampai di situ, kabar pencalonan diri Nurdin Halid sebagai kandidat Ketum PSSI periode 2011-2015 menjadi jilid baru permasalahan federasi. FIFA sebagai federasi sepakbola tertinggi dunia tidak mengizinkan Nurdin Halid kembali menduduki kursi sebagai Ketum PSSI. Alasannya tertuang dalam Statuta FIFA pasal 23 ayat 4, berbunyi “The member of the executive comitee must not have been previously found guilty of a criminal offence.” Kurang lebih berarti, “Anggota panitia pelaksana tidak boleh pernah dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana.”

Kongres PSSI yang dilaksanakan di Tabanan, Bali, pada 21-24 Januari 2011 memicu gerakan pendukung, terutama Bonek, untuk menggeruduk lokasi kongres tersebut. Ratusan Bonek mendatangi Hotel Pan Pacific Bali Nirwana Resort pada hari kedua kongres, menyuarakan tuntutan dan kritik terhadap kongres yang diyakini siap melapangkan jalan Nurdin Halid kembali maju sebagai kandidat ketum.

Maju ke tahun 2014, Gelombang protes kepada PSSI kembali digaungkan Bonek perihal dualisme Persebaya. Bonek ramai-ramai turun ke jalan untuk memboikot kongres PSSI yang dilaksanakan di kota pahlawan saat itu. Alasan Bonek memboikot kongres tersebut adalah ketidakmampuan PSSI dalam menyelesaikan kasus dualisme klub Persebaya 1927 dan Persebaya Surabaya.

Lahirnya Persebaya kloningan tak lain dan tak bukan adalah ulah dari PSSI. Persebaya 1927 (asli), yang saat itu berkompetisi di Liga Premier Indonesia (LPI), tidak ingin enggan berpartisipasi di Liga Super Indonesia (LSI) yang diakui PSSI. Mereka jengah dengan bobroknya federasi maupun operator dalam mengatur liga. Maka dari itu, PSSI mensahkan Persebaya Surabaya bentukan dari Wishnu Wardhana (yang sebelumnya bernama Persikubar Kutai Barat) untuk mengarungi LSI.

Hingga pada tahun 2015, tepatnya pada tanggal 21 September Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (Ditjen KI) Kemenkumham memutuskan jika logo dan nama Persebaya Surabaya milik Persebaya 1927. Hal ini menjadi lembar penutup bagi dualisme Persebaya.

Gelombang protes selanjutnya dilakukan oleh 14 elemen pendukung sepakbola Indonesia pada 2019. Masa demonstran menghampiri tempat kongres tahunan PSSI yang sedang dilaksanakan di Bali saat itu. Demontran melakukan aksi di depan Hotel Sofitel Bali Nusa Dua Beach Resort dengan menyuarakan dukungan terhadap Satgas Antimafia Sepak Bola agar mengusut tuntuas mafia dalam tubuh PSSI.

Hasil “bersih-bersih” dalam tubuh PSSI oleh Satgas Antimafia Sepak Bola mengasilkan 11 tersangka yang beberapa di antaranya merupakan pengurus PSSI. Dari 11 tersangka, secara spesifik empat tersangka masuk dalam jajaran kepengurusan PSSI, yakni Exco PSSI, Johar Lin Eng, mantan anggota Komite Wasit PSSI, Priyanto, Anik Yuni Artikasari, mantan anggota Komisi Disiplin PSSI, Dwi Irianto (Mbah Putih). Selain pengurus PSSI, satu nama wasit, yakni Nurul Safarid menjadi tersangka. Nama terakhir, Pelaksana tugas (Plt) Ketum PSSI, Joko Driyono, juga ditetapkan sebagai tersangka setelah melakukan perusakan barang bukti kasus pengaturan skor.

Saat ini, Bonek seorang diri menggaungkan aspirasi-aspirasinya terhadap kebobrokan PSSI, dan hingga saat ini, belum ada gerakan lain untuk mendampingi langkah Bonek. Bergerak bersama seharusnya merupakan cara terbaik agar harapan terciptanya kompetisi yang (benar-benar) berintegritas terdengar lebih bising dan didengar secara seksama oleh telinga federasi.

(IE)

Komentar