Guardiola (Belum Tentu) Bisa Sukses Jika Menangani Kesebelasan Kecil

Cerita

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Guardiola (Belum Tentu) Bisa Sukses Jika Menangani Kesebelasan Kecil

Ada banyak cara menuju kesuksesan. Waktu yang dibutuhkan juga bermacam-macam. Bahkan, arti kesuksesannya sendiri masih bisa diperdebatkan. Bagi kesebelasan kecil, sekadar lolos ke Liga Champions UEFA saja bisa tergolong sebuah kesuksesan. Namun bagi kesebelasan besar, juara Liga Champions tiga kali berturut-turut baru bisa dibilang sukses. Semuanya relatif.

Itu yang sedang dirasakan oleh Josep "Pep" Guardiola Sala pada awal bulan Mei 2021.

Setidaknya sebelum 2021, terakhir kali Pep merasakan menjadi juara Liga Champions adalah pada musim 2010/11 bersama FC Barcelona. Sejak itu, dia membutuhkan sepuluh tahun dan sekitar £1 miliar untuk sekadar merasakan final Liga Champions lagi.

Selama tiga musim bersama FC Bayern Muenchen (2013–2016) plus sisanya bersama Manchester City (sejak 2016), final Liga Champions terkesan menjadi sesuatu yang sangat sulit dia raih. Padahal, tiga kesebelasan terakhir yang Guardiola tangani bisa dibilang adalah kesebelasan besar dengan sumber daya hampir tak terbatas. Pantas saja semua orang bertanya-tanya: Apakah Pep beneran jago? Apakah Pep bisa kalau disuruh menangani kesebelasan cupu?

Sebelum menghakimi Guardiola, mari kita bercermin. Sebetulnya, Pep Guardiola adalah cermin yang hampir paripurna buat kita. Kenapa bisa begitu?

Lihat saja, perjalanan karier kepelatihan Guardiola sampai 2021 melibatkan tiga kesebelasan besar: Barcelona, Bayern Muenchen, dan Manchester City. Agak mengesampingkan di sana ada Barcelona B sebagai awal karier serta periode cuti panjang (sabbatical) pasca Barcelona, perjalanan karier Pep di atas adalah tipikal perjalanan karier yang umumnya kita jalankan juga... di video game.

Ambil contoh paling gampang, berdasarkan salah satu penelitian di University of Southampton, saat kita bermain gim Football Manager, FIFA, Pro Evolution Soccer, atau yang sejenisnya, rata-rata kita langsung ingin menangani kesebelasan papan atas.

Padahal dalam dunia nyata, Guardiola saja memulainya dari Barcelona B. Dari contoh lain, ada juga banyak manajer yang memulai karier kepelatihan mereka dari tingkat yang tidak jelas. Di gim FM, kita bisa memulai sebagai pengangguran atau unemployed.

Melihat tiga kesebelasan yang Guardiola latih, semuanya adalah kesebelasan top. Dengan kesebelasan top, maka kemungkinan juara juga akan semakin besar, bukan?

Paradigma Jika Uang Adalah Formula Kesuksesan

Mari kita cek pencapaian Guardiola sampai April 2021. Ada 3 gelar La Liga Spanyol, 2 Copa del Rey, 3 Supercopa de España, 2 Liga Champions, 3 Piala Super UEFA, 3 Piala Dunia Antarklub, 3 Bundesliga Jerman, dan 2 DFB-Pokal, 2 Premier League, 1 Piala FA, 4 Piala Liga, dan 2 Community Shield. Itu adalah gelar-gelar yang biasa didapatkan oleh manajer super di kesebelasan super.

Manajer super di kompetisi super (tapi bukan Super League, lho, ya). Kenapa dua kombinasi itu harus ada? Karena manajer super dan kesebelasan super itu adalah jodoh yang jarang tertukar. Sementara jodoh sudah ada yang mengatur.

Kita mungkin dengan mudahnya bisa bilang, kalau melatih Barcelona saat itu (saat Guardiola menjadi manajer), Alan Pardew juga bisa bikin mereka juara La Liga. Sebaliknya, kalau Pep Guardiola disuruh melatih Crystal Palace, dia juga gak akan bisa bikin Palace juara Premier League. Menurut saya, dua opini itu sangat sembarangan.

Tidak ketinggalan, baik Barcelona, Bayern, maupun Man City adalah tiga kesebelasan yang memiliki kekuatan finansial yang besar di dunia. Bahkan penelitian di Çankaya University juga menunjukkan bawa ada hubungan yang berkesinambungan antara kesuksesan dengan kondisi finansial kesebelasan di sepakbola.

Baca juga: Hanya Ada Tiga Kesebelasan Besar di Dunia

Menurut penelitian tersebut, ketiga kesebelasan yang pernah dilatih oleh Guardiola adalah tiga kesebelasan yang memiliki karakter untuk mengkapitalisasi kekuatan finansial dan popularitas. Bayern, Barcelona, dan Man City ada di tujuh teratas bersama dengan Real Madrid, Manchester United, Arsenal, dan Chelsea.

Bukan hal kebetulan juga Guardiola menghabiskan banyak uang di ketiga kesebelasan tersebut dalam hal pembelian pemain. Menurut rekap Transfermarkt pada Mei 2021, buat urusan transfer pemain, Guardiola menghabiskan total £307,8 juta di Barcelona selama empat tahun, £185,18 juta di Bayern selama tiga tahun, dan £832,421 juta di Man City sejauh lima tahun ini. Jika dirata-rata, Pep dikasih £110,45 juta per tahun untuk membeli pemain.

Ada hubungan tidak langsung dari angka-angka di atas. Dia memang membutuhkan duit yang jauh lebih sedikit ketika di Jerman dan Spanyol dibanding dengan di Inggris, di mana sampai 2019/20 dia belum berhasil mempersembahkan gelar Liga Champions bagi The Citizens, meski di kompetisi domestik sudah khatam semua. Mungkin, secara tidak langsung, dia membutuhkan lebih banyak uang karena Premier League lebih sulit dan lebih kompetitif daripada La Liga dan Bundesliga.

Jadi, kita sudah punya formulanya: Guardiola bisa sukses karena melatih kesebelasan besar yang didukung oleh dana yang melimpah. Namun, lagi-lagi, kesimpulan itu juga agak sembarangan.

Ternyata Uang Saja Tidak Cukup

Ada hubungan yang kuat antara kesebelasan besar, status finansial mereka, dan tingkat kesuksesannya. Tapi dua formula yang disebutkan paling awal (kesebelasan besar dan duit) tidak akan berjalan sempurna untuk menghasilkan formula terakhir, yaitu kesuksesan, tanpa adanya seorang manajer yang tepat.

Tiga kesebelasan besar seperti Barcelona, Bayern, dan Man City, tidak akan sembarangan mempekerjakan manajer jika dia bukan manajer yang tepat. Jika formula kesuksesan memang hanya karena uang, kita mungkin bisa lihat AC Milan yang sempat hadir dengan tagar #WeAreSoRich.

Penggunaan istilah “manajer yang tepat” tidak sepenuhnya harus manajer yang hebat. Tapi kalau boleh jujur, Guardiola sudah minimal dua kali tepat dalam memilih kesebelasan. Melihat gelar-gelar yang sudah dia menangi di Man City, dia sedang on the way kali ketiga untuk disebut tepat.

Kita tidak bisa begitu saja membandingkan Pep dengan, misalnya, David Moyes. Moyes tidak sukses di Manchester United padahal United lebih besar (secara historis) dan lebih kaya (menurut penelitian di atas pada saat itu) daripada Man City.

Untuk membangun kesebelasan sukses, apalagi sukses jangka panjang, dibutuhkan modal yang besar. Kita tidak membandingkan kesuksesan warung rokok di pinggir jalan dengan supermarket barang-barang impor. Si pemilik warung rokok juga belum tentu bisa sukses jika diberikan modal sebesar pemilik supermarket, dan sebaliknya.

Ketika Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan datang ke Manchester City, dia berkata: “Kami sedang membangun sebuah struktur untuk masa depan, bukan hanya tim yang berisi para bintang.” Kalimat tersebut adalah sebuah visi yang luar biasa hingga kemudian ditempel di dinding kantor Man City.

Baca juga: Kenapa Saya Harus Menjadi Suporter Manchester City?

Cristiano Ronaldo atau Lionel Messi mungkin dua pemain terbaik dunia saat Guardiola mengawali karier kepelatihannya. Namun, mereka saja tidak akan pernah bisa membawa kesebelasannya menjuarai liga. Sementara Pep bisa.

Ronaldo atau Messi tidak bisa melakukannya karena mereka hanya satu yang bermain dengan sepuluh lain melawan sebelas lawan. Sementara itu, Guardiola adalah satu yang mengendalikan sebelas mililknya dan (ini yang luar biasa) sebelas milik lawannya.

Tidak banyak pelatih seperti Guardiola. Namun menyuruh Guardiola melatih, misalnya, Benevento, kemudian berharap kesebelasan yang berbasis di Campania itu menjuarai Serie A Italia adalah sebuah kelakar terburuk untuk seorang control freak seperti Guardiola.

Seorang teknisi IT yang sangat andal akan berkata bahwa sangat mudah baginya membobol pusat data CIA. Tapi kita tidak bisa lantas membaca “sangat mudah” tersebut dengan “karena sangat mudah, maka seharusnya biayanya murah, dong. Kan, gampang”. Eits, tidak bisa! Di situ justru letak keahlian seseorang.

***

Sebaiknya kita memakai logika yang tepat. Agak keliru jika kita berkata Pep itu mirip pengusaha sukses yang sudah kaya dari lahir. Jika demikian, lah, ente mah enak karena bapaknya ente kaya, jadi punya modal. Tapi, kan, ngapain juga sudah dapat duit warisan tapi gak mau diambil?

Mungkin ada orang seperti itu, tapi jumlahnya sepertinya sedikit sekali. Narasi lainnya adalah tidak sedikit orang yang dapat warisan lalu kemudian akhirnya miskin. Di sisi lain ada yang terlahir miskin tapi akhirnya bisa kaya raya.

Jangan lupakan juga soal dalam satu atau dua dekade terakhir, sudah berapa manajer yang akhirnya dipecat oleh Barcelona, Bayern, dan Man City?

Apakah Pep beneran jago? Atau dia beruntung hanya karena menangani tiga kesebelasan besar yang punya banyak uang? Sekarang bagaimana jika dibalik: Apakah tiga kesebelasan besar tersebut mau memilih Pep jika Pep tidak jago?

Ada banyak pengandaian di dunia ini. Andaikan Pep menangani kesebelasan kecil, andaikan Moyes diberi lebih banyak waktu dan lebih banyak uang di Man United, andaikan Syeikh Mansour membeli Leeds United alih-alih Man City, dan lain sebagainya.

Kembali lagi ke pertanyaan awal, apakah Pep Guardiola bisa sukses jika menangani kesebelasan kecil? Jawabannya belum tentu. Namun hal tersebut tak membuat lantas kita dengan enteng mengatakan Pep bukan orang yang hebat lantaran hanya bisa sukses dengan kesebelasan besar.


Sumber jurnal penelitian:

Tulisan ini adalah gubahan (dengan pembaruan) yang sebelumnya pernah dipublikasikan pada akhir 2017 di Pandit Football Indonesia dengan judul "Apakah Pep Guardiola Bisa Sukses Jika Menangani Kesebelasan Kecil?"

Komentar