Jalan Panjang Angel Di Maria Menjadi Legenda PSG

Cerita

by Redaksi 7

Redaksi 7

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Jalan Panjang Angel Di Maria Menjadi Legenda PSG

Angel Di Maria menyumbang satu asis ketika timnya ditekuk Manchester City 1-2 di semifinal Liga Champions, 29 April lalu. Winger Argentina tersebut mengirim umpan sepak pojok ke tiang dekat yang diselesaikan Marquinhos. Kendati akhirnya kalah, pertandingan itu bersejarah bagi Di Maria. Umpan terukur ke Marquinhos membawanya menyamai rekor asis terbanyak Paris Saint-Germain.

Di Maria telah menyumbang 103 asis untuk PSG selama enam musim membela klub Paris itu. Jumlah asisnya menyamai rekor yang selama ini dipegang oleh Safet Susic. Susic, dikenal sebagai salah satu pemain terbaik Eropa pada generasinya, membela Les Parisiens selama sembilan tahun dari 1982 hingga 1991.

Di Maria menyamai capaian pemain asal Yugoslavia tersebut dengan waktu tiga tahun lebih cepat. Ia pun dalam trek yang benar untuk mengambilalih mahkota raja asis PSG dari Susic. Pemain berjuluk El Fideo ini dilaporkan telah memperpanjang kontraknya hingga 2022 dengan opsi perpanjangan satu tahun. Ia punya waktu untuk mengemas lebih banyak asis lagi.

Namun, Di Maria agaknya ingin cepat-cepat mengalahkan torehan Susic. Alasannya bukanlah rekor pribadi. Jelang leg kedua di Etihad, timnya tertinggal agregat 1-2 dan butuh segala daya ofensif yang ada untuk membalikkan keadaan. Ia perlu memberikan asis, kalau tak bisa, gol atau kontribusi dengan cara apa pun.

Lebih dari rekor pribadi, Di Maria ingin mempersembahkan trofi UCL perdana bagi PSG. Les Parisiens memberinya lingkungan tepat untuk berkembang dan menampilkan yang terbaik. Di Parc des Princes, ia mendapat dukungan yang dibutuhkan untuk tampil brilian dan menjadi legenda klub.

“Saya sangat bahagia di sini. Klub tahu apa yang saya inginkan, saya tahu apa yang diinginkan klub. Saya selalu mengatakan bahwa saya ingin mengakhiri karier di Argentina, tetapi saya harap klub terakhir saya di Eropa adalah PSG,” kata Di Maria.

Sebelum direkrut PSG, Di Maria menjalani periode sulit. Kariernya di Real Madrid tak berakhir manis. Pindah ke Manchester United, ia pun gagal menampilkan permainan terbaik. Di Maria hanya bertahan semusim dan tampil 13 kali sebagai starter.

Di Maria menuding Louis van Gaal adalah biang dari kegagalannya di MU. Menurutnya, van Gaal tak memberi peran yang sesuai di atas lapangan dan terlalu sering memintanya berganti posisi. Namun, sang pelatih berkilah. Van Gaal menyebut Di Maria lah yang gagal beradaptasi dengan kultur sepakbola dan iklim Inggris. Ia menyebut sang pemain sekadar tak mau menerima kritik.

Angel Di Maria datang sebagai pemain termahal yang dibeli klub Inggris pada waktu itu. Setan Merah menebusnya dengan biaya sekitar 60 juta paun. Namun, eks penggawa Rosario Central tersebut justru gagal berkontribusi. Di Old Trafford, Di Maria sekali lagi harus menghadapi fase suram di karier profesionalnya.

Sebelum mendarat di Manchester, ia telah menghadapi masa sulit di Real Madrid. Ia memang tampil cemerlang di bawah pengawasan Jose Mourinho dan Carlo Ancelotti. Namun, hubungannya dengan suporter Real Madrid dan presiden klub, Florentino Perez memburuk. Di Maria kemudian dijual kendati tampil impresif sepanjang 2013/14.

Saat Piala Dunia 2014 berlangsung, keputusan telah dibuat. Di Maria harus pergi untuk memberi ruang bagi James Rodriguez. James tampil mengesankan di turnamen empat tahunan itu, menjadi top skor dengan torehan enam gol.

Menjelang final, Real Madrid coba mengintervensi skuad asuhan Alejandro Sabella. Mereka meminta Timnas Argentina tak memainkan Di Maria di final. Sang pemain menderita cedera paha di perempat final lawan Belgia. Namun, ia meminta agar dimainkan lawan Jerman, bersiap menanggung pertandingan dengan bantuan penawar rasa sakit.

Real Madrid tak menginginkannya bermain. Pasalnya, mereka khawatir cedera Di Maria makin parah dan menyebabkan klub gagal menjualnya di bursa transfer. “Itulah bisnis dalam sepakbola yang tidak selalu dilihat orang-orang,” tulis sang pemain di The Players Tribune.

Pada akhirnya, Sabella memang tak memainkannya. Hasil akhir pun mengecewakan Argentina. Gol tunggal Mario Goetze pada babak tambahan memastikan kemenangan Jerman. “Itu adalah hari tersulit dalam hidupku,” kenang Di Maria.

Baca juga: Membayangkan PSG di Bawah Asuhan Mauricio Pochettino

Bocah Kurus yang Ingin Mencetak Sejarah

Angel Di Maria lahir di Rosario, kota terpadat ketiga di Argentina. Ia lahir dalam keluarga miskin. Ayahnya adalah pesepakbola gagal yang bekerja sebagai pembuat arang.

Saat balita, ibunya membawa Di Maria ke dokter karena bingung mengapa sang anak begitu hiperaktif. Dokter kemudian memberi saran yang nantinya terbukti tepat. Di Maria kecil disarankan menyalurkan keaktifannya di sepakbola. Pada usia tiga tahun, ia pun mulai bermain bola di klub setempat, Torito.

Bakat Di Maria kemudian tercium oleh salah satu klub terbesar kota itu, Rosario Central. Ia kemudian berlatih di tim muda Rosario saat berusia empat tahun. Karena Di Maria kecil sudah terikat dengan Torito, rival Newell’s Old Boys tersebut memberi mereka kompensasi. Rosario membayar “biaya transfer” berupa 35 bola sepak.

Saat remaja, Di Maria sempat kesulitan karena tubuhnya yang kurus. Namun, ia akhirnya bisa lulus dari akademi dan mendapat debut tim senior pada 14 Desember 2005. Ia tampil reguler pada 2006/07 dan membuat klub-klub Eropa meliriknya.

SL Benfica merekrutnya dengan mahar delapan juta euro pada 2007. Jika mengingat harga transfer Di Maria dari Torito, Rosario Central menanamkan investasi yang sangat menguntungkan dengan mengembangkan sang pemain.

Pada 2019/10, Di Maria tampil impresif bersama As Aguias. Ia mencetak lima gol dan 12 asis di Liga Portugal dan mengantarkan Benfica menjadi juara. Di akhir musim, ia juga membantu tim meraih titel Piala Liga, mengalahkan FC Porto di final.

Talenta Di Maria semakin dikenal luas hingga Real Madrid merekrutnya. Ia tampil impresif bersama Los Blancos, mencetak 36 gol dan 85 asis dari total 190 pertandingan.

Eks pemain Rosario itu berperan penting dalam keberhasilan Real Madrid meraih La Decima — gelar Liga Champions kesepuluh pada 2013/14. Di Maria menjadi man of the match versi UEFA di final antara Real Madrid vs Atletico Madrid.

Akan tetapi, hubungan buruk dengan petinggi klub dan suporter memaksa Di Maria pergi. Manchester United, klub tujuannya setelah Real Madrid, nyatanya bukanlah tempat yang tepat bagi sang pemain. Ia baru berhasil membangkitkan karier di Paris Saint-Germain.

Di PSG, ia dihargai dan mendapat ganjaran sepantasnya; baik oleh Laurent Blanc, Unai Emery, Thomas Tuchel, atau Mauricio Pochettino. “Cara Di Maria bermain mirip dengan kepribadiannya. Dia tidak berhenti, dia dapat dipercaya, dia bekerja keras untuk tim dan dia juga baik hati,” kata Tuchel, eks pelatih PSG.

Di Maria memang tak seglamor Neymar atau Kylian Mbappe. Namun, kontribusinya tak kalah vital dibanding dua megabintang tersebut. Ia mendukung tim dengan permainan efektif dan olah bola yang indah, berperan penting dalam keberhasilan PSG meraih 11 trofi domestik pada 2016-2020.

Sejak memutuskan berkarier sebagai pesepakbola, Di Maria berambisi untuk mencetak sejarah. Di Piala Dunia, ia hampir membantu Argentina juara. Musim lalu, ia pun hampir mengantarkan PSG ke titel UCL perdana.

Pada musim ini, mampukah Di Maria membantu timnya meraih gelar Liga Champions? Ia memang telah mengantongi sederet trofi domestik; juga sudah menorehkan prestasi individual yang sulit ditandingi. Namun, gagal membawa Les Parisiens meraih Liga Champions tentu memberi lubang tersendiri di karier cemerlang Di Maria — sebagaimana kegagalan di Piala Dunia 2014 silam.

Komentar