Cinta dan Benci untuk Paulo Fonseca

Cerita

by Redaksi 7

Redaksi 7

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Cinta dan Benci untuk Paulo Fonseca

Sejak menangani AS Roma pada awal 2019/20, isu pemecatan tak jarang menerpa Paulo Fonseca. Pelatih asal Portugal itu ditarget untuk lolos ke Liga Champions, tetapi gagal mencapainya pada musim debut. Pada musim keduanya, Giallorossi juga sepertinya sulit menembus kompetisi elite tersebut. Hingga giornata 30, Roma masih berkutat di peringkat tujuh, terpaut tujuh poin dari Atalanta di posisi keempat.

Apabila Roma gagal mencapai Liga Champions, Fonseca kemungkinan besar akan didepak. Ia direkrut oleh pemilik lama AS Roma, James Pallotta. Jika gagal memenuhi target, Dan Friedkin dilaporkan tak ragu memecat Fonseca dan mencari pelatih kepala baru pilihan mereka sendiri.

Di Serie A, peluang Roma menembus UCL sangat kecil. Namun, Fonseca justru berpeluang membawa Giallorosi via jalur lain yang lebih mulia. Saat ini, Jordan Veretout dan kawan-kawan menembus perempat final Europa League dan unggul agregat atas Ajax Amsterdam.

Roma menunjukkan penampilan berkelas saat mengatasi Ajax di leg pertama lalu. Bertanding di Amsterdam, skema reaktif yang diterapkan Fonseca berujung kemenangan 1-2. Gianluca Mancini dan kawan-kawan sanggup menahan tekanan Ajax dan efisien memanfaatkan peluang.

Kemenangan itu adalah angin segar bagi Fonseca usai diterpa isu pemecatan pada Maret lalu. Roma tampil mengecewakan di liga domestik dan gagal meraih kemenangan dalam tiga pertandingan beruntun. Mereka dibungkam Parma dan Napoli, masing-masing dengan skor 0-2. Roma lantas hanya mampu bermain 2-2 lawan Sassuolo, kecolongan gol Giacomo Raspadori jelang laga berakhir.

Tiga hasil negatif itu membawa masalah inkonsistensi Roma ke permukaan. Dua musim terakhir, rival Lazio ini cenderung tampil inkonsisten yang membuat mereka gagal finis di empat besar.

Fonseca menegaskan bahwa permainan timnya berkembang. Tetapi, inkonsistensi Roma tampak nyata dan ia belum berhasil mengatasinya.

Musim ini, Roma sering memainkan sepakbola menyerang dan tampak trengginas dengan umpan-umpan langsung (direct). Di “hari baik”, Roma mampu menyajikan permainan atraktif dan meraih hasil-hasil meyakinkan. Ambil contoh ketika mereka membungkam Benevento dan Bologna di paruh pertama musim. Henrikh Mkhitaryan dan kolega mampu mencetak lima gol dalam dua laga tersebut.

Akan tetapi, Roma tak efektif ketika menerapkan pendekatan yang sama melawan klub besar Italia. Pada awal musim, anak asuh Fonseca tampil berani saat bermain imbang lawan Juventus dan AC Milan. Memasuki paruh kedua, Roma kalah dari dua tim itu meski menghasilkan peluang lebih banyak.

Ketika Fonseca memilih pendekatan yang lebih reaktif, hasilnya pun tak maksimal bagi Roma. Musim ini, mereka dihajar Napoli dan Atalanta saat tampil reaktif. Skuad asuhan Gian Piero Gasperini menghajar Roma dengan skor 1-4. Sedangkan Napoli mengalahkan mereka dengan skor 4-0 dan 0-2.

Pada 2020/21, Fonseca belum berhasil mengalahkan satu pun tim enam besar. Rekor mereka lawan klub enam besar adalah enam kali kalah dan tiga imbang. Di sisa musim, mereka masih akan menghadapi tiga klub penghuni enam besar, yaitu Inter Milan, Atalanta, dan Lazio.

Hasil negatif lawan pesaing di papan atas adalah penyebab utama terjerembabnya AS Roma di Serie A. Enam dari delapan kekalahan mereka di liga domestik diderita dari klub enam besar. Giallorossi kehilangan poin di pertandingan krusial, membuat mereka ada di posisi buruk untuk mencapai zona Liga Champions.

Pindah ke Italia adalah tantangan terbesar dalam karier Fonseca. Ia datang ke Roma sebagai pelatih muda menjanjikan. Namun, hampir dua musim berjalan, eks juru taktik FC Porto itu belum bisa memaksimalkan skuadnya untuk menghadapi sepakbola Italia.

Di Italia, ia tak bisa rutin memainkan sepakbola menyerang berbasis penguasaan bola yang diterapkannya di Shakhtar Donetsk. Pelatih berusia 48 tahun ini amat sukses ketika berkiprah di Ukraina, selalu meraih double winners selama tiga musim di sana.

Namun, tim-tim Italia memberinya tantangan tersendiri yang jauh lebih sulit. Klub Italia memiliki organisasi yang lebih baik saat bertahan, lebih cakap menghadapi permainan berorientasi penguasaan bola.

“Ketika pertama kali saya datang di sini, saya terobsesi dengan sepakbola berbasis penguasaan bola. Tetapi sekarang, setidaknya bagi kami, permainan transisi jauh lebih penting,” kata Fonseca kepada DAZN Italia.

Saat menangani Roma, Fonseca cenderung lebih langsung (direct) dalam menyerang. Ia rutin menurunkan skema 3-4-2-1 sejak akhir musim lalu. Eks pelatih Pacos de Ferreira tersebut lebih menekankan pemanfaatan lebar lapangan dan switch play untuk membuka ruang menyerang.

Pendekatan yang diusung Fonseca, dalam beberapa kesempatan, membawa Roma tampil apik dan menghibur. Namun, di permainan yang segalanya ditentukan lewat hasil dan jumlah poin, inkonsistensi jadi masalah akut yang membuat posisi sang pelatih rawan.

Europa League, Akankah Jadi Penebusan Fonseca?

Bisakah Roma menjuarai Europa League? Klub terbesar Kota Abadi ini gagal meraih trofi mayor sejak 2008, kala mereka merengkuh titel Coppa Italia. Mereka tak pernah menjuarai kejuaraaan kontinental sejak 1961. Fonseca berpeluang mencapai sesuatu yang bahkan tidak mampu dilakukan Luciano Spalletti dan Eusebio Di Fransesco.

Di Europa League, Roma berhasil mengatasi lawan berat untuk mencapai perempat final. Il Lupi lolos ke fase gugur sebagai juara grup, mengungguli Young Boys, CFR Cluj, dan CSKA Sofia. Bryan Cristante dan kawan-kawan kemudian mengeliminasi Braga di babak 32 Besar.

Memasuki 16 Besar, Roma bertanding menghadapi mantan klub Fonseca, Shakhtar Donetsk. Roma berhasil lolos dengan agregat meyakinkan 5-1.

Kiprah Roma di Europa League menarik disimak. Tak seperti di Serie A, pendekatan reaktif Giallorossi justru efektif di sini. Mereka mengeliminasi Shakhtar dengan penguasaan bola tak sampai 40% di masing-masing leg. Serangan direct a la Fonseca menunjukkan tajinya, berhasil menghasilkan peluang dengan total nilai xG 4,0 sepanjang dua leg, berbanding kualitas peluang Shakhtar yang hanya bernilai 1,9 xG.

Ketika menghadapi Ajax, Roma kembali tampil efektif. Anak asuh Erik ten Hag mengurung tim tamu di Amsterdam. Tuan rumah membuat 15 tembakan (sembilan tepat sasaran) dan mendapat satu penalti. Namun, Roma bermain disiplin dan menang 1-2.

Hasil itu membuat Roma memiliki peluang besar lolos ke semifinal. Jelang leg kedua di kandang sendiri, mereka unggul agregat dan agresivitas gol tandang.

“Tim ini tahu betapa pentingnya pertandingan ini [lawan Ajax], betapa pentingnya periode ini. Dan kami juga telah mempersiapkan pertandingan ini secara taktis sebagaimana yang kami lakukan selama ini,” kata Fonseca sebelum leg kedua lawan Ajax.

Pada musim yang dijangkiti inkonsistensi, trofi Europa League akan menjadi pernyataan tegas bagi kemampuan Fonseca. Sepanjang kariernya, ia telah menunjukkan kapabilitas membawa timnya melampaui ekspektasi. Ia membawa Pinhalnovense, klub kecil Portugal, ke perempat final Taca de Portugal. Ia juga berhasil mengantar Pacos de Ferreira finis di peringkat tiga Liga NOS dan lolos ke kualifikasi Liga Champions, pertama kalinya sepanjang sejarah klub.

Sejauh ini, kiprah Fonseca di Serie A tidak sesuai ekspektasi. Menjuarai Europa League adalah bentuk penebusan sang pelatih atas musim yang mengecewakan. Mampukah Fonseca? Jika berhasil, tak ada alasan bagi Dan Friedkin untuk memecatnya. Sang pelatih pun punya kesempatan untuk membawa Roma naik ke level selanjutnya, yaitu menjadi kontestan rutin Liga Champions.

Komentar