Borussia Moenchengladbach: Raksasa Bundesliga yang Tertidur

Cerita

by Redaksi 6

Redaksi 6

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Borussia Moenchengladbach: Raksasa Bundesliga yang Tertidur

Mengatakan Bayern Muenchen penguasa Bundesliga adalah fakta yang tidak dapat disangkal. Dominasi mereka membentang sejak Bundesliga resmi diperkenalkan pada 1960-an hingga sekarang. Bavarian telah mengoleksi 30 gelar dan 10 kali menjadi runner up. Jika menyebut rival, Borussia Dortmund mungkin akan menjadi nama pertama yang tebersit.

Namun, lima dekade lalu, lanskap sepakbola Jerman lebih variatif alih-alih selalu melihat Bayern Muenchen mengangkat Meisterschale (trofi Bundesliga). Borussia yang lain, Moenchengladbach, merupakan klub paling dominan di awal hingga akhir 1970-an.

Die Fohlen menjuarai Bundesliga lima kali (1969/70, 1970/71, 1974/1975, 1975/76, 1976/77) dan tampil lima kali di final kejuaraan Eropa (1 European Cup/Liga Champions, 4 UEFA Cup) dari periode 1969/70 sampai 1979/80. Dari lima final di ajang kontinental tersebut, Moenchengladbach mampu juara dua kali, semuanya di ajang UEFA Cup.

Kesuksesan tersebut tidak terulang kembali hingga hari ini. Mereka bahkan sempat terpuruk, terdegradasi ke Bundesliga 2 pada 1999. Meski sempat kembali ke Bundesliga 1 dua musim setelahnya, Moenchengladbach kembali turun pada musim 2006/07. Trofi teranyar yang mereka raih adalah Bundesliga 2 tahun 2007/08. Walau berhasil menjaga tempat di divisi teratas, hingga kini Moenchengladbach belum menjadi penantang utama gelar bagi Bayern Muenchen.

Masa Emas di Bawah Arahan Dua Pelatih Legendaris

Pelatih legendaris Jerman, Hennes Weisweiler, datang dari klub rival, FC Koeln, pada 1964. Harapannya jelas. Weisweiler diharapkan mampu membawa prestasi layaknya Bernd Oles yang sanggup memberikan trofi perdana (DFB-Pokal 1959/60) bagi publik Boekelbergstadion (markas Galdbach sebelum Borussia-Park).

Usai membawa Moenchengladbach promosi ke Bundesliga pada 1965, Weisweiler seakan memberi filosofi kepada tim bahwa kekalahan adalah hal terlarang. Mengandalkan taktik menyerang atraktif dengan tumpuan para pemain muda lokal, julukan die Fohlen atau bisa diartikan sebagai "anak kuda" menempel hingga sekarang.

“Jika kami tidak menjadi juara, saya akan pergi,” ucap Weisweiler pada musim panas 1969 usai hanya mampu membantu klub finis di peringkat ketiga dalam tiga musim sebelumnya. Diperkuat pemain energik macam Guenter Theodor Netzer, Hans-Hubert "Berti" Vogts, dan Herbert Wimmer, lini depan mereka memang tajam, tetapi keropos di belakang.

Di musim panas tersebut, Weisweiler memboyong duo bek Nuernberg, Klaus Dieter Sieloff dan Ludwig Mueller. Guenter Netzer selaku bintang tim di masa tersebut mengaku kedatangan kedua bek itu membawa dampak besar. Akhir musim 1969/70, die Fohlen mengangkat Meisterschale untuk pertama kalinya.

Musim 1970/71, Moenchengladbach mampu mempertahankan gelar dan menjadi klub pertama yang memenangkan gelar dalam dua musim beruntun. Dominasi mereka sempat dihentikan Bayern Muenchen selama tiga musim (1972-1974). Namun, Weisweiler sempat membawa Gladbach ke final UEFA Cup 1973, meraih gelar UEFA Cup 1975, dan memberikan gelar ketiga Bundesliga pada 1975 sebelum hengkang ke Spanyol menukangi Barcelona.

“Hennes Weisweiler adalah seorang tokoh. Dia membentuk Borussia Moenchengladbach. Saya berutang segalanya kepada dia. Dia telah membuat Borussia Moenchengladbach dan dia juga telah membuat saya sukses,” ucap Guenter Netzer, kampiun Piala Eropa 1972 dan Piala Dunia 1974 bersama Jerman Barat.

Tongkat estafet kemudian dilanjutkan oleh Udo Lattek. Lattek merupakan sosok dibalik layar dalam kesuksesan Bayern Muenchen meraih tiga gelar Bundesliga beruntun (1972-1974) dan European Cup 1974. Beban meneruskan kesuksesan di bawah pimpinan Weisweiler tentu tidak terlalu berat bagi Lattek.

Musim perdananya, Lattek berhasil membantu Gladbach mempertahankan gelar Bundesliga atau gelar keempat klub. Segalanya menjadi lebih hebat pada tahun kedua di Boekelbergstadion. Selain berhasil mempertahankan gelar Bundesliga, Moenchengladbach berhasil mencapai babak final European Cup atau saat ini dikenal dengan Liga Champions Eropa. Moenchengladbach kalah 1-3 di final melawan Liverpool arahan Bob Paisley.

Lattek hampir menyamai rekor pribadinya, memenangkan Bundesliga dalam tiga musim beruntun, pada 1977/78. Rekor tersebut digagalkan oleh FC Koeln arahan Hennes Weisweiler. Koeln hanya unggul selisih gol. Lattek mengakhiri pengabdiannya bersama die Fohlen dengan gelar UEFA Cup 1978/79.

“Udo Lattek bukan saja pelatih paling sukses di sejarah Bundesliga. Udo Lattek sudah menjadi legenda di masa hidupnya dan kami akan merindukannya,” sebut Wolfgang Niersbach, eks Presiden Asosiasi Sepakbola Jerman dalam ucapan duka atas meninggalnya Udo Lattek pada 2015 silam.

Mencoba Bangun dari Tidur Panjang

Tidak ada prestasi yang sanggup dibanggakan kembali oleh para pendukung Borussia Moenchengladbach usai era Weisweiler dan Lattek. Dua kali mereka degradasi dari Bundesliga 1 (1999 dan 2007). Selebihnya mereka hanya tim yang beredar di papan tengah klasemen. Namun, satu dekade terakhir, Moenchengladbach mencoba bangun dari tidur panjang.

Langkah pertama yang dilakukan klub adalah melakukan perubahan di struktur klub dan mendatangkan Lucien Favre menggantikan Michael Frontzeck pada musim dingin 2011. Sepanjang empat musim kepemimpinan penuhnya sebagai pelatih utama, Gladbach tidak pernah sekalipun finis di luar 10 besar. Mereka juga sempat dua kali lolos ke Liga Champions.

“Musim setelah kedatangan Favre secara sederhana dapat dikatakan luar biasa setelah musim-musim yang medioker. [...] Ambil contoh Yann Sommer; mereka menggunakan uang hasil penjualan Marc-Andre ter Stegen dengan sangat bijak. Sommer memiliki statistik yang hebat, sembari Favre mengorbitkan Patrick Hermann,” sebut Bastian Thielmann, pengamat Borussia Monchengladbach.

Nama-nama menjanjikan besutan Favre mulai bermunculan. Sebut saja Max Kruse, Thorgan Hazard, hingga Granit Xhaka. Melansir Transfermarkt, nama terakhir merupakan pemain dengan nilai penjualan termahal dalam sejarah klub (40 juta paun ke Arsenal 2016/17).

Sepeninggal Favre pada 2015/16, Gladbach kembali kesulitan menemukan performa terbaik. Dua pelatih setelah Favre, Andre Schubert dan Dieter Hecking, belum mampu mengulangi standar yang sudah diberikan. Paling banter, Hecking sempat membawa die Fohlen finis di peringkat lima.

Namun, ternyata Gladbach hanya butuh darah segar. Kemudian muncullah nama Marco Rose, pelatih yang hanya memiliki pengalaman minim. Meski sudah kehilangan pemain-pemain penting macam Nico Schulz, Mahmoud Dahoud, Vincenzo Grifo, hingga Thorgan Hazard sebelum datang, Rose berhasil mendatangkan talenta-talenta menjanjikan seperti Marcus Thuram dan Stefan Lainer.

“Ide dasar dibalik filosofi bermain saya adalah emosionalitas, rasa lapar dan menjadi aktif,” jelasnya dalam konferensi pers perdana sebagai pelatih Gladbach. “Kami ingin sangat aktif saat lawan memiliki bola, banyak melakukan sprint. Kami ingin memenangkan bola-bola tinggi dan memiliki cara-cara pendek menuju tujuan. Kami tidak ingin bermain lebih ke depan dan melebar, tetapi cepat, dinamis, dan maju secara aktif. Ini semua terdengar sangat luar biasa, tapi butuh waktu untuk mengembangkannya.”

Paruh pertama musim 2019/20 di bawah arahan Rose, Gladbach sempat memuncaki klasemen. Di akhir musim, Rose sukses membawa tim finis di peringkat empat klasemen dan berhak berlaga di Liga Champions.

Bundesliga 2020/21 sudah berjalan sebanyak 10 pekan, sementara Gladbach masih menghuni peringkat tujuh klasemen dengan raihan 16 poin. Mereka hanya tertinggal tujuh angka dari pemuncak Bayern Muenchen. Di ajang Liga Champions 2020/21, die Fohlen lolos sebagai runner-up dari Grup B yang berisi Real Madrid, Inter Milan, dan Shakhtar Donetsk.

“Saya pikir kami bukan lagi raksasa yang tertidur. Saya pikir kami sudah bangun dari mimpi-mimpi kami yang menyenangkan, dan saya pikir mimpi-mimpi tersebut perlahan menjadi kenyataan,” ungkap direktur olahraga Moenchengladbach, Max Eberl, menanggapi kebangkitan timnya pada dekade 2010-an.

Borussia Moenchengladbach berlaga di Bundesliga 1 2020/21. Seluruh pertandingan die Fohlen dapat Anda saksikan di Mola TV. Klik di sini untuk menyaksikan seluruh tayangan langsung pertandingan Gladbach, juga tayangan ulang dan highlights pertandingan-pertandingannya.

Komentar