Pelatih Sebagai Tempatnya Salah

Editorial

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Pelatih Sebagai Tempatnya Salah

Saya kaget ketika beberapa hari lalu ada sebuah mention yang masuk ke akun Twitter pribadi saya, di mana dia meminta pendapat saya tentang keputusan pelatih Juventus, Andrea Pirlo, yang menurutnya tolol. Pendapat itu muncul setelah Pirlo mengganti Cristiano Ronaldo dan Alvaro Morata sehingga gol penyama kedudukan Lazio tercipta di menit akhir (skor akhir 1-1).

Kekecewaan suporter terhadap Pirlo sebetulnya belum seberapa. Di saat yang sama, ada pelatih klub lain yang juga sedang menjadi sasaran kecewaan suporternya: Ole Gunnar Solskjaer. Dimulai dari hasil negatif hingga tak bisa memaksimalkan pemain potensial asal Belanda, Donny van de Beek, jadi alasan suporter merendahkan kemampuan manajerialnya bersama Manchester United.

Kejadian ini, bagi saya, menegaskan pada sebuah kenyataan; profesi melatih memang menjadi tempatnya salah, puncak dari segala kambing hitam sebuah kekecewaan. Padahal rasanya, Pirlo dan Solskjaer adalah sosok yang tak pantas mendapatkan cacian dan hinaan jika melihat apa yang sudah mereka berikan kala masih jadi pemain, di mana keduanya merupakan legenda klub.

Ketika seorang pemain memutuskan untuk jadi pelatih, kariernya memang langsung kembali dimulai dari nol. Tak peduli sehebat apapun dia kala berseragam kesebelasan, hasil tim yang dilatihnya adalah yang akan dinilai oleh suporter.

Maka dari itu menjadi pelatih harus memiliki mental baja. Mental baja ini diperlukan karena seorang pelatih, dalam olahraga apapun itu, memang akan akrab dengan kesalahan dan rentan menjadi orang yang paling disalahkan.

Apa yang dikerjakan seorang pelatih sebelum, saat, dan setelah pertandingan memang berorientasi pada "meminimalisasi kesalahan". Sebelum pertandingan, ia harus menyiapkan latihan agar timnya tidak salah taktik saat bermain. Kemudian ia juga harus memutuskan untuk tidak salah memilih pemain ketika hendak bertanding. Di pertandingan, ia harus memilih reaksi yang tepat untuk tidak salah mengganti strategi dan pemain. Setelah pertandingan, ia harus mengevaluasi kesalahan pada pertandingan tersebut dan menyiapkan diri dan tim untuk laga berikutnya.

Pelatih sepakbola menjadi salah satu pelatih yang paling sulit di antara olahraga lain. Ia harus bisa mengorganisasi tim yang berisikan 11 orang untuk tidak melakukan banyak kesalahan pada pertandingan. Dari sisi jumlah, ini tentu lebih sulit dibandingkan olahraga lain, basket, futsal atau voli misalnya.

Menjadi wajar jika pelatih menjadi posisi yang rentan digantikan dibanding posisi lain dalam sebuah tim olahraga, khususnya sepakbola. Bahkan jika kesalahan dilakukan oleh salah satu pemainnya pun pelatih tetap menjadi orang yang paling bertanggung jawab.

Sebagai contoh, Kepa Arrizabalaga mungkin bisa disebut sebagai kiper yang buruk karena ia kerap blunder sehingga Chelsea kerap mendapatkan hasil negatif. Dalam hal ini, Frank Lampard selaku pelatih sebenarnya tetap bisa menjadi salah satu faktor Kepa tampil buruk dan kerap blunder karena dia tak bisa memaksimalkan potensi Kepa.

Evaluasi Lampard terhadap Kepa berbuah perekrutan kiper baru, yakni Eduoard Mendy. Sampai batas tertentu, hal itu menunjukkan bahwa Lampard sebenarnya gagal dalam penanganan mental dan kemampuan Kepa sebagai kiper termahal Chelsea dan dunia. Beruntung Lampard mendapatkan dukungan dari manajemen tim sehingga ia tidak disalahkan.

Ini juga berlaku pada Solskjaer yang belum bisa memainkan Van de Beek secara reguler. Suporter bisa dengan mudah menyalahkan pelatih asal Norwegia tersebut bahwa sejumlah hasil negatif Man United merupakan akibat dari ketidakberaniannya memainkan Van de Beek. Tapi sekarang, keputusan ini belum menjadi sebuah kesalahan bagi manajemen United sehingga posisi Solskjaer masih belum tergantikan.

Hakim dari kesalahan yang dilakukan oleh pelatih memang terletak pada manajemen tim. Suporter boleh menyalahkan pelatih dengan argumentasi apapun. Tapi pelatih juga punya argumentasinya sendiri dalam keputusan-keputusan yang diambilnya, dan hal inilah yang akan dinilai oleh manajemen.

Dalam kasus Van de Beek, misalnya. Suporter tidak tahu apa alasan utama di balik Solskjaer belum memainkannya secara reguler. Tapi sebagaimana yang sudah disebutkan sebelumnya, pekerjaan pelatih tidak hanya memilih pemain jelang pertandingan dan adu strategi saat pertandingan berlangsung. Ada tahapan seorang pelatih memilih susunan pemain atau taktik tertentu, yaitu dimulai dari sebelum dan sesudah pertandingan.

Van de Beek bisa saja belum bisa langsung diandalkan lantaran dalam sesi latihan ia terlihat tidak begitu padu dengan tim, baik itu secara strategi maupun kekompakan. Atau bisa juga meski Van de Beek pemain yang hebat, tapi dalam sesi latihan ia tak begitu menunjukkannya.

Dalam film dokumenter Tottenham Hotspur: "All or Nothing", diperlihatkan bagaimana Jose Mourinho mengkritik Dele Alli yang menurutnya tidak terlalu serius dalam berlatih. Sempat menjadi andalan, kini Alli terdepak dari skuad Spurs, hal itu bisa jadi merupakan imbas dari permainannya di sesi latihan yang tidak memuaskan Mourinho.

Ini juga berlaku pada bek kiri Spurs, Danny Rose, yang dalam film dokumenter tersebut sempat memprotes pada Mou karena tak mendapatkan kesempatan bermain. Mou beralasan Rose belum menunjukkan kelayakannya tampil untuk skuad utama bagi Mou dalam sesi latihan. Sempat dipinjamkan ke Newcastle, kini Rose masih juga tak mendapatkan tempat bahkan mulai bermain dengan skuad U23.

Van de Beek bisa juga mengalami apa yang dialami oleh Alli dan Rose. Yang jelas, seorang pelatih tidak menilai seorang pemain untuk masuk dalam timnya hanya dari kualitasnya saja. Meski terlihat keputusan yang salah, ada faktor teknis dan non-teknis yang bisa membuat seorang pemain tidak masuk tim.

Formasi yang salah

Suporter juga kerap menyalahkan formasi yang dipakai seorang pelatih. Inter, misalnya. Tak sedikit yang menilai bahwa sang pelatih, Antonio Conte, terlalu kaku dengan formasi 3-5-2 andalannya. Padahal banyak suporter yang menilai bahwa skuad Inter saat ini lebih ideal dengan formasi empat bek.

Perlu diketahui, seorang pelatih tak bisa begitu saja mengganti sebuah formasi. Tak seperti mengubah formasi di gim, bagi seorang pelatih, formasi dan cara bermain adalah ideologi tersendiri. Butuh berbagai latihan dan periode yang tak sebentar agar timnya bisa bermain dengan formasi tertentu.

Di level elite, seorang pelatih akan ditanya oleh klub tentang formasi dan cara timnya bermain sebelum ia dikontrak. Ketika ia kemudian dipilih oleh tim tersebut, maka pelatih tersebut berhak tetap pada pendiriannya soal cara timnya bermain, selama manajemen tim tidak menilainya salah.

Sangat jarang ada pelatih di level top yang mau mengubah formasi andalannya ketika musim berjalan. Mengubah formasi bisa berarti mengubah filosofi dan ideologi bermain. Mengubah ideologi sama juga artinya dengan mengubah cara hidup, mengubah total apa yang sudah dipahami dan diyakini sebelumnya.

Seorang pelatih, dengan segala pengetahuan dan pengalaman yang ia miliki, baik dari kursus kepelatihan, pengalaman bermain, hingga pengalaman melatih, akan menentukan cara bermain mana yang menurutnya cocok dan terbaik bagi tim dan gaya melatihnya. Dengan begitu, sebuah klub sepakbola yang ideal adalah adalah klub dengan pelatih yang mampu mengimplementasikan blueprint-nya dengan pemain yang ia miliki. Inilah yang kerap dilihat oleh manajemen tim dalam menilai kinerja seorang pelatih, dan apa yang benar buat sebagian orang bisa jadi salah bagi sebagian orang lainnya.

Maka dari itu, Conte berhak keukeuh dengan formasi tiga bek andalannya. Toh, dengan formasi dan sistem andalannya itu, ia pernah juara Serie A dan Premier League.

*

Pirlo, yang juga kebetulan mengandalkan formasi 3-5-2, mengatakan dalam disertasi UEFA Pro-nya bahwa sebetulnya di sepakbola modern ini tidak ada lagi posisi yang tetap. Pemain saat ini harus semakin bisa mengidentifikasi fungsi dan perannya di lapangan. Berkaca dari pernyataan tersebut, suporter mengkritisi formasi dan susunan pemain yang salah pada pelatih akan menjadi sebuah kesia-kesiaan.

Taktik sepakbola bukan hanya tentang 4-3-3 melawan 3-5-2, bukan hanya tentang memilih 11 pemain terhebat untuk sebuah pertandingan. Taktik sepakbola (modern) adalah, mengutip yang ditulis Jamie Carragher dalam kolomnya di Telegraph, tentang bagaimana para pelatih elite dan stafnya yang semakin detail pada persiapan, yang berupaya membuat para pemainnya lebih atletis, fisikal, cepat, dan berteknik.

Jadi jangan buru-buru menyalahkan pelatih. Walaupun pelatih adalah tempatnya salah, ada banyak hal juga yang tidak bisa begitu saja disalahkan. Lagipula, pelatih pun pasti akan menyadari kesalahannya, baik yang ia lakukan ataupun tidak lakukan, setelah pertandingan, di mana hal itu menjadi evaluasi baginya untuk laga berikutnya.

Komentar