Berimajinasi lewat Kostum Ketiga dan Seterusnya

Cerita

by Redaksi 11

Redaksi 11

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Berimajinasi lewat Kostum Ketiga dan Seterusnya

Juventus menjadi bahan bercandaan di media sosial selepas merilis kostum ketiga mereka. Berwarna oranye dan hitam loreng, seragam tersebut mengingatkan kepada pakaian organisasi masyarakat di Indonesia. Dalam sekejap, tangan-tangan usil bergerak sigap.

Logo Juve berganti dengan logo ormas tersebut. Cristiano Ronaldo dan Paulo Dybala ‘dipakaikan` kemeja dan topi baret seolah kader organisasi kepemudaan. Begitupun sebaliknya, tokoh ormas tadi dipakaikan kostum ketiga Juve musim baru.

Apa daya, skil Photoshop bisa dengan mudah dipelajari dengan mengetik `How to do something" di toolbar Youtube. Olah foto digital sebagai kemampuan dasar setiap desainer grafis di era industri 4.0.

VIDEO: Informasi terkini sepakbola dunia



Namanya juga humor, candaan lokal pula. Dilihat sebatas sarana relaksasi saja. Tidak perlu tersinggung. Sudah pasti dengan seragam ketiga itu, sekali layar Juve terkembang, surut mereka berpantang.

Jelas bukan kisah baru seragam tim sepak bola sebuah tim menjadi olok-olokan. Ketika kompetisi masih libur dan hasil pertandingan belum keluar, rilisan jersi menjadi sasaran empuk suporter rival berkomentar liar. Tentu saja, bukan hanya pada desain seragam ketiga. Namun, berhubung seragam ketiga biasanya cenderung bebas secara proses kreatif, maka kostum ini acap kali tidak terelakkan menjadi bahan tertawaan.

Pada musim ini, seolah ada perlombaan klub mana yang merilis seragam ketiga paling buruk. Chelsea sekejap diejek Crystal Palace via Twitter, karena seragam ketiga bergaris vertikal biru-merah mereka mirip warna khas The Eagles. Coba tengok garis tidak presisi pada seragam ketiga MU yang diasosiakan dengan kuda zebra. Zebra mana yang garis hitam-putihnya zig-zag, kecil-besar, tajam-runcing, dan... buntu?

Liverpool juga kena sasaran. Kostum ketiga The Reds yang berwarna hitam terlihat seperti papan catur. Terlebih, tampilannya mirip dengan seragam tandang Kroasia. Sedangkan Arsenal bermain aman dengan mengangkat tema ‘Family’, sekalipun harga retailnya sama sekali tidak kekeluargaan.

Bicara Arsenal, klub Italia AC Milan pada musim ini punya seragam ketiga yang mirip kostum tandang The Gunners pada musim 2017-18. Gradasi warna biru lagoon kreasi Puma yang sepertinya berganti logo klub saja.

Siapa lagi yang punya kostum ketiga menusuk mata? Jelas bertambah panjang kalau rilisan-rilisan terdahulu disertakan. Pada musim perdana Pep Guardiola bersama Manchester City, seragam ketiga The Cityzens seperti minuman Blue Ocean Squash yang tidak teraduk. Musim lalu, lagi-lagi gradasi warna sirup mereka kenakan.

Kostum hitam Real Madrid pada musim 2014/15 sebenarnya keren, kalau naganya tidak melingkar di bawah logo Fly Emirates. Sementara Norwich City pernah punya kumpulan seragam yang mirip pola kursi bus saat mereka berjaya pada awal 1990-an.

Kemudian narasi yang menyelamatkan. Bagian vital dari teknik pemasaran. Terkadang pesannya meleset, tapi banyak pula yang tepat sasaran.

Seragam ketiga MU musim 2020/21 katanya menyoal komposisi warna seragam pada awal klub berdiri lebih dari 100 tahun lalu. Desain trendi yang sempat digunakan pada 1970-an dan 1980-an, lantas diperbarui secara modern untuk awal dekade 2020-an.

Sementara milik Chelsea jelas bukan mengimitasi Crystal Palace. Melainkan mengambil komposisi warna seragam tandang selama 1992-1994, plus terinsipirasi dari sneakers orisinal Nike Air Max 180.

Selain The Blues, Nike memang secara borongan merilis seragam ketiga klub elite yang mereka dukung, antara lain Barcelona, Atletico Madrid, RB Leipzig, AS Roma, Tottenham Hotspur, dan Galatasaray dengan konsep desain sepatu Air Max. Sedangkan Inter memberikan penghormatan kepada kostum tim pada 1997-98 yang menjuarai Piala UEFA. Bagi I Nerazzurri, cukup seragam tandang mereka saja yang diolok-olok seperti serbet atau papan Tic Tac Toe.

Biasanya, kalau seragam sudah menjadi konten meme sejak gambar bocorannya beredar, copywriting saat rilis bernada: “Seragam ini sebagai sebuah pernyataan sikap atas fesyen dan kultur dari kota yang kami cintai. Memadukan identitas klasik klub dengan sentuhan inovasi modern.”

Pihak apparel sadar, betapa komentar publik tidak bisa terbendung. Pasti tugas humas untuk mengeremnya lewat rilis pers. Apalagi ini menyoal seragam ketiga yang proses kreatifnya begitu leluasa, penggunaannya di lapangan kelewat jarang, dan memungkinkan upaya opsi alternatif kepada basis penggemar yang digiring konsumtif.

Selera setiap kepala berbeda-beda. Ditentukan oleh pengetahuan yang dipunya dan pengalaman masing-masing mereka. Tentu juga bukan serta merta begitu adanya. Dapat terbentuk secara sistematis dalam durasi tertentu lewat sokongan kapital.

Berhubung perdebatan `seragam ini bagus, sementara seragam itu buruk` tidak pernah tuntas karena berada dalam koridor subyektif, Adidas pernah nekat mengadakan sayembara desain untuk seragam ketiga MU, Real Madrid, Bayern Muenchen, Juventus, AC Milan, dan Flamengo pada 2016/17.

Mereka tantang kepada siapapun mengirim desain seragam impian. Audisinya ditentukan lewat jajak suara daring. Ketika masuk ke babak 100 besar, pemain klub itu sendiri yang menentukan pemenangnya. Momen impian bagi para desainer grafis yang hobi mengkreasi ‘Fantasy Kit’ dan belaga miliknya selalu lebih keren daripada desain kostum sungguhan.

“Kami punya lebih banyak kebebasan untuk kostum ketiga, karena lebih longgar untuk mengikuti tradisi atau ekspektasi. Kami dapat mengenalkan inovasi pada desain dan teknologi, sekaligus menyajikan kesempatan ini kepada penggemar,” ungkap Direktur Komunikasi Adidas Football, Florian Alt saat itu kepada Football Bible.

Sulit untuk mencegah preferensi seseorang atas banyak hal. Barang kali, niatan membuat seragam terbaik memang tidak pernah tercapai. Setidaknya ada upaya menyajikan beragam kemungkinan sebelum mengambil keputusan.

Sebagai sesuatu yang punya estetika, seragam sepak bola juga berkaitan erat dengan selera. Bukan tugas siapapun untuk membuat produk yang semua orang suka. Alih-alih memaksa orang lain berdecak kagum dengan tampilannya, bagaimana kalau sajikan saja kisah yang begitu kuat di sekitar seragam baru?

https://twitter.com/hummel1923/status/1298515928058073089">

Seperti langkah yang ditempuh Everton pada musim ini. Seragam ketiga The Toffees mengambil warna hijau laut dan hitam arang sebagai bentuk penghormatan kepada tim sepak bola disabilitas mereka. Dengan tajuk ‘More Than Eleven’, jenama Hummel menyokong Everton untuk pertama kalinya. Bentuk kampanye pemasaran solid, karena turut mengikutsertakan bagian penting di luar tim utama yang begitu-begitu saja.

Contoh lain, FC Koeln yang turut memasukkan Kolner Mosque dalam siluet kota untuk seragam merah musim depan. Niatan Effzeh untuk menghadirkan pembicaraan soal inklusivitas di kota mereka begitu lantang. Ketika ada satu penggemar rasis yang menghentikan status keanggotan karena seragam itu, Koeln sama sekali tidak ambil pusing.

Sejak lama, klub sepak bola mengutarakan pesan lewat pakaian bertanding. Rayo Vallecano rajin memasang motif pelangi sebagai bentuk anti diskriminasi berbasis orientasi seksual. Barcelona tidak pernah ragu memasang warna bendera Senyera selagi Katalan masih mencari kemerdekaan. Klub seperti West Ham United, Bayer Leverkusen, dan Mainz enggan pula luput menunjukkan identitas asal muasal klub berdiri.

Cerita yang kuat di balik seragam sepak bola justru menjadi daya tarik besar. Alih-alih sebatas mencoba keren, fashionable, dan berharap brand mereka bukan lagi semata-mata klub tim sepak bola. Sebetulnya begitu pun boleh-boleh saja, asalkan berkesinambungan dan mapan.

Misalnya, Paris Saint-Germain yang sejak 2018 bermitra dengan jenama Air Jordan menyajikan kostum spesial. PSG, satu-satunya klub sepak bola yang disokong outfit street culture. Kolaborasi yang tidak lepas dari niatan Les Parisien menghadirkan titik temu antara fesyen dan olahraga. Sebagai tim dari ibu kota fesyen dengan acara glamor tahunan Paris Fashion Week, para pemain PSG memang sepantasnya tampil terkeren di atas lapangan.

Sejak diakuisi Nasser Al-Khelaifi, para selebritas papan atas, seperti Rihanna, Beyonce, Jay Z, Gigi Hadid, Kendall Jenner, dll. sekali-dua kali mondar-mandir di tribune Stadion Parc Des Princes. Menyempatkan mampir setelah berbelanja di lokasi pusat fesyen dunia.

Tiga Seragam Mana Cukup?

Hematnya, seragam suatu tim hanya dua buah permusim, merujuk laga kandang dan tandang. Namun, seragam ketiga jelas bukan barang baru. Sepak bola Inggris telah mengenal kostum ketiga sejak 1930-an. Perjuangan Manchester United pada final Piala FA 1948 melawan Blackpool dan final Piala Champions 1968 versus Benfica ditemani seragam ketiga berwarna biru legendaris.

Lagipula, belakangan beberapa klub merilis lebih dari tiga seragam permusim. Pada musim 2017/18, Koeln merilis enam seragam sekaligus. Musim lalu, Fiorentina tidak mau ketinggalan dengan meluncurkan empat seragam berwarna berbeda sebagai representasi empat wilayah besar di kota Florence.

Chelsea juga secara ajaib, memakai enam seragam pada musim lalu: seragam kandang, tandang, ketiga, edisi spesial final Piala FA 1970, dan kostum kandang-tandang 2020/21. Hal semacam ini jamak pada olahraga di Amerika Serikat.

Misalnya, pada tim NBA yang dalam semusim bisa saja memiliki enam jenis seragam. Mulai dari edisi icon (pasti warna putih), association (seragam tandang/berwarna gelap), statement (seragam ketiga), city (inspirasi kota/negara bagian), earned (seragam Natal untuk tim play-off), dan throwback (klasik).

Penggemar kritis boleh sinis, kalau seragam ketiga dan seterusnya semata-mata alat pengeruk keuntungan. Namun, sulit juga melakoni sekitar lima puluh pertandingan semusim hanya dengan dua kostum. Sebab perbedaan warna tidak bisa dipisahkan dengan gelap-terang semata. Sudah banyak insiden menyoal problematisnya seragam alternatif saat bertanding.

MU pernah berganti kostum pada turun minum melawan Southampton pada 1996. Kejadian yang begitu terkenal, tatkala Ryan Giggs, cs. mengganti seragam kedua berwarna abu-abu dengan kostum ketiga berwarna biru-putih. MU yang tertinggal 0-3 di babak pertama, berhasil mencetak satu gol dan tidak kebobolan dengan kostum biru-putih di akhir laga.

Praktis periode babak pertama melawan The Saints menjadi penampilan terakhir baju ‘sial’ itu. Dengannya, MU sekali seri dan empat kali kalah. Penyebab utama mereka bermain buruk, karena memang warna abu-abu dengan desain demikian menyulitkan para pemain MU melihat pergerakan satu sama lain.

Kisah absurd selanjutnya, Chelsea pernah memakai seragam tandang Coventry City akibat warna biru tebal mereka dianggap bertabrakan dengan warna biru langit Coventry. The Blues keok 1-3 pada laga tahun 1997 tersebut.

Kisah serupa pernah terjadi pada Piala Dunia 1978, saat Prancis terpaksa memakai seragam klub lokal Argentina, C.A. Kimberley saat melawan Hungaria. Konsekuensi siaran televisi yang terbatas hitam-putih. Warna biru Prancis dan warna merah Hungaria bakal terlihat gelap di televisi. Alhasil, harus ada yang mengalah.

Sialnya, kedua tim malah sama-sama membawa seragam berwarna putih. Prancis akhirnya yang benar-benar mengalah dan sejarah tercipta.

Untuk ajang antarnegara, seragam ketiga memang tidak kunjung lazim. Jumlah pertandingan yang sedikit masih bisa diakali. Meski begitu, Inggris pada Piala Dunia 1986, Spanyol pada Piala Dunia 2014, dan Prancis saat merayakan 100 tahun federasi sepak bola pernah tampil dengan seragam sekali pakai.

Seberapa pedasnya kritikan kepada seragam klub sepak bola, pada suatu saat mungkin saja akan terkenang sebagai sesuatu yang ikonik. Sekalipun banyak yang mencibir, tentu saja tetap ada yang suka dan membeli. Entah memang klub dan pemainnya favorit, karena suka desainnya, atau memang sekadar mengoleksi. Terlampau banyak kisah yang menempel di sekitar selembar kain berlogo klub.

Untuk musim depan, apa desain seragam favorit kalian? Tenang, untuk kali ini tidak perlu melibatkan objektivitas dalam sebuah jawaban.

Sumber: Soccer Bible/Footy Headlines/Talksport.

Komentar