Haruskah Mourinho Kembali Bermain Parkir Bus?

Analisis

by Redaksi 15

Redaksi 15

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Haruskah Mourinho Kembali Bermain Parkir Bus?

Bulan madu resmi berakhir. Setelah meraih tiga kemenangan beruntun selama Bulan November 2019, Jose Mourinho harus mengakui bahwa pernikahannya dengan Tottenham Hotspur tidak seindah yang dibayangkan. Padahal, saat the Special One pertama mendarat di London Utara, semua seperti sudah tertata rapi.

Pemilik Tottenham Hotspur Daniel Levy sudah mendambakan kedatangan Mourinho sejak 2003, saat nakhoda asal Portugal itu masih menangani FC Porto. Skuad peninggalan Mauricio Pochettino banyak diisi pemain-pemain idaman Mourinho. Ia bahkan langsung membantah stigma publik di pertandingan debut melawan West Ham United dengan bermain menyerang dan menang 3-2.

Usai mengalahkan (rival yang terlupakan) Manuel Pellegrini di Stadion London, Mourinho pun mengakui bahwa permainan menyerang yang diperlihatkan Son Heung-Min dan kawan-kawan saat itu adalah gaya main paling pas untuk Tottenham Hotspur. Meminta awak media tak terlalu memikirkan taktik ataupun strategi yang mereka lihat. Sekalipun gaya permainan itu jauh dari karakteristik Mourinho yang defensif.

Menerapkan sistem 3-2-5 sebagai pola permainan Tottenham, jelas banyak gol diciptakan oleh anak-anak asuh Mourinho. The Lilywhites bahkan mencetak 16 gol dalam lima pertandingan pertama mereka di bawah kendali Mourinho. Angka ini Lebih banyak dibanding saat Mourinho memulai karir di Manchester United (9), Real Madrid (8), Chelsea periode pertama dan kedua (6), ataupun Porto (4).

Bahkan Inter Milan yang berhasil menunaikan puasa gelar empat setengah dekade di Liga Champions UEFA berkat Mourinho, juga hanya mencetak 10 gol di lima pertandingan pertama mereka bersama the Special One. Jelas pendekatan permainan Mourinho sudah mengalami perubahan. Ia menyesuaikan diri dengan pemain-pemain yang ada, walau tidak sesuai dengan ciri khasnya, itu tetap opsi terbaik bagi dia.

Sudah dua bulan berlalu, Mourinho berhasil mengangkat Tottenham dari posisi 14 ke peringkat enam klasemen sementara Liga Primer Inggris. Menjalani 11 pertandingan, termasuk di Liga Champions UEFA, Mourinho meraih tujuh kemenangan, satu imbang, dan tiga kali menelan kekalahan bersama the Lilywhites. Dari semua pertandingan tersebut, hanya empat kali gagal Spurs tidak mendominasi penguasaan bola. Mereka juga mencetak 23 gol dari 56 tembakan ke arah gawang.

Itu sama saja memiliki tingkat konversi gol hingga 41,07%. Apabila lebih mengerucut lagi, di Liga Primer Inggris hingga pekan ke-21, Tottenham berhasil mencetak 36 gol dari 76 tembakan ke gawang (48,6%). Dari total tersebut, harus diakui Tottenham asuhan Pochettino lebih pandai memaksimalkan peluang. Mencetak 18 gol dari 30 tembakan (60%). Tapi, saat diasuh Mourinho mereka lebih berani mengancam gawang lawan dengan 46 tembakan yang juga menghasilkan 18 gol (37,5%).

Kenapa saat diasuh Pochettino Tottenham bisa efisien memanfaatkan peluang tapi seperti kekurangan tenaga di atas lapangan? Sementara saat diasuh Mourinho, mereka menggebu-gebu tapi sering buang-buang peluang? Mungkin, jawabannya ada di pertahanan.

Alasan Tottenham kurang bersemangat diasuh Mauricio Pochettino selama 12 pekan Liga Primer Inggris 2019/2020 adalah hubungan yang retak antara nakhoda asal Argentina tersebut dengan pemain-pemain senior the Lilywhites. Christian Eriksen, Toby Alderweireld, dan Jan Verthongen semuanya diisukan akan pergi meninggalkan London Utara. Tapi gaya permainan yang diterapkan Pochettino tetap sama seperti musim-musim sebelumnya.

Selalu berusaha untuk mencetak gol pertama dan mengendalikan pertandingan. Bahkan saat kalah 2-7 dari Bayern Munchen sekalipun, Tottenham lebih dulu unggul. Masalahnya, ketika kehilangan kendali, mereka kekurangan semangat juang. Seperti kata Alan Shearer kepada Coral, mereka sudah tidak mau lagi berlari atau menekan lawan untuk Pochettino.

Mourinho berhasil mengembalikan semangat itu, tapi karena pada dasarnya mayoritas pemain utama Tottenham memiliki insting menyerang, mereka lupa untuk bertahan. Entah formasi apa yang tertulis di atas kertas, Mourinho menerapkan 3-2-5. Itu yang dianggap sesuai untuk memaksimalkan potensi para pemain yang ia miliki, mayoritas menyerang.

Akhirnya walaupun mencetak 23 gol, mereka juga kebobolan 16 kali. Dari 11 pertandingan, Tottenham asuhan Mourinho tujuh kali tertinggal lebih dulu. Padahal dari 12 laga yang dijalani Pochettino, hal itu hanya terjadi empat kali. Bahkan waktu Mourinho menjalani laga perdananya melawan West Ham, the Lilywhites hampir kecolongan. Bobol dua kali setelah unggul tiga gol. Begitu juga saat bertemu dengan AFC Bournemouth. Sudah unggul tiga gol, mereka masih bermain menyerang, melupakan pertahanan.

Jika dilihat secara logika, performa terbaik Tottenham selama dua bulan diasuh Mourinho adalah saat mereka menang lima gol tanpa balas dari Burnley. Itu satu-satunya partai di mana Paulo Gazzaniga tidak kebobolan selama diasuh Mourinho.

Uniknya, pada pertandingan tersebut penguasaan bola Tottenham justru lebih rendah dibandingkan Burnley (49:51). Tapi mereka bisa mengkonversi tujuh tendangan ke gawang Nick Pope jadi lima gol. Sementara saat bertemu Norwich City, tujuh tembakan ke gawang Tim Krul hanya dua yang diubah jadi gol. Padahal, saat itu mereka lebih mendominasi bola (59:41).

Pertandingan pembuka Tottenham di 2020 melawan Southampton juga sama. Gol tunggal Danny Ings lahir dari serangan balik, memaksimalkan kelengahan pemain-pemain Tottenham yang asik menyerang. Selain gol Ings itu, Southampton hanya punya satu tendangan ke arah gawang. Upaya Nathan Redmond tepat ke pelukan Gazzaniga. Sementara Tottenham yang terus menyerang, gagal menembus pertahanan Southampton yang rapat. Sekalinya mereka mencetak gol, harus dari posisi offside dan tentu dianulir.

Tottenham mungkin diisi pemain-pemain dengan tipikal menyerang. Tapi begitu juga dengan Chelsea, Real Madrid, Inter Milan, ataupun mantan tim asuhan Mourinho lainnya. Memang, jabatan Mourinho hanya sebatas kepala pelatih di London Utara. Mungkin ia harus mengikuti kemauan Daniel Levy dan menerapkan gaya permainan yang berbeda dengan karakteristiknya.

Tapi, seorang kepala pelatih dipercaya untuk menangani hal-hal taktikal, di atas lapangan. Dinilai dari performa tim. Setelah 11 pertandingan, Mourinho seperti tidak menjalankan tugas tersebut. Ia hanya memberi kebebasan kepada para pemain, untuk bermain sesuai dengan gaya mereka.

Pergi ke kanal Youtube Tottenham atau saksikan cuplikan pertandingan mereka di Mola TV, dan hitung sendiri berapa peluang didapat lawan karena anak-anak asuh Mourinho hanya menyaksikan bola datang ke daerah pertahanan mereka. Lupa untuk mengambil posisi, melihat kondisi sekitar, apalagi melakukan antisipasi. Hanya lima pemain yang selalu terlihat hidup: Harry Kane, Dele Alli, Son, Lucas Moura, dan Moussa Sissoko. Itu juga karena tugas utama mereka menyerang.

Data: @FootyDoc via Medium

Entah apa yang mau dibuktikan Mourinho dengan membiarkan tim asuhannya bermain seperti ini. Pasalnya, selama ini ia sudah membuktikan bahwa bertahan juga bisa memberikan kemenangan, bahkan memenangkan gelar! Faktanya, tim asuhan Mourinho selama ini selalu produktif walaupun dikenal defensif.

Ketika melatih Manchester United juga begitu. Pada musim pertama (2016/17), the Red Devils asuhan Mourinho memang hanya mencetak 54 gol di Liga Primer Inggris. Terlihat minim jika dibandingkan dengan Chelsea (85), Tottenham (86), dan Manchester City (80) di musim yang sama. Tapi masih ada 12 kesebelasan lainnya yang mencetak gol lebih sedikit dibanding Manchester United asuhan Mourinho saat itu. Soal pertahanan, mereka kebobolan 29 kali musim itu. Hanya Tottenham yang lebih jarang memungut bola dari gawang (26). Sementara di musim kedua bersama Manchester United, Mourinho menjadikan the Red Devils sebagai tim dengan pertahanan terbaik di Liga Inggris 2017/18 (28 kali kebobolan). Walaupun hanya mencetak 68 gol, mereka duduk di peringkat dua klasemen akhir saat itu.

Menengok catatan di 2016/17, Tottenham juga telah membuktikan mereka bisa bertahan walaupun diisi pemain-pemain dengan insting menyerang. Tuntutan dari petinggi klub atau bukan, seharusnya saat ada dua pihak dengan satu tujuan sepakat untuk menjalaninya bersama-sama, ada kompromi dan toleransi di antara mereka. Mourinho sudah membuktikan bahwa dirinya dapat menerapkan gaya main menyerang, menciptakan banyak peluang, dan cetak puluhan gol. Sekarang giliran Tottenham mengikuti gaya main Mourinho dan mulai mempersiapkan tempat parkir.

Komentar