Suporter Indonesia (Tidak) Berkontribusi kepada Industri Sepakbola

Football Culture

by redaksi

Suporter Indonesia (Tidak) Berkontribusi kepada Industri Sepakbola

Penonton, pendukung (suporter), dan fan. Ada di tingkat mana kah kamu?

Tunggu sebentar. Ketiga kata di atas seolah sama maknanya, padahal berbeda kalau didalami. Sebelum awal abad ke-20, orang-orang hanya dikenal sebagai “penonton” (spectators). Semua orang bisa menjadi penonton.

Kemudian ketika seorang penonton sudah mulai menunjukkan keberpihakannya, maka dia berevolusi menjadi “pendukung” (supporters). Nah, kata “fan” (fans) baru muncul setelah itu. Ia berasal dari kata “fanatic”. Maka, fan berada pada level yang lebih tinggi, meski kadang lebay.

Menjadi penonton, pendukung, dan terutama fan sepakbola adalah sebuah privilese sekaligus beban. “Ketika kamu menang, itu adalah hal terbaik di muka bumi, dan jika kamu tidak [menang], itu adalah akhir dunia,” kata Paul Brown, penulis buku Savage Enthusiasm: A History of Football Fans.

Kita semua tahu suporter—bukan pemain, pelatih, pemilik kesebelasan, orang federasi, atau para bohir di FIFA—adalah nyawa utama sepakbola. Tanpa suporter, maka tidak akan ada (kesebelasan) sepakbola.

Kesebelasan (dan) sepakbola memang tak bisa mati. Sejujurnya mungkin homo sapiens tak akan menemukan sebuah kekuatan tentang kesetiaan—yang kebanyakan adalah omong kosong—yang lebih besar daripada kesetiaan seorang suporter (apalagi fan) kepada kesebelasan idolanya.

Masalah keuangan. Apakah cuan akan mengganggu stabilitas sebuah kesebelasan? Mungkin jawabannya iya, tapi tidak dengan eksistensinya. Suporter adalah mereka yang akan tinggal dengan kesebelasan bagaimanapun nasib kesebelasan tersebut.

Jika kamu adalah seorang suporter atau fan sepakbola, mari sejenak merenung: sebenarnya apa, sih, kontribusi saya kepada keberlangsungan industri sepakbola atau kepada kesebelasan kesayangan saya? Ini bukan pertanyaan jebakan.

Pada dasarnya, di sepakbola, tidak ada yang lebih tinggi antara fan dan kesebelasannya. Fan tidak berada di posisi yang lebih tinggi dari kesebelasan. Begitu pula sebaliknya. Hubungan antara fan (dan stakeholder industri sepakbola lain) adalah hubungan mutualisme yang saling menguntungkan satu sama lain. Hubungan mutualisme ini menjadi syarat agar industri sepakbola dapat berjalan baik di suatu negara dan juga secara global.

Bagaimana Industri Sepakbola Berjalan

Sepakbola memang sebuah olahraga, namun industri sepakbola tidak sesederhana pemainan di lapangan hijau antar dua kesebelasan selama 90 menit. Ada banyak proses dan pihak yang terlibat di luar itu. Suporter tentu salah satunya, namun bukan satu-satunya yang terlibat.

Dalam sebuah lokakarya manajemen olahraga yang digelar oleh Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI), saya mendapat sebuat model industri olahraga yang cukup mudah untuk dipahami. Ryan Gozali, CEO Liga Mahasiswa, menunjukkan model ini yang sedikit banyak menjadi jawaban mengapa industri sepakbola di Indonesia tidak berjalan dengan baik.

Model industri olahraga dari Ryan Gozali

Setidaknya ada enam entitas yang terlibat dalam sebuah industri olahraga, yaitu klub, pemain, fan, penyelenggara kompetisi (termasuk federasi dan pembuat kebijakan), media, dan brand/perusahaan. Masing-masing memiliki peran yang harus dijalankan sehingga roda industri mampu berputar.

Garis-garis yang menghubungkan dua entitas adalah dana yang mengalir antar kedua entitas tersebut. Dari model tersebut, memang terlihat bahwa aliran dana dimulai dari dua entitas, fans dan brand. Dana tersebut kemudian mengalir melalui media, penyelenggara kompetisi, dan klub, hingga bermuara kepada pemain dan pelatih sebagai aktor utama industri olahraga.

Lalu apa yang yang didapat oleh fan dan brand? Apakah mereka hanya sebagai ‘donatur’ untuk industri sepakbola? Tentu saja tidak.

Hal paling sederhana tentu saja fan akan mendapatkan kepuasan dari hiburan sepakbola yang berlangsung. Lebih jauh lagi, industri sepakbola memiliki kekuatan untuk menghidupi industri-industri sekitarnya yang akan menjadi lahan pekerjaan dan membuka kesempatan bagi para fan sepakbola untuk menjalani kegiatan sehari-harinya.

Bagi brand? Sudah jelas brand akan mendapat perhatian yang luas dengan terlibat di industri sepakbola. Dari sini, kesempatan brand tersebut untuk berkembang akan terbuka lebar.

Ini yang membuat industri sepakbola di Eropa mampu berkembang dan menjadi sangat besar. Dalam laporan yang dikeluarkan Deloitte setiap tahunnya, terdapat tiga sumber utama pemasukan kesebelasan, yaitu matchday (pertandingan), broadcast (penyiaran), dan commercial (komersial).

Klasemen Deloitte Football Money League 2019 dari Deloitte

Jika ingin kita kaitkan dengan model industri olahraga sebelumnya, matchday adalah sumber pemasukan kesebelasan dari fan, broadcast adalah sumber pemasukan kesebelasan dari penyelenggara kompetisi, dan commercial adalah sumber pemasukan kesebelasan dari brand.

Ketiga sumber pemasukan tersebut memberikan kontribusinya masing-masing. Jika kita lihat pada laporan Deloitte di tahun 2019, secara umum kontribusi pemasukan kesebelasan-kesebelasan Eropa berasal dari commercial dan broadcast. Matchday kemudian melengkapi pemasukan kesebelasan dengan kontribusi sekitar 15-20%.

Meski memberikan kontribusi pemasukan yang paling kecil, sumber pemasukan matchday (di antaranya tiket dan merchandise) yang sebagian besar sumber dananya dari fan tidak bisa dipandang sebelah mata. Jika melihat lebih jauh laporan Deloitte setiap tahunnya, kontribusi kepada kesebelasan-kesebelasan Eropa dari sumber matchday sangat konsisten dan cenderung naik perlahan. Sementara kontribusi broadcast dan komersial bersifat fluktuatif setiap tahunnya, bisa sangat tinggi dan bisa juga menurun.

Mari kita ambil contoh Liverpool. Prestasi Liverpool tidak cukup baik pada 2014-2017. Mereka baru mampu kembali masuk ke dalam empat besar klasemen pada 2016/17. Namun pada rentang tahun tersebut, pemasukan Liverpool dari para fannya konsisten di angka €70-80 juta.

Saat Liverpool berhasil lolos ke final Liga Champions 2017/18, pemasukan mereka dari fan memang meningkat, tapi tidak terlalu signifikan, yaitu menjadi €92 juta.

Hal ini berbeda dengan broadcast dan commercial. Pemasukan broadcast cukup bergantung dengan prestasi kesebelasan. Pemasukan Liverpool dari sisi broadcast meningkat hingga 40% dari tahun sebelumnya akibat berhasil mencapai final Liga Champions. Sementara pemasukan commercial, biasanya akan ada siklus 3-5 tahun di mana kesebelasan menandatangani kontrak baru dengan suatu brand yang membuat pemasukan mereka melonjak drastis daripada tahun sebelumnya.

Hal ini menunjukkan meski kontribusi finansial yang diberikan fan kepada kesebelasan bukanlah yang terbesar, tetapi kontribusi ini dapat menjadi fondasi awal bagi kesebelasan untuk menjalani musimnya.

Fan tetap akan ada bersama kesebelasan, tidak peduli seburuk apapun prestasi kesebelasannya di musim tersebut. Lebih jauh lagi, catatan konsisten kontribusi para fannya bisa menjadi modal awal bagi kesebelasan untuk menunjukkan value yang dapat ditawarkan kepada brand sebagai calon sponsor.

Fan dari Indonesia: Jumlahnya Tinggi, Tapi Daya Belinya Rendah

Sayangnya, semua simbiosis mutualisme di atas belom berjalan baik di Indonesia, baik dari fan kepada kesebelasan dan kompetisi di Indonesia maupun kepada kesebelasan dan kompetisi di luar Indonesia.

Pada suatu kesempatan perbincangan dengan mantan pegawai kesebelasan di Premier League. Dia mengatakan tak ada yang meragukan fan sepakbola di Indonesia dari segi jumlah.

Namun, fan sepakbola Indonesia yang besar itu mempunyai satu nilai merah yang membuat Indonesia belum menjadi target utama, yaitu daya beli. Jumlah besar fan tersebut tidak berbanding lurus dengan volume belanjanya.

Sekitar 2012-2013 Indonesia kedatangan banyak kesebelasan Eropa yang menjalani tur. Namun setelah itu hingga pra-musim 2019, tidak banyak kesebelasan yang berkunjung lagi ke Indonesia. Kenapa?

Kunjungan kesebelasan-kesebelasan Eropa ke Indonesia pada 2012-2013 membuat mereka mendapatkan eksposur yang luar biasa. Saking besarnya eksposur tersebut, gaung dari tur mereka di Indonesia sampai terdengar ke negara Asia lainnya seperti Thailand, Singapura, India, dan Tiongkok.

Ini yang mereka incar dengan kedatangan di tahun 2012-2013 tersebut. Eksposur dari Indonesia ini menjadi jalan masuk bagi kesebelasan-kesebelasan Eropa untuk meyakinkan sponsor agar mengantarkan mereka menjalani pra-musim di negara-negara Asia lain pada tahun-tahun berikutnya. Salah satunya dengan ajang tahunan “tak penting” seperti International Champions Cup.

Baca juga: Ketika Kiblat Sepakbola Berpindah Sejenak ke Asia

Itu yang membuat selepas 2012-2013 tidak banyak lagi kesebelasan Eropa yang datang ke Indonesia. Mereka lebih memilih negara-negara Asia lain dengan fan sepakbola yang memiliki daya beli lebih besar.

Fan Indonesia yang memiliki daya beli tinggi akan dengan senang hati berangkat ke negara terdekat seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia. Sementara yang lain diberikan kesempatan menyaksikan melalui siaran televisi atau streaming internet.

Hal ini pula yang terjadi pada kesebelasan dan kompetisi di Indonesia. Kesebelasan dan kompetisi di Indonesia cukup bergantung dengan pemasukan dari sisi commercial (pemasukan dari brand sponsorhip). Fan memang memberikan kontribusi pemasukan matchday melalui pembelian tiket, tapi tidak semua kesebelasan juga mampu mengelola proses ticketing dengan baik.

Sementara penjualan merchandise yang mampu memberikan kontribusi pemasukan matchday menjadi lebih besar, belum banyak kesebelasan yang menjalankannya. Alasannya sederhana namun menjadi masalah mengakar di Indonesia dan sudah berlangsung lama, barang bajakan.

Barang bajakan tentu menghambat sumber pemasukan kesebelasan dari penjualan merchandise resmi. Pembahasan ini tentu akan panjang dan membutuhkan investigasi lebih mendalam soal akar masalahnya. Kemudian jika melihat kontribusi fan terhadap media, masih banyak fan yang lebih memilih mengakses streaming bajakan dengan alasan yang sama.

Kondisi ini membuat kontribusi fan sepakbola Indonesia kepada kesebelasan, kompetisi, dan media menjadi tidak terlalu kelihatan. Industri sepakbola di Indonesia tidak memiliki pemasukan dari fannya secara konsisten sebagai fondasi awal mereka menjalani musim kompetisi seperti yang terjadi di Eropa. Dari sini, dampaknya pun cukup besar.

Kesebelasan dan kompetisi di Indonesia tidak memiliki daya jual kepada calon sponsor karena tidak ada catatan pemasukan dari fan mereka. Media pun kesulitan mendapatkan hak siar; sekalinya ada yang seperti Mola TV (dalam perspektif pemegang hak siar Tim Nasional Indonesia dan Premier League), malah dinilai ribet dan mahal.

Calon sponsor yang mengetahui hal ini pun merasa mereka sangat dibutuhkan sehingga kesebelasan dan kompetisi tidak memiliki daya tawar untuk mendapatkan nilai sponsor yang besar. Dari sini, permasalahan finansial kesebelasan akan dimulai. Gaji pemain tertunggak atau bahkan tidak dibayar menjadi hal yang hampir setiap tahun terjadi di Indonesia.

Suporter Indonesia Bisa Berkontribusi Apa?

Sudah saatnya fan sepakbola di Indonesia sadar posisi dan peran apa yang dapat dilakukan untuk industri sepakbola. Uang ratusan ribu rupiah untuk membeli tiket lewat jalur resmi, membeli merchandise resmi kesebelasan, atau berlangganan hak siar, tidak secara langsung mampu melunasi utang-utang gaji pemain. Namun disadari atau tidak, kontribusi ini dapat menjadi awal berkembangnya kesebelasan (dan kompetisi) menjadi mandiri.

Tidak melulu berkontribusi dengan mengeluarkan uang. Ketika belum mampu berkontribusi dari sisi finansial, setidaknya jangan membuat aliran dana di industri menjadi terhambat. Kerusuhan suporter, pembajakan aset-aset klub, pemalsuan tiket, dan kebiasaan-kebiasaan tercela suporter lainnya membuat calon investor akan berfikir ulang saat ingin menanamkan dananya di industri sepakbola. Setidaknya, menciptakan kondisi kondusif di lingkungan sepakbola adalah kontribusi paling mendasar yang bisa dilakukan suporter.

Dampak yang terjadi dengan transaksi fan melalui jalur yang tidak benar seperti tiket palsu, membeli merchandise bajakan, atau mengakses streaming ilegal tidak sekadar membuat kesebelasan kehilangan pemasukan ratusan ribu rupiah saja, melainkan membuat kesebelasan kehilangan peluang untuk mendapatkan kerja sama sponsor bernilai miliaran rupiah.

Jika melihat kembali model industri olahraga di atas, aliran dana dari fan bukan satu-satunya yang mengalir ke kesebelasan. Ada pula aliran dana dari media ke penyelenggara kompetisi dan penyelenggara kompetisi ke kesebelasan dalam bentuk uang hadiah dan bagi hasil hak siar.

Jumlah yang diterima kesebelasan tentu sangat bergantung pada berapa besar nilai hak siar yang mampu dijual oleh penyelenggara kompetisi kepada media penyiaran (baik satelit maupun over the top).

Lebih jauh lagi, kemampuan media dalam membayar hak siar juga sangat bergantung dari pemasukan mereka yang berasal dari dua sumber, fan sepakbola yang berlangganan konten berbayar dan brand yang mau menjadi sponsor.

Kasus serupa dengan apa yang dialami kesebelasan: media akan memiliki nilai tawar yang lebih kepada brand jika bisa menunjukkan kontribusi besar fan sepakbola dalam berlangganan konten-konten sepakbola.

Ini adalah cara lain bagi fan sepakbola untuk berkontribusi. Jika tidak mau secara langsung kepada kesebelasan atau kompetisi, maka ada jalan lain yaitu melalui perantara media. Salah satu caranya adalah dengan berlangganan layanan siaran pertandingan sepakbola.

Namun, masalah serupa juga dihadapi oleh media penyedia layanan siaran pertandingan. Layanan streaming ilegal menjamur dan justru lebih digemari fan sepakbola di Indonesia dengan berbagai alasan. Para fan harus menyadari bahwa menonton melalui streaming ilegal tidak sekadar membuat penyedia layanan resmi kehilangan satu penonton yang merusak performa mereka.

Lebih jauh lagi, menonton melalui streaming ilegal akan mengurangi kemampuan media dalam membayar hak siar yang kemudian berdampak pada berkurangnya nilai hak siar dan berbuntut pada berkurangnya revenue broadcasting yang diterima kesebelasan. Lagi-lagi, muaranya adalah permasalahan utang gaji yang dialami pemain.

Dari sini, fan sepakbola Indonesia harus segera sadar akan posisinya dan kontribusi yang dapat mereka lakukan. Fan juga harus sadar bahwa kecurangan yang mereka lakukan bukan berdampak hilangnya pemasukan kesebelasan yang bernilai ratusan ribu, melainkan membuat kesebelasan kehilangan potensi pemasukan miliaran rupiah.

Baca selengkapnya: Kalau Ada Streaming Ilegal yang Gratis, Kenapa Harus Bayar?

Penonton + Suporter + Fan ≠ Konsumen

Mungkin ada banyak fan sepakbola yang menolak disebut sebagai konsumen sepakbola. Pada dasarnya memang benar. Fan bukanlah konsumen.

Konsumen adalah orang yang mengonsumsi suatu produk. Hubungan antara konsumen dan produsen selesai setelah transaksi dilakukan. Sedangkan hubungan antara fan dan kesebelasan tidak selesai setelah fan melakukan transaksi pembelian tiket ataupun merchandise.

Akan ada timbal balik yang diberikan media, kompetisi, dan terutama kesebelasan kepada fannya. Kita tentu tahu ada banyak kisah kesebelasan yang berhasil menghidupkan perekonomian sebuah kota atau bahkan negara.

Maka tentu tidak adil jika mengatakan bahwa industri sepakbola Indonesia tidak maju hanya karena fannya belum sepenuhnya menjadi konsumen sadar akan kontribusinya. Harus diingat lagi bahwa ada banyak stakeholder yang terlibat; dan hubungan antar stakeholder tersebut adalah simbiosis mutualisme.

Tidak berputarnya roda bisnis pada industri olahraga menandakan setiap stakeholder yang ada di dalamnya harus mengevaluasi diri dan mulai menjalankan perannya masing-masing sebagaimana mestinya.

Teks: Abimanyu Bimantoro & Dex Glenniza

Komentar