Streaming Ilegal: Kalau Ada yang Gratis, Kenapa Harus Bayar?

Football Culture

by redaksi 138650

Streaming Ilegal: Kalau Ada yang Gratis, Kenapa Harus Bayar?

Sampai pekan pertandingan ketiga selesai, mayoritas opini masyarakat terhadap Mola TV sebagai pemegang hak siar Premier League 2019-2022 tidak berubah: ribet dan mahal. Bagi sebagian orang yang mampu, mereka tak memiliki masalah. Namun bagi orang yang merasa keberatan, ada satu pelarian umum: streaming ilegal.

Dari dua kata di atas—“streaming” dan “ilegal”—kata pertama menjadi kunci. Sementara itu, kata kedua bisa menimbulkan masalah.

Mola TV sendiri sebenarnya menyediakan platform streaming. Mola Polytron Streaming bahkan memiliki kata “streaming” pada nama perangkatnya. Itu terjadi karena secara mendasar, para penonton memang sedang melakukan streaming pertandingan, baik dari perangkat, situs, maupun aplikasi Mola TV. Bedanya, streaming di Mola TV bersifat legal.

Cara menonton dengan streaming ini adalah hal biasa di mancanegara. Empat contoh terbesar dari pemegang hak siar Premier League musim ini yang memiliki skema utama streaming antara lain adalah Amazon Prime Video (Inggris), DAZN (Andorra, Brasil, Jepang, Kanada, Spanyol), Now TV (Hong Kong), dan PPTV (Tiongkok).

Pada musim lalu, skema ini juga hadir dalam aplikasi streaming beIN Sports Connect di Indonesia. Vidio, Super Soccer TV, dan juga MAXstream sempat hadir di kesempatan-kesempatan sebelumnya yang mengaver liga-liga lainnya.

Seharusnya skema ini tidak lagi asing bagi masyarakat Indonesia. Melihat tren yang ada, budaya streaming melalui aplikasi (diakses lewat komputer, ponsel, maupun gawai lainnya) bisa booming untuk siaran-siaran olahraga di masa depan, layaknya kita mengakses Spotify atau YouTube yang sudah menjadi keseharian.

Namun lagi-lagi, masalah hadir ketika mayoritas konsumen tak bersedia membayar lebih untuk menikmati akses streaming legal. Bagi sekumpulan penonton yang memiliki moto hidup “Kalau ada yang gratis, kenapa harus bayar?”, streaming ilegal terus menjadi jalan keluar.

Dulu Salah Pemegang Hak Siar, Sekarang Salah Penonton

Penonton di Indonesia tentu sudah pada pintar. Tanpa bermaksud membela penonton bermental “gratisan”, realita yang kelihatan memang seperti ini: maraknya streaming ilegal bukan sepenuhnya salah penonton, melainkan media penyedia streaming legal.

Lho, kok, bisa?

Pada masa lalu, jika kalian mengetik di mesin pencari dengan kata kunci, misalnya: “Arsenal vs Tottenham Hotspur live stream”, maka yang keluar adalah situs-situs penyedia streaming ilegal.

Dahulu, media yang memiliki hak siar melalui streaming legal tidak melakukan promosi; entah tidak mau atau tidak mampu. Itu membuat para penonton terpapar banyaknya tautan streaming ilegal.

Namun jika kalian mengetik kata kunci yang sama saat ini, niscaya kalian akan melihat situs-situs “terpercaya” di halaman pertama seperti grup Tribun, Kompas, Bola Lob, sampai Pandit Football Indonesia. Tidak seperti situs-situs penyedia streaming ilegal (yang sebenarnya kadang tetap muncul di halaman pertama), situs-situs kredibel di atas akan langsung terhubung ke situs Mola TV.

Pada intinya, tak mungkin situs kredibel memberikan akses ke aktivitas yang melanggar hukum seperti streaming ilegal. Situs-situs di atas yang memiliki kredibilitas tinggi tentu harus memberikan informasi yang benar. Segala tautan harus jelas dan bertanggungjawab—kalaupun mengecoh, itu sifatnya iklan yang bukan berniat mencelakakan atau merugikan pengguna yang mengklik—termasuk tautan-tautan pada tulisan ini.

Saat ini, cara seperti itu menjadi salah satu promosi dan pemasaran dari pemegang hak siar. Biar bagaimanapun, situs-situs di atas membutuhkan traffic untuk terus hidup. Sementara penyedia streaming butuh promosi dengan menumpang ke situs-situs di atas.

Maka dari itu, situs-situs tetap menerapkan prinsip search engine optimisation (SEO), misalnya dengan menggunakan kata-kata kunci seperti nama kesebelasan kandang, nama kesebelasan tandang, “live”, “streaming”, “siaran langsung”, nama kompetisi, sampai nama pemain (ini hadir ketika Egy Maulana Vikri menjadi starter di Lechia Gdansk musim ini).

Secara umum, itu semua adalah salah satu upaya edukasi agar penonton mulai terbiasa mengakses streaming yang legal. Meski terkesan “licik”, cara itu menjadi win-win solution baik untuk situs yang bersangkutan maupun perusahaan pemegang hak siar.

Sementara untuk penonton yang dari awal mengincar untuk mengakses streaming ilegal, mereka tentu tidak kehabisan akal.

Alasan Penonton Mengakses Streaming Ilegal

Sejak Mola melakukan promosi dengan cara di atas, sebanyak 64,1% responden Survei Pandit (lebih dari 3.500 entri) menyatakan jika mereka merasa sulit mencari dan mengakses tautan streaming ilegal.

Sebaliknya, 22,5% responden masih merasa mudah dalam mencari dan mengakses streaming ilegal, serta sisanya menjawab kalau mereka sama sekali tidak pernah mengakses streaming ilegal.

Sejauh ini, kehadiran Mola TV dianggap sebagai musuh para pejuang streaming ilegal. Hal yang tak banyak diketahui orang adalah justru Mola TV menjadikan streaming ilegal sebagai teman mereka. Itu terbukti dengan beberapa situs penyedia link streaming ilegal asal Indonesia justru sekarang memuat tautan ke situs Mola TV.

Kesadaran penonton yang mengakses streaming ilegal menjadi penting. Itu ditunjukkan dari 59,12% penonton yang merasa tidak bersalah atau berdosa saat mengakses tautan streaming ilegal. Hanya 26% yang merasa bersalah.

Ada banyak alasan kenapa mereka merasa bersalah atau tidak. Ternyata ini bukan hanya soal edukasi.

Menurut penelitian dari Alphr, 29% penonton mengatakan jika mereka mengakses streaming ilegal karena melihat teman-teman atau anggota keluarganya juga melakukan hal serupa, 25% karena alasan kualitas, tapi hanya 24% yang menganggap paket berlangganan olahraga tidak sepadan dengan uang yang dikeluarkan.

Namun khusus untuk Indonesia, keuangan menjadi alasan utama kenapa para penonton tetap memilih streaming ilegal setiap akhir pekan. Pilihan ini, meski murah atau bahkan cenderung gratis (jika mengesampingkan biaya internet), sebenarnya masih memiliki kekurangan.

Kekurangan Streaming: Butuh Koneksi Internet, Mahal, dan Delay

Melalui streaming baik legal maupun ilegal, pelanggan juga diharuskan memastikan mereka memiliki akses internet sendiri. Untuk dapat streaming dengan nyaman diperlukan kecepatan internet sampai 1 Mbps.

Kemudian satu pertandingan juga biasanya menghabiskan kuota internet antara 1 sampai 1,5 GB, tergantung kualitas gambar yang dipilih.

Bagi pelanggan jasa streaming biasa, kecepatan dan kuota internet sebanyak itu tergolong mahal. Sedangkan dari perspektif Mola TV, harga yang mereka tawarkan untuk dibayar di muka (Rp1,2 juta) itu belum termasuk biaya internet. Itu yang membuat Mola TV dianggap mahal.

Selain harga, kualitas gambar, serta kecepatan dan kuota internet, ada satu faktor yang cukup mengganjal dari streaming, yaitu waktu delay atau latency atau lag atau penundaan. Delay adalah perbedaan waktu antara gambar yang ditampilkan di layar dengan gambar yang sebenarnya di atas lapangan.

Siaran langsung di televisi terestrial (antena biasa) rata-rata memiliki delay tak sampai setengah detik, TV kabel bisa 2-5 detik, dan streaming 10-30 detik. Mola TV sebenarnya masuk ke kategori streaming, tapi delay-nya diklaim tak lebih dari 10 detik, meski pada pekan pertama ada yang melaporkan di Twitter jika delay-nya sampai 60 detik.

Delay di streaming sangat wajar terjadi. Kalian bahkan bisa membandingkan dua perangkat yang sama bersebelahan, tapi gambarnya bisa berbeda. Ini tergantung dengan kecepatan internet, kualitas gambar yang dipilih, dan cache.

Secara umum, kita memang tak pernah menyaksikan siaran “langsung” kecuali berada di tempat dan waktu yang sama dengan kejadian (real time).

Delay di Streaming Ilegal Bisa Berkali-kali Lipat

Streaming legal pasti terus berusaha meminimalisasi delay ini karena mereka tak memakai banyak perantara. Sementara streaming ilegal bisa delay sampai 120 detik karena mereka membajak siaran yang ada, sehingga sampai ke layar kita melalui banyak perantara.

“Saya pernah menonton via streaming ilegal. Saya, sih, tidak tahan dengan kualitas gambar, delay, dan buffering-nya. Itu sangat tidak mencerminkan pengalaman menonton pertandingan olahraga yang baik,” kata Paul Dempsey, komentator Premier League, kepada kami.

“Kalau saya mau lancar dan tanpa delay, saya harus pilih kualitas yang buruk. Jika saya mau kualitasnya bagus, saya akan ketinggalan pertandingan, gambarnya berhenti-berhenti. Belum lagi ada banyak iklan,” katanya.

Untuk lebih jelasnya, menurut Box Cast, berikut adalah jalur-jalur yang harus dilalui data dari penangkapan gambar sampai ke layar penonton:

  • Gambar ditangkap kamera (33-100 milidetik),
  • gambar di­-encode di perangkat lunak atau perangkat berat (1-50 milidetik),
  • gambar ditransmisikan ke Video Distribution Service atau VDS (5-100 milidetik),
  • data dikumpulkan untuk di-decode (100-ribuan milidetik),
  • data di-transcode dan transrate (1-10 detik),
  • transmisi kepada penonton (5-10 milidetik untuk protokol non-HTTP, 2-40 detik untuk protokol HTTP), dan
  • gambar di-decode dan ditampilkan ke layar (33-ratusan milidetik).

Sebagai contoh untuk kasus streaming ilegal, mari kita ambil siaran Premier League di NBC Sport (Amerika Serikat) yang ditonton dari situs USAGoals. Pada kasus ini, dari fase terakhir tersebut (gambar ditampilkan ke layar), gambar kembali diproses melalui banyak fase yang sudah dilalui sebelumnya, sehingga “perantara”-nya pun berlapis.

Secara gamblang, USAGoals menulis: “USAGoals adalah penyedia layanan internet yang menawarkan platform yang hanya menampilkan tautan ke konten audiovisual yang terletak di server pihak ketiga dan disediakan dan/atau ditransmisikan oleh pihak ketiga. USAGoals tidak meng-host atau mentransmisikan konten audiovisual itu sendiri dan tidak mengontrol atau memengaruhi konten tersebut... Tanggung jawab atas konten ini ada pada mereka yang meng-host atau mentransmisikannya.”

Mola TV Masih Butuh Banyak Pengembangan

Sampai kapanpun dan semurah apapun hak siarnya, streaming ilegal kemungkinan besar akan terus dicari oleh orang-orang yang ingin menonton, baik acara olahraga, serial televisi, film, anime, dan lain sebagainya. Hanya, pada kasus siaran langsung, tantangan dan kekurangannya akan semakin terasa.

Bagi Mola TV, mereka mungkin sebaiknya mulai menggencarkan investasi pada aplikasi streaming (diakses lewat komputer, ponsel, maupun gawai lainnya) yang sebenarnya sekarang sudah mereka miliki. Mola Polytron Streaming rasanya hanya menjadi awal yang “aman” bagi perusahaan berlogo ikan berwarna biru tersebut.

Jika tidak ada inovasi dari Mola TV dalam setengah musim ke depan, bukan tidak mungkin penonton Indonesia akan terus-terusan mengakses streaming ilegal. Kemudian kalau hal itu terjadi, maka akan tercipta jurang yang sangat dalam antara kebiasaan mengonsumsi siaran olahraga di Indonesia dengan di mancanegara.

Ini akan menjadi efek domino. Dalam jangka waktu yang lebih panjang, bisa jadi perusahaan-perusahaan Indonesia akan kesusahan ketika mereka ingin membeli hak siar Premier League. Di masa depan, ini bukan perkara mahal atau murah lagi (karena hampir pasti akan semakin mahal), melainkan siap atau tidaknya konsumen Indonesia mengubah kebiasaan dalam menghadapi modernisasi siaran olahraga.

Semua tetek bengek di atas belum membahas bahaya dan kerugian materi yang didapatkan jika penonton mengakses streaming ilegal.

Membayar untuk menyaksikan siaran pertandingan berarti turut serta memastikan keberlanjutan industri sepakbola. Sedangkan streaming ilegal dapat menghemat pengeluaran tapi pendeknya melanggar hukum dan berisiko terhadap penyalahgunaan data pengguna.

Maka, kembali kepada diri masing-masing, mana yang akan kalian pilih?



Komentar