Memimpin PSSI dari Balik Jeruji Besi

Cerita

by Redaksi 15

Redaksi 15

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Memimpin PSSI dari Balik Jeruji Besi

Satgas Antimafia Bola resmi menetapkan Pelaksana Tugas (Plt) Ketua Umum PSSI, Joko Driyono, sebagai tersangka. Status tersebut ditetapkan beberapa jam setelah kediaman mantan CEO PT Liga Indonesia tersebut digeledah oleh tim satgas. Hingga 15 Februari 2019, belum diketahui apa dasar penetapan tersangka Joko Driyono. Namun menurut wakil ketua dari tim satgas, Brigjen Pol. Krishna Murti, penetapan itu ada hubungannya dengan laporan mantan manajer Persibara Banjanegara, Lasmi Indrayani.

"Jika pihak humas dan ketua sudah mengatakan seperti itu [Joko Driyono tersangka], masa tidak percaya? Penetapan itu jelas masih ada kaitannya dengan laporan Lasmi," kata Krishna kepada TopSkor.

Joko Driyono menjabat sebagai Ketua Umum PSSI setelah Edy Rahmayadi mundur dari jabatannya pada 20 Januari 2019. Dinyatakan sebagai tersangka, bukan berarti pria yang kerap disapa Jokdri itu akan kehilangan kekuasaan di PSSI. Menengok ke belakang, Jokdri bukanlah satu-satunya ketua umum PSSI yang pernah terjerat masalah hukum.

Nurdin Halid: Dari Gula Sampai APBN Liga Super

Menjabat sebagai Ketua Umum PSSI sejak 2003, Nurdin Halid memiliki sepak terjang yang cukup lama di dunia politik Indonesia. Dirinya merupakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia sejak 1999. Bahkan masih berstatus anggota DPR saat terpilih sebagai ketua PSSI.

Belum satu periode memimpin sepakbola Indonesia, masalah dari karier politiknya mengganggu kepemimpinan Nurdin. Ia ditetapkan sebagai tersangka kasus penyelundupan gula impor pada 16 Juli 2004 dan terancam delapan tahun penjara. Sempat menetap di balik jeruji besi, Nurdin dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan dan dibebaskan.

Catatan buruk tersebut tidak membuat nama Nurdin Halid masuk daftar hitam PSSI. Dirinya menduduki kursi tertinggi PSSI selama dua periode (2003-2011). Padahal setelah kasus gula impor, ia juga terkena masalah korupsi minyak goreng Badan Urusan Logistik (Bulog) dan divonis dua tahun penjara.

"Bisa saja. Andaikan peraturannya tidak melarang tidak apa-apa bukan? Sebelumnya Nurdin juga pernah dipenjara dan tetap baik memimpin PSSI. Inilah bedanya sepakbola dengan Koperasi Distribusi Indonesia -pengalir dana Bulog-," kata M. Zein, anggota komite eksekutif (exco) PSSI saat itu.

Setelah masa jabatannya sebagai ketua umum PSSI habis di 2011, Nurdin ingin mempertahankan singgasana miliknya. Status mantan tahanan tak membuat dia gentar sama seperti periode kedua. Bedanya, kali ini ada masalah baru yang dihadapi Nurdin dan menyangkut sepakbola.

PSSI diduga melakukan penyelewengan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan daerah (APBD) yang saat itu masih menjadi sumber dana utama bagi kesebelasan-kesebelasan di Indonesia. Indonesian Corruption Watch menduga ada korupsi sebesar 720 miliar rupiah setiap tahunnya di PSSI. Hal itu pun ditelusuri oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dugaan korupsi tersebut belum jelas ujungnya, Nurdin sudah mendapatkan larangan dari FIFA untuk kembali mencalonkan diri. Hingga kepemimpinan PSSI pindah ke tangan Djohar Arifin, kasus korupsi PSSI era Nurdin Halid tak menemukan jawaban. Jokdri sendiri sudah disebut-sebut terlibat sejak era tersebut.

La Nyalla Mattaliti: Cuci Uang Lalu Ditendang

Sudah empat tahun meninggalkan rezim Nurdin Halid, masalah hukum masih membayangi PSSI. Kali ini giliran La Nyalla Mattaliti. Ketua Umum PSSI setelah Djohar Arifin ini harus berhadapan dengan pengadilan. Sebelum memiliki jabatan ketua, sosok La Nyalla memang telah diselimuti kontroversi. Dia dan Djohar adalah pemeran utama dalam dualisme sepakbola Indonesia.

Tapi setelah resmi naik dan mengakhiri dualisme pada 18 April 2016, kepemimpinan La Nyalla justru tidak bertahan lama. Baru empat hari menjadi ketua umum PSSI, La Nyalla dinyatakan sebagai tersangka korupsi oleh kejaksaan tinggi. Ia disebut menggunakan dana hibah sebesar 5,3 miliar Rupiah milik Kamar Dagang Industri (kadin) untuk membeli saham perdana Bank Jatim. Selain beli saham, La Nyalla juga disebut mencuci uang dari dana Pemerintah Provinsi Jawa Timur.

Kasus ini sempat membuat La Nyalla yang menjabat sebagai ketua umum PSSI kabur ke Singapura. Ia baru pulang ke Indonesia satu bulan kemudian setelah dideportasi oleh pihak otoritas di sana.

Kasus hukum yang menjerat La Nyalla tersebut membuat PSSI gerah. Ia pun didepak dari kursi kepemimpinan melalui putusan Kongres Luar Biasa (KLB) pada 3 Agustus 2016. Posisinya digantikan oleh Hinca Panjaitan.

Statuta FIFA

Keputusan KLB untuk melengserkan La Nyalla sesuai dengan statuta FIFA. Pasal 32 ayat 4 berbunyi: "Anggota komite eksekutif adalah mereka yang sudah aktif di sepakbola dan tidak memiliki catatan kriminal". Pasal ini juga sempat dipermasalahkan Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) Indonesia di era Nurdin Halid.

Pada masa Nurdin, Direktur Hukum dan Peraturan PSSI, Max Boboy mengelak dengan mengatakan peraturan FIFA tidak berlaku. "Jika melihat FIFA memang ada, tapi itu sudah tidak berlaku. Kita mengacu ke peraturan negara masing-masing," katanya. Max kemudian membalas Kemenpora dengan statuta FIFA pasal 17 ayat 2: "Setiap anggota FIFA harus berdiri secara independen dan tidak ada dalam pengaruh pihak ketiga". Senjata rahasia yang pada akhirnya mengakibatkan pembekuan pada 2015.

Statuta PSSI

Sekalipun berlindung pada `peraturan negara masing-masing`, ucapan Max Boboy itu nyatanya tidak sesuai dengan statuta PSSI. Beda dengan statuta FIFA, PSSI cenderung tidak menengok ke belakang. Dalam statuta mereka, aturan serupa tentang anggota exco dengan catatan kriminal juga ada. Namun bunyinya adalah, "Sudah aktif di sepakbola setidaknya lima tahun dan tidak sedang dinyatakan bersalah atas tindakan kriminal pada saat Kongres".

Sementara periode kedua Nurdin Halid setidaknya dimulai pada November atau Desember 2007. Berarti satu atau dua bulan setelah mendapat vonis dua tahun penjara. FIFA sudah memprotes hasil musyawarah nasional PSSI yang melibatkan Nurdin. Tapi memang tidak ditanggapi hingga mereka harus turun tangan sendiri.

Jokdri Bagaimana?

Pada era Nurdin Halid, sepakbola Indonesia memang pernah digerakkan dari balik jeruji besi. Ada pula anggotanya saat itu yang bangga dengan `keberhasilan` Nurdin mengatur PSSI dari bui. Namun memasuki era La Nyalla itu tidak lagi terjadi. Padahal, empat bulan setelah didepak, 27 Desember 2016, La Nyalla dinyatakan bebas oleh pengadilan. Masa jabatannya tersisa hingga 2019. Andaikan masih dengan cara zaman Nurdin Halid, La Nyalla bisa melanjutkan kepemimpinannya.

Alih-alih menjadi ketua umum PSSI, Plt Ketum PSSI saat itu, Hinca Panjaitan, "mengoper" jabatan tersebut ke Edy Rahmayadi yang terpilih melalui Kongres Luar Biasa. Orang-orang seperti Djohar Arifin yang sebelumnya diberi sanksi seumur hidup oleh La Nyalla juga mendapat pengampunan dan diizinkan terlibat lagi di sepakbola.

Seperti La Nyalla, Joko Driyono juga bisa mendapatkan kenyataan serupa: Kongres Luar Biasa digelar untuk memilih Ketum Baru dan dia tidak terlibat lagi di PSSI. Status tersangkanya juga akan membuatnya dicoret dari daftar calon exco PSSI karena bertentangan dengan statuta FIFA. Exco di sini termasuk jabatan ketua umum dan wakil ketua umum PSSI.

Kode disiplin PSSI Pasal 71 (b) juga menyatakan bahwa, "Badan yang melaksanakan pertandingan diwajibkan untuk memastikan tidak ada ofisial atau pengurus yang tengah diadili secara hukum untuk tindakan-tindakan tidak pantas. Antara lain, masalah doping, suap, pemalsuan, dan hal-hal lainnya yang tak layak dilakukan oleh orang dengan jabatan tersebut. Ataupun dinyatakan bersalah pada sebuah kasus hukum dalam lima tahun terakhir".

Hal ini bukan hanya berlaku untuk ofisial pertandingan, tapi juga anggota asosiasi provinsi (asprov) dan pengurus PSSI pusat. Dengan kata lain, aturan tersebut bisa membuat Jokdri tersingkir dari PSSI karena status tersangka yang dimilikinya.

Akan tetapi, ada beberapa celah yang bisa membuat dirinya kembali ke dalam kepengurusan sepakbola Indonesia: 1) Jokdri bebas dari masalah hukum sebelum atau saat kongres berlangsung (Statuta PSSI), dan 2) Jokdri kembali dari masalah hukum lima tahun setelah dinyatakan bersalah (Kode Disiplin). Intinya, selama pemahaman PSSI dan FIFA masih berbeda, celah PSSI dipimpin dari balik jeruji besi akan selalu ada.

Komentar