Tionghoa Pengukir Sejarah di Persepakbolaan Inggris

Cerita

by Redaksi 14

Redaksi 14

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Tionghoa Pengukir Sejarah di Persepakbolaan Inggris

Adagium bahwa cinta memang tak mengenal usia, warna kulit atau bahkan strata sosial, barangkali ada benarnya. Di tahun 1908 silam, seorang lelaki keturunan Tionghoa berprofesi nelayan, Ah Kwang-soo, mendapatkan restu untuk menikahi seorang gadis Inggris, Beatrice Whittam. Pernikahan beda etnis nan bahagia itu sendiri membuahkan tujuh orang anak yaitu Norman, Frank, Phyllis, Ronald, Jack, Harold, dan Kenneth.

Di antara tujuh orang tersebut, Frank memiliki ketertarikan yang sangat tinggi terhadap sepakbola dan ingin menjadi pemain profesional. Hal ini juga yang mengantarnya bergabung dengan tim junior Norwood, West Derby, dan West Derby Boys` Club. Hebatnya, di usia yang masih belia, Frank memperlihatkan potensi yang cukup paripurna sebagai pesepakbola. Jangan heran kalau pemandu bakat sepasang kesebelasan dari Merseyside, Everton dan Liverpool, amat serius mengamati perkembangannya.

Walau demikian, kepindahan Frank ke tim junior dari salah satu kesebelasan tak pernah terwujud sehingga mimpinya jadi pesepakbola profesional ada di zona abu-abu. Realita itu pun mendorong Frank untuk mengalihkan fokusnya pada hal lain yaitu bekerja sebagai pegawai administrasi. Namun rasa cinta yang teramat besar kepada sepakbola, membuat Frank tak bisa jauh dari si kulit bundar. Alhasil, sembari bekerja sebagai pegawai administrasi, Frank juga nyambi sebagai pemain sepakbola di tim Prescot Cables, kesebelasan liliput di kawasan Merseyside, pada awal era 1930-an.

Dasar sudah rejekinya, penampilan apik Frank bersama Prescot mencuri atensi pencari bakat Stoke City. Berbekal dana sebesar 400 paun, jumlah yang lumayan besar di zaman itu, Frank pun resmi bergabung dengan The Potters tepat di tanggal 25 Januari 1933. Meski begitu, awal karier Frank tidak berlangsung mulus di sana. Alih-alih diberi kesempatan merumput bersama tim utama di kompetisi liga, nyatanya Frank lebih sering bermain di partai tidak resmi seperti persahabatan atau eksebisi.

Sempat merasa kesal dan kecewa dengan keputusan pelatih yang tak kunjung memberinya debut profesional, Frank menata hati agar lebih sabar tapi di sisi lain juga terus menempa diri demi meningkatkan kemampuan. Kerja kerasnya itu sendiri terbayar lunas pada 4 November 1933 usai sang pelatih, Tom Mather, menurunkannya dalam laga resmi English Football League (divisi teratas sepakbola Inggris sebelum dibentuknya Liga Primer) kontra Middlesbrough.

Tak sekadar melakoni debut, tampilnya Frank di pertandingan itu juga mengantar lelaki kelahiran Buxton tersebut ke sebuah pencapaian historis yakni pesepakbola keturunan Tionghoa pertama yang bermain di divisi teratas Liga Inggris. Bareng tim dengan kostum utama strip vertikal merah dan putih itu juga, karier Frank sebagai pemain melonjak. Dirinya kondang sebagai inside left (salah satu posisi umum dalam skema 2-3-5 yang populer di era 1930-an) yang punya pergerakan cepat, kecerdasan bermain serta kemampuan mengumpan yang prima. Tetapi seiring waktu, juga diakibatkan oleh pemilihan strategi dari pelatih Stoke, Frank semakin nyaman bermain sebagai halfback.

Eloknya aksi-aksi Frank bersama The Potters, kendati sempat diganggu cedera, membuat namanya dilambungkan sebagai salah satu calon pemain tim nasional Inggris. Sayangnya, Perang Dunia II di tahun 1939 sampai 1945 mengubah peruntungan Frank. Kekacauan yang terjadi membuat karier sepakbolanya mandek. Situasi pelik ini memaksa Frank untuk bekerja di pabrik ban Michelin guna menyambung hidup. Mujur buat pria setinggi 173 sentimeter itu, pabrik tersebut mengizinkannya untuk memperkuat Stoke di sejumlah laga selama masa perang.

Di tengah kecamuk Perang Dunia II dan kehidupan yang serba sulit, mimpi lawas Frank untuk bermain dengan seragam timnas Inggris malah jadi kenyataan. Dalam rentang 1942 sampai 1945, Frank memperkuat The Three Lions di sembilan partai, bersama rekannya di Stoke seperti Neil Franklin dan Stanley Matthews, tanpa sekalipun mencetak gol. Namun wajib diketahui bahwa laga-laga tersebut tidak dihitung sebagai pertandingan resmi timnas Inggris karena berlangsung selama masa perang.

Ketika situasi mulai kondusif pasca-perang, perjalanan Frank di kancah sepakbola profesional dilanjutkannya bareng Leicester City. Transfer yang menghabiskan fulus senilai 4600 paun menjadi pemasti langkah Frank bergabung dengan The Foxes pada tahun 1945. Di sana, dirinya pun bereuni dengan Mather yang lebih dahulu didapuk sebagai pelatih. Akan tetapi peruntungan Frank di Leicester tak sebaik nasibnya bersama Stoke. Dalam tempo singkat, seiring dengan amburadulnya performa The Foxes, Frank masuk dalam daftar jual.

Tim divisi dua, Luton Town, yang mengantongi duit sebesar 5000 paun, lantas menebus Frank dari Leicester di tahun 1946. Mirip kariernya di Leicester, kisah Frank bersama Luton pun cuma berumur dua musim. Padahal dalam momen-momen tersebut, dirinya bermain cukup baik dan konsisten.

Kemerosotan karier Frank sebagai pemain pun hadir setelah peristiwa itu. Alih-alih bermain untuk tim kelas satu, Frank justru berlabuh ke tim divisi bawah seperti Chelmsford City. Di klub ini pulalah, kariernya sebagai pemain disudahi akibat tensi panas yang berkelindan di antara dirinya, Jack Tresadern yang merupakan pelatih baru dan manajemen klub.

Selepas jadi pemain, petualangan Frank di dunia sepakbola berlanjut di bangku pelatih. Sejumlah tim seperti Padova, Eskilstuna, Djurgardens, Scunthorpe United dan Oddevold pernah dibesut Frank. Meski demikian, cuma sekali Frank mencicipi manisnya titel juara yakni gelar Allsvenskan (divisi teratas Liga Swedia) bareng Djurgardens pada musim 1954/1955.

Prestasi itu memunculkan pujian sebab Frank membangun fondasi penting bagi ketangguhan Djurgardens. Selama melatih, Frank memang terkenal sebagai sosok yang mengedepankan permainan fisikal. Tak heran bila metode kepelatihannya disebut-sebut amat menguras energi dan keras. Dalam wawancara dengan koran Fotboll, Frank pun mengutarakan alasannya memilih gaya main fisikal.

"Biasanya aku berlari dengan para pemain selama 90 menit. Kemudian aku mencoba agar momen itu berjalan sangat intens. Aku ingin melihat mereka kelelahan selepas berlatih ketimbang saat bertanding", ungkap Frank.

Menariknya, saat Frank meninggalkan Djurgardens usai membawa mereka jadi klub nomor satu di Swedia, kesebelasan itu bisa menjuarai Allsvenskan lagi di tahun 1959, 1964 dan 1966 berbekal fondasi permainan yang bertumpu pada gaya fisikal ajaran Frank. Selepas era emas tersebut, Djurgardens baru bisa memenangi Allsvenskan di tahun 2002!

Bagi penggemar sepakbola Inggris, nama Frank yang wafat di tahun 1991 silam karena penyakit dementia, pasti kurang populer. Namun buat suporter fanatik Stoke, Frank abadi sebagai salah satu legenda klub. Dirinya bahkan dicatut dalam berbagai buku yang membahas tentang sejarah ataupun barisan pemain-pemain hebat The Potters sepanjang masa. Lebih dari itu, Frank adalah pengukir sejarah dalam kancah sepakbola, terutama yang berhubungan dengan keturunan Tionghoa di persepakbolaan Inggris.

Komentar