Dulu Dibobol Ponaryo, Sekarang Raja Asia

Cerita

by Redaksi 15

Redaksi 15

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Dulu Dibobol Ponaryo, Sekarang Raja Asia

Qatar takluk di tangan Indonesia pada 18 Juli 2004, Workers Stadium, Tiongkok. Skor 2-1 menjadi skor akhir yang tersaji di hadapan 5.000 penonton. Gol dari Budi Sudarsono dan Ponaryo Astaman hanya bisa dibalas Magid Mohamed tujuh menit sebelum waktu normal berakhir.

Meski gagal menembus fase grup, Qatar menjadi korban pertama Indonesia di Piala Asia. Saat itu, Indonesia mengakhiri petualangan mereka di peringkat tiga Grup A, dan Qatar merupakan juru kunci.

Kini 14 Tahun, enam bulan, dan 15 hari kemudian, tepatnya pada 1 Februari 2019, Qatar membuat kejutan dengan memenangkan Piala Asia 2019. Disaksikan 36.776 ribu penonton yang memadati Zayed Sport City, Uni Emirat Arab, Qatar mengalahkan Jepang 3-1. Kemenangan Qatar diwarnai oleh pengaruh video assistant referee (VAR), namun hal itu tidak mengurangi kelayakan mereka menjadi juara.

Sejak awal turnamen anak-anak asuh Felix Sanchez Bas itu memang sudah tampil meyakinkan. Mereka bahkan mengakhiri turnamen sebagai kesebelasan paling subur (19 gol) dan hanya satu kali kebobolan (ya, satu-satunya kebobolan terjadi di final).

Selama 14,5 tahun mereka bertransformasi dari juru kunci grup yang dapat dikalahkan Indonesia menjadi raja Asia; Mengalahkan Jepang, Irak, dan Arab Saudi yang berstatus mantan juara Piala Asia dalam prosesnya.

Transformasi tersebut tidak lepas dari pengaruh sebuah akademi yang dibangun pemerintah Qatar pada 2004, Aspire Academy. Aspire sengaja dibangun untuk menjadi kolam talenta di Qatar.

Bukan hanya pemain-pemain dari dalam negeri saja yang mereka boyong ke Aspire, tapi juga seluruh penjuru dunia. Penyerang kelahiran Lhokseumawe, Andri Syahputra, menjadi salah satu contoh terbesar bagaimana Qatar bisa menarik talenta dari luar negeri dan menjadikannya milik mereka sendiri.

Setahun mencari talenta di seluruh dunia, Qatar dan Aspire Academy sudah berhasil memantau 430 ribu pemain muda dari 595 lokasi. Per 2014, 3,5 juta talenta berhasil ditarik oleh Aspire. Beberapa dari mereka akhirnya memilih Qatar dibandingkan tanah kelahirannya, seperti Andri Syahputra menolak Indonesia.

"Anak-anak ini akhirnya memilih Qatar dibandingkan negara mereka. Mungkin mereka berpikir bahwa Qatar telah membantu mereka, sesuatu yang tidak dilakukan oleh negara aslinya," jelas Andreas Bleicher, mantan direktur latihan tim Olimpiade Jerman.

Naturalisasi menjadi pilihan pertama Qatar untuk membangun sepakbola mereka. "Bagi Qatar dan Bahrain, naturalisasi adalah satu-satunya cara agar mereka bisa jadi kompetitif," kata Jesse Fink, penulis buku `15 Days in June: How Australia Became a Football Nation`.

Pedro Miguel Correia alias Ro-Ro dan Almoez Ali adalah contoh pemain naturalisasi Qatar yang ikut tampil di Piala Asia 2019. Ro-Ro lahir di Portugal, sementara Ali merupakan pemuda Sudan yang sudah "diimpor" ke Qatar sejak masih berusia tujuh tahun. Sejak masih anak-anak Almoez Ali bermain di Qatar bersama Aspire Academy. Ia dilatih oleh Felix Sanchez di sana.

Per 2014, Sanchez dipercaya menangani Qatar U19 di Piala Asia. Semua pemainnya merupakan jebolan Aspire, termasuk Ali. Para pemain inilah yang kemudian membawa Qatar menjuarai Piala Asia. Hampir setengah dari skuat Tim Nasional Qatar diisi mantan pemain akademi Aspire. Itu mengapa Sanchez menyebut harmonisasi sebagai kunci kesuksesan anak-anak asuhnya di Uni Emirat Arab.

"Pemain kami sudah mengenal satu sama lain sejak kecil berkat Aspire Academy. Ditambah bantuan dari pihak asosiasi, kami bisa melakukan hal ini," kata Sanchez sebelum partai final melawan Jepang.

Qatar mungkin mengawali perkembangan sepakbola mereka lewat naturalisasi. Namun, setelah pemain-pemain tersebut memiliki status warga negara Qatar, mereka dikirim ke Eropa untuk mengembangkan talenta di Benua Biru. Pasalnya, Aspire Academy kini juga menjadi pemilik dari kesebelasan asal Spanyol, Cultural Leonesa dan KAS Eupen (Belgia). Dalam periode lima tahun (2014-2019), sudah ada 22 pemain kebangsaan Qatar membela dua kesebelasan tersebut.

Selain itu, Aspire juga membangun kerja sama dengan Leeds United dan menjadi tujuan utama kesebelasan-kesebelasan tenar Eropa seperti PSV Eindhoven, Paris Saint-Germain dan Bayern Munchen menghabiskan waktu di musim dingin. Tak ayal kultur sepakbola di Qatar pun semakin kuat. Apalagi beberapa mantan pemain ternama yang pernah bermain di Qatar ikut membantu mereka.

***

Dalam 14,5 tahun, Qatar menjadi kekuatan baru di sepakbola Asia dan dipercaya menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022. Sementara Indonesia, terakhir lolos ke Piala Asia pada 2007 sebagai tuan rumah bersama dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Setelah itu, Tim Merah-Putih dua kali dibekukan, merasakan dualisme liga, dan sekarang disibukkan dengan kasus mafia sepakbola.

Target Indonesia jelas, tampil di Olimpiade 2024 dan Piala Dunia 2035. "Kami punya kado untuk Hari Kemerdekaan ke-100 Indonesia di 2045 nanti. Untuk sekarang target PSSI adalah Olimpiade 2024 dan Piala Dunia 2035. 2018 hingga 2024, fokus kami mengembangkan pemain muda," kata Sekretaris Jendral PSSI Ratu Tisha.

Fokus kepada talenta muda itu sudah ada sejak 2017 ketika semua peserta Liga 1 dipaksakan memberi jam terbang untuk pemain di bawah 23 tahun. Regulasi itu kemudian mati di tengah jalan sebelum diubah menjadi kuota wajib pada musim 2018. PT Liga Indonesia Baru (PT LIB) meminta setiap peserta Liga 1 untuk memiliki tujuh pemain muda selama kompetisi. Tapi kali ini tidak harus dimainkan.

Per 2 Februari 2019, tiga bulan sebelum Liga 1 bergulir, PT LIB belum menentukan regulasi. Sementara noda pada sistem pengembangan pemain muda juga sudah mulai terbuka.

"PSSI selalu bangga dengan kompetisi U19, tapi sebenarnya proses mereka merekrut pemain untuk ke sana adalah sesuatu yang ilegal. Mereka [Tim muda dari klub profesional Indonesia] dalam tanda kuti `mencuri` pemain," kata wartawan olahraga senior, Anton Sanjoyo yang pernah mengadakan kompetisi U14.

"Mereka sendiri tidak ada pembina. Prosesnya mengeksploitasi pemain muda, hanya ujungnya saja yang dibanggakan. Pemain itu diambil kesebelasan profesional," jelasnya di salah satu acara Asumsi, `Pangeran Mingguan`.

Indonesia U16 dan U19 sebenarnya memiliki prestasi yang bisa dibanggakan. Indonesia menjadi juara Piala AFF U-19 pada 2013. Kemudian kelompok umur yang sama lolos ke semi-final turnamen tersebut dan mencapai delapan besar Piala Asia U19. Pada tahun yang sama, Indonesia juga jadi juara Piala AFF U-16, sebelumnya menduduki peringkat tiga pada edisi 2013.

Prestasi kesebelasan usia muda bukan tolok ukur keberhasilan sebuah pembinaan ketika timnas seniornya masih tanpa prestasi. Qatar mengandalkan Almoez Ali (22), Indonesia bertumpu pada Alberto Goncalves (39). Keduanya sama-sama naturalisasi, tapi hanya satu dari mereka yang secara realistis masih bisa diandalkan dalam lima tahun ke depan. Almoez Ali akan berlaga di Piala Dunia, Beto mungkin sudah pensiun.

Di sini terlihat, menengok ke 14,5 tahun ke belakang, pembinaan pemain muda Indonesia belum fenomenal dan kalah telak dari Qatar. Ada 16 tahun sebelum Piala Dunia 2034. Masih mau begini-begini saja, Indonesia?

Komentar