CONIFA dan Politik Pengakuan di Garis Tepi Sepakbola

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

CONIFA dan Politik Pengakuan di Garis Tepi Sepakbola

Oleh: Hartmantyo Pradigto Utomo*

Dua tangan menyilang dengan masing-masing empat jari membentuk kepak sayap dan kedua ibu jari menunjukkan gestur dua kepala burung yang saling membelakangi. Elang Albania mengudara dua kali di Kaliningrad Stadium untuk menerjang Serbia dalam pentas Piala Dunia 2018, sekaligus juga menerjang dua juru gedor Swiss: Granit Xhaka dan Xherdan Shaqiri. Nama keduanya tercatat dua kali, yang pertama pada papan skor, dan yang kedua pada daftar sanksi FIFA akibat perayaan golnya.

Puluhan tahun sebelumnya, sebuah mars pembakar semangat nasionalisme mengudara dengan nyaring di langit-langit Jakarta: Viva, viva, viva, Ganefo, Ganefo / Bravo, bravo, bravo, Ganefo, Ganefo. Asmono Martodipoero, seorang Kepala Bagian Akademi Bahasa Asing Departemen Luar Negeri, menerjemahkan kobaran isi kepala Soekarno dengan pintal antara bahasa Spanyol dan irama cepat pada tahun 1963. Sebuah lagu yang tidak saja menandakan dimulainya gelaran olahraga GANEFO (Games of The New Emerging Forces), tetapi juga amarah bagi Amerika Serikat dan negara-negara sekutunya.

Kedua peristiwa tersebut menunjukkan hakikat yang sama: politik pengakuan. Granit Xhaka dan Xherdan Shaqiri melakukan gugatan secara terang di dalam lapangan bagi Serbia yang tidak mengakui kemerdekaan Kosovo dan bangsa Albania. Sedangkan mars Viva Ganefo adalah kritik yang nyaring dari aliansi negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang diinisiasi Soekarno bagi Komite Olimpiade Internasional untuk merengkuh pengakuan dan supremasi politik dari ketiak negara-negara adidaya.

Selebrasi kepakan Elang Albania boleh saja terjun bebas melalui hukuman denda 10.000 Swiss francs. Sedangkan pagelaran GANEFO yang digadang-gadang menjadi proyek mercusuar olahraga Negara Dunia Ketiga, terutama Indonesia, tak sampai pada jilid ketiga dengan hajaran negara-negara adidaya dalam rentetan peristiwa Perang Dingin. Setelahnya, keduanya kembali luruh dalam pelukan otoritas lembaga internasional. Granit Xhaka dan Xherdan Shaqiri tetap patuh pada sanksi FIFA dan Indonesia kembali masuk dalam anggota Olimpiade internasional pada masa Orde Baru. Lalu, adakah jalan lain untuk saat ini?

Sebuah jalan radikal ditempuh di Ostersund, Swedia, yang mulai memasuki musim panas pada awal bulan Juni 2014. Tepat setahun pasca diresmikan, World Football Cup dihelat sebagai persembahan perdana dari CONIFA (Confederation of Independent Football Association), sebuah asosiasi sepakbola internasional yang berposisi di luar otoritas FIFA.

CONIFA adalah asosiasi non-profit sepakbola global yang tidak sekadar merengkuh tim nasional dari negara kecil dan negara dengan wilayah kedaulatan yang tidak diperhitungkan dalam kancah arus utama pergaulan internasional. Namun, juga bagi orang-orang dengan identitas minor yang terisolasi dari dunia olahraga. Oleh karenanya, bukan berarti tak ada pesta di lapangan bola bagi setiap negara yang “tak diakui” oleh FIFA. Semuanya berhak bermain tanpa perlu cemas mengibarkan benderanya, mengibarkan sejarahnya masing-masing.

Tak kurang lima puluh kesebelasan telah terdaftar sebagai anggota resmi yang tersebar dari Eropa, Asia, Africa, Amerika Utara, dan Oceania, minus Amerika Selatan yang barangkali masih saja nyaman dalam naungan FIFA. Sedari Monako, Sardinia, Greenland, Tibet, Zanzibar, United Koreans in Japan, Kurdistan, Cascadia, dan Mariya (Australian First Nations) yang baru diumumkan bergabung pada November 2018, hingga dua nama yang saat ini akrab dengan pemberangusan identitas: Uighur dan Rohingya.

Gelaran akbar World Football Cup dihelat di London pada 31 Mei hingga 9 Juni 2018 yang persis berakhir sebelum gelaran FIFA World Cup 2018 dimulai. Terbagi dalam empat grup dengan enam belas kontestan yang lolos dari kualifikasi, Karpatalaya keluar sebagai juara setelah mengandaskan Northern Cyprus di final dengan hasil akhir 3-2. Hal menarik adalah seluruh peserta tetap lolos dari fase grup dan kembali bertarung di fase knock out. Tak berhenti sampai di situ saja, perebutan posisi di fase knock out yang biasanya hanya sampai pertandingan “hiburan” untuk posisi 3 dan 4, kali ini diselenggarakan hingga penentuan posisi 15 dan 16 yang mempertemukan Tuvalu dengan Ellan Vannin.

Membangkitkan setiap orang dari segala keterpurukan adalah tujuan besar yang ingin dicapai oleh CONIFA. Tak pelak program pertukaran budaya demi menghindari kasus rasisme, menghargai perbedaan etnik dan suku, gender, dan hingga menghadirkan bahasa ulayat masing-masing di kancah global. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam pertandingan resmi pertama Mariya yang dibuka dengan Corroboree, sebuah tarian mimpi yang menunjukkan identitas ulayat Australia yang ketukannya mengikuti gerak kanguru. Juga penggalangan bantuan kebutuhan dan peralatan hidup sehari-hari bagi usaha bertahan hidup dari Rohingya FC. Hingga pertandingan resmi pertama bagi perempuan pada Oktober 2017 yang mempertemukan Kibris Turk FF dengan FA Sapmi.

CONIFA membuktikan satu hal, bahwa pemurnian sepakbola dari politik yang didiktumkan FIFA bisa jadi justru mengerdilkan sepakbola dari rasa kemanusiaan yang tak mungkin ditunda dalam kehidupan sehari-hari. Nalar otoritas kelembagaan internasional tak pelak menggugurkan usaha-usaha dan gugatan pada kondisi politik, kritik sejarah, dan situasi kebudayaan yang relevan untuk diperjuangkan melalui gelaran sepak bola. Tak mengherankan ketika sanksi denda bagi pembungkaman Granit Xhaka dan Xherdan Shaqiri dihadirkan, juga pemberangusan asosiasi perlawanan imperialisme ala GANEFO begitu sukar digagas kembali.

Akan tetapi, bukan berarti politik praktis yang mempertahankan status quo yang didambakan oleh CONIFA. Lebih dari itu, CONIFA mendudukkan sepakbola untuk benar-benar lesap sebagai siasat identitas keseharian bagi setiap siapa saja yang berkecimpung dalam setiap jengkal pagelarannya. Sebuah politik pengakuan identitas bagi setiap orang yang terpinggirkan di tepi lapangan arus utama. “Flag is much more than for me, much more than for you”, ucap seseorang pemain yang dilansir dalam sebuah dokumen wawancara yang diunggah di laman Youtube oleh salah satu media internasional.


*Penulis adalah mahasiswa jurusan Sosiologi FISIPOL UGM. Bisa dihubungi lewat akun Twitter di @hartmantyo.

**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar