Oh, Arsenal

Cerita

by Evans Simon

Evans Simon

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Oh, Arsenal

Liverpool menang telak. Liverpool belum terkalahkan. Liverpool mantap di puncak klasemen. Semua mudah untuk dibicarakan. Yang sulit: membicarakan Arsenal.

Membahas kesulitan Arsenal sebenarnya memang bukan hal baru. Kita telah merasakannya dalam beberapa tahun terakhir. Baik para suporternya sendiri dan pendukung kesebelasan lain sama-sama sudah terbiasa dengan isu ini. Permasalahannya, bangku manajer sudah tidak lagi diduduki oleh Arsène Wenger.

Untuk mereka yang senang Wenger hengkang pada pengujung musim 2017/18, sudah sepatutnya Anda mulai merasa menyesal. Kini, Anda semua tidak bisa satu suara menyalahkan Si Kambing Hitam. Alih-alih performa tim membaik, justru muncul pertanyaan baru: apa yang membuat nasib buruk seperti enggan berlalu?

Kekalahan 1-5 dari Liverpool tidak hanya membuat posisi Arsenal di lima besar terancam, melainkan juga mematenkan diri sebagai salah satu tim paling guram di antara The Big Six. Mereka tidak mencatatkan satupun kemenangan dalam 20 pertandingan terakhir kala bertandang ke markas kesebelasan enam besar (13 kali kalah, tujuh kali imbang). Poin sempurna terakhir kali didapatkan kala menang 2-0 atas Manchester City di Stadion Etihad pada Januari 2015.

Lebih parah, kekalahan dengan selisih gol besar seakan telah menjadi tren bagi Arsenal. Pada musim 2016/17, The Gunners kalah 1-3 dari Chelsea dan Liverpool. Musim berikutnya, mereka takluk 0-4 dari Liverpool, 1-3 dari Manchester United, dan 0-3 dari Manchester City. Lama-lama, jenis kekalahan seperti ini bisa terasa membosankan.

Manajer Unai Emery tahu titik lemah Arsenal: "Kami harus bermain lebih baik ketika bertahan. Kami mencetak banyak gol, tetapi kemasukan gol lebih banyak dari yang kami harapkan."

Meski menjadi kesebelasan paling produktif keempat dengan 42 gol, mereka total telah kemasukan 30 gol dari 20 pertandingan. Jumlah itu adalah yang terbanyak kedua di antara kesebelasan 10 besar (sama dengan Everton, hanya lebih sedikit satu gol dari Manchester United).

Keroposnya lini belakang Arsenal terlihat jelas di Stadion Anfield. Padahal, tuan rumah sebenarnya tidak mengawali laga dengan cukup baik. Mereka sedikit kerepotan dengan operan-operan cepat sang tamu yang berfokus pada sisi sayap. Buktinya, pada menit ke-10, Arsenal berhasil unggul melalui gol Ainsley Maitland-Niles yang berasal dari umpan silang Alex Iwobi.

Nahas, gol cepat tersebut tidak membantu sama sekali. Liverpool hanya butuh empat menit untuk menyamakan kedudukan. Bukan melalui permainan cantik, melainkan determinasi yang cukup membuat pemain Arsenal melakukan kesalahan sendiri. Sapuan Sokratis Papastathopoulos mengenai Shkodran Mustafi dan bola jatuh dengan matangnya untuk diselesaikan oleh Roberto Firmino.

Sekitar 90 detik berselang, skuat asuhan manajer Jürgen Klopp berbalik unggul, lagi-lagi berkat memaksimalkan kesalahan pemain Arsenal. Lucas Torreira kalah dalam perebutan bola dengan Sadio Mane. Firmino pun dengan mudah mengecoh duet bek tengah Arsenal untuk mencetak gol keduanya. Selepas itu, efek bola salju tak terhindarkan, yang berujung pada Firmino membawa pulang bola pertandingan.

Situasi menjadi tambah sulit bagi Arsenal karena Piere-Emerick Aubameyang tak berkutik sepanjang 71 menit (diganti oleh Alexandre Lacazette). Ia hanya menyentuh bola sebanyak 13 kali, yang enam di antaranya adalah ketika sepak mula!

Minimnya suplai bola kepada Aubameyang tidak sepenuhnya merupakan kesalahan taktik Emery yang menginstruksikan para pemainnya untuk bermain lewat sayap. Berdasarkan data dari WhoScored, hanya 23,9% dari serangan Arsenal yang berasal dari tengah.

Total ada 12 umpan, yang salah satu di antaranya berbuah menjadi gol, sekaligus satu-satunya tembakan ke arah gawang yang dicatatkan Arsenal. Namun selain satu kesalahan tersebut, lini belakang Liverpool terlalu kokoh untuk ditaklukkan melalui bola lambung. Mereka memenangi delapan duel udara, lima di antaranya dilakukan oleh Dejan Lovren.

Skor akhir menjadikan pertemuan antara kedua kesebelasan sebagai laga paling produktif di era Premier League. Total telah 155 gol tercipta sejak 1992. Tentu itu bukanlah statistik yang bisa dibanggakan oleh Arsenal mengingat ini merupakan kekalahan ketiga yang ditelan dalam lima laga terakhir di seluruh kompetisi.

Bagaimanapun, para suporter Arsenal harus tetap berbesar hati. Sebaik-baiknya sebuah kesebelasan bukanlah yang menang, tetapi yang berguna bagi komunitas, lebih lagi bagi masyarakat luas. Kini, kalian telah memberikan para suporter Manchester United lebih banyak opsi untuk disalahkan jika Liverpool tidak terpeleset hingga akhir musim.

Komentar