Risiko Legenda Melatih Mantan Kesebelasannya

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Risiko Legenda Melatih Mantan Kesebelasannya

Oleh: Fajar Aprilian*

Menjadi legenda, dicintai, dan dikenang banyak orang, pastilah ada di benak semua orang, tak terkecuali pesepakbola. Dicintai dan dihargai baik ketika sedang bermain maupun ketika kariernya telah berakhir sudah barang tentu sangat diimpikan setiap pesepakbola, baik itu dikenang sebagai legenda klub, negara, atau bahkan sepakbola dunia pada umumnya.

Di sepakbola, seorang pesepakbola dianggap sebagai legenda dilihat dari dedikasi, jasa, dan prestasi, si pemain. Paolo Maldini di AC Milan, Javier Zanetti di Internazionale, Steven Gerrard di Liverpool, dan Carles Puyol di Barcelona, adalah beberapa pemain yang akhirnya dianggap sebagai legenda klub masing-masing berkat semua yang telah mereka berikan dan raih bersama tim yang mereka bela.

Selain dari hal-hal tersebut, sikap dari sang pemain akan mempengaruhi rasa cinta dan respect dari para fans kepadanya. Ricardo Kaka adalah salah satu bukti nyata. Meskipun tidak hanya memperkuat AC Milan sepanjang kariernya, juga tidak mengakhiri karier di San Siro, tapi di samping prestasi yang telah ia raih bersama Rossoneri, sikapnya terhadap Milan dan suporter juga-lah yang membuatnya hingga kini dianggap sebagai legenda hidup oleh semua Milanisti di seluruh dunia.

Melatih, Jatah Legenda

Dengan semua pengalaman yang mereka miliki, banyak pesepakbola yang memutuskan untuk melanjutkan kariernya dengan menjadi seorang pelatih. Terus-menerus dilatih dalam pola latihan dan taktik yang berbeda dari pelatih-pelatih yang pernah menjadi pelatih mereka, menjadi salah satu alasan mengapa seorang mantan pemain layak menjadi pelatih.

Selain itu, pengalaman mereka dalam melakoni sebuah pertandingan menjadi alasan kuat mempercayai para mantan pemain sebagai pelatih. Mereka dianggap memahami situasi dan tekanan yang dirasakan para pemain. Seperti yang pernah dikatakan Sergio Ramos ketika mengkritik pelatihnya saat itu, Jose Mourinho, yang bukan merupakan mantan pesepakbola profesional.

Meskipun kesuksesan sebagai pemain tidak menjamin akan sukses di dunia kepelatihan, tetapi kesuksesan sebagai pemain membuat mantan pemain yang memutuskan menjadi pelatih memang menimbulkan euforia dan rasa optimis dari para fans mengenai karier kepelatihannya.

Faktor legend juga kerap dijadikan alasan penting oleh sebuah klub ketika menunjuk seorang pelatih. Dibandingkan dengan beberapa kandidat yang muncul ketika pencarian pelatih baru, faktor legend tadi seolah-olah menjadi nilai plus dalam mempertimbangkan penunjukan seorang pelatih. Seorang legenda klub yang memutuskan menjadi pelatih seolah mendapat jatah untuk melatih klub yang pernah dibelanya. Kadang klub-klub tersebut tidak terlalu mempertimbangkan rekam jejak sang legenda di dunia kepelatihan. Kebanyakan malah legenda tersebut ditunjuk sebagai pelatih meskipun pengalaman melatihnya hanya di tim muda klub tersebut, seperti saat penunjukan Pep Guardiola oleh Barcelona, Zinedine Zidane oleh Real Madrid, dan Filippo Inzaghi oleh AC Milan.

Legenda klub dianggap memahami situasi dan kondisi tim. Paham dengan filosofi dan keinginan klub maupun suporternya juga menjadi salah satu alasannya. Selain alasan-alasan tersebut, demi menumbuhkan kembali rasa percaya dan optimistis dari para fans terhadap klub seperti yang dijelaskan sebelumnya, juga kerap kali dijadikan alasan penunjukan seorang mantan pemain, terutama legenda klub.

Yang teranyar, Ole Gunnar Solskjaer yang akhirnya mendapat jatah melatih di Manchester United. The baby faced assasin’ ditunjuk menggantikan Jose Mourinho yang dianggap gagal mengangkat performa skuat The Red Devils. Tak memiliki reputasi yang bagus ketika melatih, faktor legend tadi seolah menjadi alasan kuat penunjukan Solskjaer di kursi pelatih Setan Merah. Mantan penyerang timnas Norwegia ini pernah memperkuat skuat Theatre of Dreams dari medio 1996-2007 dengan mencatatkan 235 penampilan dan mencetak 91 gol.

Di Tanah Air, Miljan Radovic-lah yang kali ini mendapatkan jatah, saat resmi ditunjuk sebagai pelatih Persib untuk musim depan menggantikan Mario Gomez. Meskipun hanya memperkuat Persib dari tahun 2011-2013, tapi berkat kontribusinya selama berseragam Maung Bandung membuatnya dianggap menjadi legenda Persib oleh sebagian Bobotoh.

Menjadi Sahabat, Menjadi Legenda

Penunjukan seorang legenda klub sebagai pelatih baru memang memunculkan euforia besar di sisi para fans. Bukan cuma euforia sebenarnya, tapi juga dilema dan kekhawatiran baru bagi beberapa fans. Ketika menjalani sebuah karier, ada yang namanya berhasil atau gagal, apalagi bagi seorang pelatih pesepakbola. Keberhasilan akan membuatnya dipuji setinggi langit. Namun kegagalan bukan hanya mengeluarkannya dari pekerjaan yang sedang ia duduki, tetapi kritikan dan hujatan dari para fans juga akan menimpa padanya.

Hal itulah yang dikhawatirkan beberapa fans ketika legenda mereka ditunjuk sebagai pelatih tim kebanggaannya. Jika legenda tersebut gagal, mau tidak mau, mereka harus menuntut sang legenda yang mereka cintai dan kagumi mundur dari kursi pelatih, yang tidak menutup kemungkinan berupa kritikan dan hujatan keras. Karena bagaimanapun juga, nama sebuah klub lebih besar ketimbang nama seorang pemain ataupun mantan pemain.

Seperti lagu dari band tanah air, Zigaz yang juga dipopulerkan oleh alm. Mike Mohede, Sahabat jadi Cinta. Dianggap paling mengerti tim layaknya seorang sahabat, seorang legenda yang menjadi pelatih klub juga seperti itu. Jika ia berhasil mempersembahkan gelar atau sekadar berhasil memperbaiki performa tim, maka ia berhasil mengubah hubungan persahabatan itu menjadi cinta. Pep Guardiola dan Barcelona atau Zidane dengan Real Madrid contohnya.

Tapi jika gagal, tak hanya gagal mengubah persahabatan itu menjadi cinta, tapi bahkan bisa merusak keharmonisan persahabatan itu sendiri. Lihat saja apa yang dialami Gennaro Gattuso sekarang. Gagal lolos fase gugur Liga Europa dibarengi performa inkonsisten di Serie A membuat Gennaro yang dicintai, dikagumi, dan disegani oleh banyak Milanisti itu kini harus menerima banyak kritik dan hujatan yang menuntutnya untuk mundur dari kursi allenatorre AC Milan, yang menunjukkan seolah respek terhadapnya pun kini sudah berkurang.

Hal ini mungkin haruslah dipertimbangkan oleh mantan pemain yang menjadi pelatih, untuk memutuskan apakah ia harus melatih tim yang telah menganggapnya sebagai legenda atau tidak. Seperti penggalan lirik lagu band Zigaz tersebut “mungkin cobaan untuk persahabatan, atau mungkin sebuah Takdir Tuhan?”

Jika harus memilih, mungkin pendapat sebagian fans terhadap legenda yang benar-benar ia cintai adalah tetaplah menjadi sahabat, tetaplah menjadi legenda.


*Penulis merupakan mahasiswa dan pelatih futsal. Bisa dihubungi lewat akun Twitter di @fajar_april14

**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar