Mengubah Sepakbola yang Maskulin Menjadi Perjuangan Kesetaraan Gender ala FIFA

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Mengubah Sepakbola yang Maskulin Menjadi Perjuangan Kesetaraan Gender ala FIFA

Oleh: Muhammad Afif Gultom*

Sepakbola merupakan cabang olahraga yang selama ini dipersepsikan banyak pihak sebagai olahraga yang cenderung maskulin. Munculnya persepsi tersebut dikarenakan mayoritas aktor-aktor yang berkecimpung dalam dunia sepakbola adalah laki-laki. Mulai dari pemain, pelatih, para official tim, wasit dan perangkat pertandingan, suporter, hingga pejabat-pejabat yang duduk di FIFA sebagai induk organisasi sepakbola dunia didominasi oleh laki-laki.

Hal tersebut kemudian menjadi faktor begitu banyaknya persepsi yang menimbulkan bias gender di mana perempuan tidak seharusnya berkecimpung di dalam dunia sepakbola. Namun beberapa tahun terakhir, sepakbola justru menjadi sebuah platform yang dapat dicontoh oleh banyak pihak bahwa pada dasarnya perempuan dan laki-laki memiliki hakikat yang sama dan setara dalam beragam aspek. Hal ini disebabkan banyaknya program-program FIFA maupun induk organisasi sepakbola pada level benua seperti AFC dan UEFA yang mendukung women empowerment di sepakbola.

Sepakbola perempuan telah berkembang beberapa tahun terakhir ini dan minat perhatian publik terhadap sepakbola yang dimainkan oleh perempuan saat ini berada pada titik tertinggi sepanjang masa. FIFA beropini bahwa sepakbola perempuan masih memiliki peluang untuk berkembang lebih besar dari sekarang.

FIFA sendiri secara aktif mempromosikan sepakbola perempuan di seluruh dunia melalui kompetisi dan acara besar, kampanye, dan program pengembangan. FIFA berjanji untuk mendukung sepakbola perempuan secara finansial dan untuk memberikan pemain, pelatih, wasit, dan pejabat, kesempatan untuk menjadi aktif terlibat dalam sepakbola.

FIFA membantu mempopulerkan sepakbola dengan meningkatkan kesadaran publik dan melakukan kampanye informasi serta mengatasi hambatan sosial dan budaya bagi perempuan dengan tujuan akhir meningkatkan posisi perempuan di masyarakat. Narasi tersebut kemudian diwujudkan melalui FIFA Conference to Focus on Equality yang pada tahun 2018 ini memasuki edisi yang keempat.

FIFA Conference to Focus on Equality edisi 2017 mengundang Lakhsmi Puri, Deputy Director UN dan Raha Moharrak, perempuan pertama asal Arab Saudi yang berhasil mencapai puncak Everest. Konferensi tersebut dilaksanakan pada 6 Maret 2017 dengan tujuan untuk menghormati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada 8 Maret.

Konferensi yang mengusung tema “Making Equality A Reality” tersebut membicarakan topik-topik seputar faktor-faktor yang menghalangi kesetaraan gender di sepakbola, bagaimana melibatkan pria dalam mewujudkan kesetaraan gender, olahraga sebagai platform dalam mewujudkan inklusivitas dan aksi-aksi humaniter, serta diskusi mengenai bagaimana memerangi rasisme dan sexism di olahraga. Selain itu, kampanye #FIFA4Equality yang merangkul pemain-pemain sepakbola ternama seperti bintang Real Madrid, Marcelo, mulai dikampanyekan secara masif pada konferensi tersebut.

Pada tahun ini, FIFA Conference to Focus on Equality membicarakan topik seputar bagaimana kesempatan yang sama dalam ranah olahraga dapat menciptakan perubahan sosial yang positif pada tatanan masyarakat. Pada topik tersebut ditekankan bagaimana olahraga khususnya sepakbola dapat menjadi solusi dari masalah universal seperti tantangan integrasi pengungsi dan imigran, pemberdayaan perempuan, pencegahan kekerasan, memberikan peluang hidup, serta pengakuan dan inklusi minoritas.

Aktor-aktor yang ditunjuk menjadi panelis dalam konferensi tahun ini merupakan tokoh-tokoh yang menjadi inspirasi dalam upaya kesetaraan gender dan inklusivitas di sepakbola seperti Warshan Hussin dari Soccer Withour Border yang merupakan organisasi yang sangat fokus dalam melakukan empowerment terhadap para pengungsi maupun anak-anak di negara yang sedang berkonflik melalui sepakbola. Panelis lainnya adalah Fatuma Abdulkadir Adan, Pendiri dan Direktur Eksekutif Horn of Africa Developmen Initiative (HODI) dan Chan Yuen Ting, perempuan pertama yang melatih klub sepakbola pria.

Puncak dari keseriusan FIFA dalam melawan diskriminasi gender dalam kultur sepakbola yang maskulin adalah ketika FIFA Council melalui Presiden FIFA, Gianni Infantino, menunjuk Fatma Samba Diouf Samoura menjadi Sekretaris Jendral perempuan pertama bagi FIFA pada 2016. Fatma Samoura sendiri merupakan seorang diplomat veteran di PBB.

Ditunjuknya Fatma Samoura sebagai Sekjen FIFA menurut penulis merupakan jawaban atas kritikan yang sudah lama ditujukan ke FIFA dimana FIFA diidentikkan sebagai men’s club karena kecilnya partisipasi perempuan di tubuh FIFA. Padahal, sejak 1991 FIFA sudah mencanangkan kompetisi sepakbola perempuan lewat Piala Dunia Perempuan.

Selain penunjukkan sekjen perempuan pertama, saat ini jumlah representasi perempuan pada FIFA Council yang merupakan governing body dan badan pengambilan keputusan dari FIFA juga meningkat. Saat ini terdapat enam perempuan yang menjadi executive members pada FIFA Council. Enam perempuan tersebut yaitu Mahfuza Akhter (Bangladesh/AFC), Sandra Fruean (American Samoa/Oceania Football Confederation), Maria Sol Munoz (Ekuador/Conmebol), Lydia Nsekera (Burundi/Confederation of African Football), Sonia Bien-Aime (Turks & Caicos Islands/Concacaf), dan Evelina Christilin (Italia/UEFA).

Meskipun FIFA begitu gencar melawan diskriminasi gender di sepakbola, tapi masih banyak hal-hal lain yang melanggengkan adanya diskriminasi gender. Hal ini dapat disebabkan mayoritas negara-negara dengan kultur sepakbola yang kuat merupakan negara yang didominasi oleh iklim patriarki dalam tatanan sosial dan politiknya. Contohnya negara-negara seperti Brasil, Argentina, serta negara-negara Amerika Latin lain dan negara-negara di Timur Tengah seperti Iran dan Arab Saudi yang memang secara sosio-politik dan kultural didominasi oleh pandangan patriarki. Di Argentina, tim nasional perempuan mereka dianggap sebagai tim amatir oleh Federasi Sepakbola Argentina Padahal sejatinya Argentina dikenal sebagai salah satu negara yang diakui memiliki kultur sepakbola yang kuat.

Meskipun kompetisi liga sepakbola perempuan telah eksis selama 20 puluh tahun, namun hal tersebut tidak menjamin adanya persamaan perlakuan antara pesepakbola perempuan dengan pesepakbola pria. Pesepakbola perempuan biasanya menerima gaji yang jauh lebih kecil dibanding pesepakbola pria. Di Argentina, pesepakbola perempuan hanya diberi gaji sebesar 10 dolar Amerika per hari ketika sedang membela tim nasional di ajang internasional. Sedangkan pesepakbola pria diberikan gaji jauh lebih besar dengan menyentuh angka 5,4 juta paun untuk keseluruhan tim. Hal tersebut berujung pada aksi mogok pemain pada tahun 2017 yang menilai para petinggi asosiasi sepakbola di Argentina sangat dipenuhi oleh structural sexism.

Soal bedanya jumlah bayaran yang begitu signifikan, faktanya belum mampu diakomodasi dengan baik oleh FIFA. Federasi Sepakbola Inggris, FA, dalam laporannya menyatakan bahwa gender pay gap dalam sepakbola juga terjadi pada pejabat dan pekerja perempuan di tubuh asosiasi sepakbola tersebut. FA menyatakan bahwa perempuan yang bekerja untuk FA rata-rata mendapat gaji 23.2 persen lebih sedikit dari pria yang bekerja di FA.

Selain gaji, pemberian bonus pun terbilang timpang. Timnas Perempuan Amerika Serikat yang menjuarai Piala Dunia Perempuan 2015 hanya mendapat dua juta dollar, sementara juara Piala Dunia 2018, Prancis, memeroleh hadiah 38 juta dolar AS. Salah satu alasannya, menurut penulis, tak lepas dari sponsor yang lebih banyak menyasar ke sepakbola yang dimainkan pria. Soalnya, sepakbola pria dipandang merupakan pasar yang sangat baik dalam komersialisasi produk-produk sponsor. Tentunya hal tersebut juga merupakan tindakan yang diskriminatif yang sepatutnya dapat diatasi oleh FIFA dan induk sepakbola di tingkatan benua dan juga domestik.

Penambahan jumlah representasi perempuan dalam posisi-posisi strategis di FIFA memang merupakan langkah awal dan merupakan bentuk komitmen dalam mengakhiri diskriminasi dan opresi gender di sepakbola maupun pada lingkup olahraga secara luas. Meningkatnya representasi perempuan dan dukungan yang masif FIFA terhadap perkembangan sepakbola perempuan akan berimplikasi pada hadirnya lingkup kesetaraan gender di ranah yang selama ini dipersepsikan sebagai ranah yang maskulin.

Langkah-langkah FIFA dalam melawan diskriminasi gender tentunya memberikan dukungan bagi seluruh perempuan yang memiliki ketertarikan dan keahlian dalam ranah sepakbola untuk mendapatkan kemerdekaan diri. Kemerdekaan diri ini muncul karena dukungan-dukungan yang diberikan FIFA terhadap sepakbola wanita akan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang sebagai komitmen mereka untuk mewujudkan cita-cita #Football4Equality yang telah digagas.

Meskipun diskriminasi melalui gender pay gap dalam sepakbola masih mudah ditemukan, namun seiring berjalannya waktu hal tersebut dapat diatasi karena masing-masing pihak yang terlibat dalam ranah sepakbola global telah memahami pentingnya kesetaraan gender dan sudah waktunya untuk mengakhiri persepsi bahwa sepakbola hanyalah milik pria dan merupakan ranah yang maskulin dan non-inklusif.

foto: DNA India


*Penulis merupakan mahasiswa Fisip UGM. Bisa dihubungi lewat akun Twitter di @muh_afif69

**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar