Rasisme Gaya Baru Terhadap Pemain Berkulit Hitam

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Rasisme Gaya Baru Terhadap Pemain Berkulit Hitam

Oleh: Mohammad Rizqi Isnurhadi*

Kontroversi soal rasisme bukanlah topik baru dalam sepakbola. Organisasi Kick It Out dengan slogannya “Lets Kick Racism Out of Football” yang dibentuk sejak 1997 pun sudah memimpin upaya perlawanan terhadap rasisme dalam sepakbola. Namun, masih ada saja kasus-kasus rasisme yang dilakukan baik oleh suporter maupun pemain terhadap suporter dan pemain berkulit gelap.

Kasus pelemparan kulit pisang pada pemain Arsenal, Pierre-Emerick Aubameyang, ketika menghadapi Tottenham Hotspur dua minggu lalu menunjukkan rasisme masih ada. Raheem Sterling, winger Manchester City, juga menjadi korban teriakan rasisme dari suporter Chelsea awal bulan ini. Beberapa tahun lalu suporter Chelsea juga sempat terlibat kontroversi setelah mendorong seorang berkulit hitam di kereta bawah tanah Paris sesaat setelah pertandingan Chelsea melawan Paris-Saint Germain.

Meski masih terjadi, kasus-kasus rasisme terang-terangan seperti ini sudah sering mendapatkan sorotan media. Mekanisme penanganan untuk melawan rasisme terang-terangan, meski belum cukup baik, sudah mulai dibentuk. Setidaknya, perilaku seperti ini dikecam oleh otoritas sepakbola.

Sebagai contoh, sesaat setelah terjadinya kontroversi rasisme terhadap Raheem Sterling, otoritas sepakbola Inggris, FA, memberikan komentar yang mengecam tindakan tersebut dan segera melakukan investigasi. Chelsea juga telah memberikan hukuman larangan menonton semua pertandingan Chelsea terhadap empat pendukungnya yang diduga meneriakkan kata-kata rasis terhadap Sterling.

Di era ini, rasisme yang perlu turut media soroti adalah rasisme yang lebih halus. Rasisme halus ini sering dilakukan seorang pemain, pelatih, manajemen klub, pandit, atau bahkan secara tidak sadar, media sepakbola ketika mendeskripsikan seorang pemain atau tim. Pemain ataupun tim berkulit hitam sering dideskripsikan dengan kata-kata stereotipikal seperti; kecepatan, kekuatan, mengandalkan fisik, dan kasar.

Tim nasional Senegal telah menjadi korban rasisme halus di gelaran Piala Dunia 2018 lalu. Hal ini keluar dari mulut Slaven Bilic dalam pertandingan Senegal melawan Polandia. Bilic yang kala itu menjadi komentator menyebut kalau Timnas Senegal mengandalkan kecepatan dan kekuatan untuk mengalahkan Polandia. Memang mungkin benar sebagian pemain Senegal memiliki karakter tersebut. Tetapi, yang luput dari komentar adalah skill, kreativitas, maupun segi taktikal, seperti organisasi permainan.

Karakteristik yang disebutkan komentator memang tak adil dan tidak objektif. Pemain berkulit hitam diidentikkan dengan permainan fisik yang kasar. Padahal secara statistik karakteristik tersebut tidak benar. Di Premier League musim ini, lima pemain dengan pelanggaran terbanyak adalah pemain-pemain berikut: (1) Glenn Murray, (2) James McArthur, (3) Luka Milivojevic, (4) Mohamed Diame, (5) Joao Moutinho. Hanya Diame yang berkulit hitam.

Memang, Senegal tersingkir dari babak penyisihan grup akibat jumlah kartu kuning mereka yang lebih banyak dibandingkan Jepang. Namun, secara keseluruhan, Serbia, Mariko, Iran, dan Australia yang juga tersingkir di babak grup, memiliki jumlah kartu kuning yang lebih banyak dari Senegal. Sehingga sangat tak adil jika stereotip permainan kasar diberikan pada tim berkulit hitam saja.

N’Golo Kante adalah contoh tepat untuk menunjukkan stereotip terhadap pemain berkulit hitam. Kante di era Antonio Conte memainkan peran sebagai holding midfielder. Karakteristik yang sering dibahas tentang permainan Kante adalah stamina. Komentator sering mengatakan “ia tidak pernah berhenti berlari”.

Selain itu, sisi permainan Kante yang sering dibahas adalah kecepatan dan kekuatannya. Di musim ini, Kante bermain di posisi baru. Maurizio Sarri menempatkan gelandang anyar yang digaet dari Napoli, Jorginho, untuk mengisi posisi gelandang tengah. Ia memainkan peran sebagai deep lying playmaker sementara Kante digeser ke posisi yang lebih melebar dan lebih ofensif.

Sebagai gelandang, segi taktikal permainan seperti kreativitas seorang pemain dapat diukur dari jumlah passing attempt, pass success, dan key passes. Di musim ini, Kante memberikan rata-rata 54,2 umpan per pertandingan dengan 88,4% di antaranya tepat sasaran. Ia juga memberikan rata-rata 1,2 key passes per pertandingan.

Sebagai perbandingan, tandem Kante di Chelsea, Mateo Kovacic, memberikan rata-rata 47,6 pass per pertandingan, 93,1% pass success percentage serta 0,9 key passes. Jika dibandingkan dengan pemain dari klub lain yang berposisi serupa, Lucas Torreira, Kante juga tak kalah kreatif. Torreira memberikan 48,5 passes per pertandingan, 88,2% di antaranya sukses dan hanya 0.5 key passes. Dari statistik tersebut, dapat disimpulkan, Kante juga mempunyai kemampuan passing yang sangat baik serta kreativitas yang juga cukup baik bukan hanya sebatas kecepatan, kekuatan, dan stamina.

Selain Kante, Pogba juga menjadi korban rasisme halus dalam sepakbola. Pogba sering dibandingkan dengan Patrick Vieira dan Yaya Toure. Bahkan, di awal ketibaannya di Manchester United, Pogba diisukan akan mengisi posisi defensive midfielder. Pogba, yang berkulit hitam dan berpostur tinggi, diasumsikan sebagai pemain yang akan mengandalkan fisik dan energinya. Padahal di Juventus, Antonio Conte menempatkan Pogba di sisi kiri gelandang tengh, di mana ia bebas mengeksplorasi sisi ofensif dan kreativitas passing-nya. Sebagai pemain berkulit hitam, Pogba seolah dituntut untuk memenuhi ekspektasi stereotip tersebut. Ketika Pogba mengeksplorasi sisi kreativitasnya dan tidak memenuhi ekspektasi tersebut, ia dilabel sebagai pemain yang kurang disiplin. Jamie Carragher bahkan menyebut Pogba sebagai “defensive liability”.

Tabel di bawah mencoba membandingkan statistik umpan dari pemain-pemain kulit hitam yang identik dengan kecepatan, kekuatan, dan stamina, dengan pemain-pemain berkulit putih berposisi gelandang yang bermain di Premier League.

Melupakan sisi taktikal permainan seorang pemain berkulit hitam bukan hanya tak adil, tetapi juga berbahaya. Apalagi ketika stereotip tersebut memengaruhi cara pikir pelatih. Willy Sagnol, pelatih Bordeaux pada 2014 pernah mengatakan bahwa pemain dari Afrika adalah petarung, namun tak memiliki teknik, kecerdasan, dan disiplin.

“Keuntungan dari apa yang saya sebut sebagai pemain khas Afrika adalah mereka murah... siap bertarung. Tapi sepakbola bukan hanya tentang itu, ini tentang teknik, kecerdasan, disiplin, jadi Anda butuh segalanya,” kata Sagnol.

Ketika pelatih memiliki pandangan rasis seperti Sagnol, kesempatan bagi pemain Afrika dan berkulit hitam akan semakin terbatas. Mungkin tidak semua pelatih mempunyai sikap terang-terangan seperti Sagnol. Namun masih banyak pelatih yang menekankan pada kecepatan dan kekuatan pemain berkulit hitam dan membatasi eksplorasi sisi kreatif dari permainan sang pemain. Sikap seperti ini akan sangat membatasi perkembangan kemampuan sang pemain sehingga tidak mencapai performa maksimalnya.

foto: wolexis.com


*Penulis bisa dihubungi lewat akun Twitter di @Ay4mGor3ng

**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar