Bixente dari Basque

Backpass

by Evans Simon

Evans Simon

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Bixente dari Basque

Basque adalah salah satu wilayah yang cukup dikenal dalam dunia sepakbola. Klub-klub ikonik Spanyol, seperti Athletic Bilbao dan Real Sociedad, berada di sana. Namun, mereka tidak mewakili keseluruhan Basque. Jika bertanya kepada warga di bagian utara, maka sepakbola akan lebih identik dengan sosok individu, misalnya Didier Deschamps dan Bixente Lizarazu.

Tidak perlu merasa tua jika Anda mengenal Lizarazu. Dia sudah sepatutnya dikenal oleh mereka yang mengaku sebagai pencinta sepakbola. Lahir pada 9 Desember 1969, dirinya merupakan bagian dari skuat Perancis ketika menjuarai Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000.

Berbicara tentang bintang pertama di lambang Les Blues, tentu yang paling mudah terbersit di kepala adalah soal keberagaman skuat. Mereka mampu keluar sebagai juara dengan pemain-pemain yang memiliki latar belakang ras dan suku berbeda.

Apalagi, sebelum turnamen dimulai, pemimpin Front Nasionalis (sayap kanan) bernama Jean-Marie Le Pen membawa politik identitas ke isu tim nasional. "Kebanyakan pemain tidak menyanyikan La Marseillaise atau bahkan tidak mengetahui (lagunya)," ucap Le Pen pada 1996 seperti yang dikutip La Croix.

Kapten Perancis, Marcel Desailly, adalah salah satu dari begitu banyak pemain berkulit hitam. Lizarazu dan Deschamps adalah dua dari segelintir yang mewakili kulit putih. Sang bintang utama, Zinedine Zidane, adalah keturunan Aljazair. Black, Blanc, Beur. Putih, Hitam, Arab.

Persatuan (dan kesuksesan) skuat asuhan pelatih Aime Jacquet membuat seluruh negeri terbawa dalam semangat keberagaman yang sebenarnya selalu ada di bendera Perancis: Bleu, Blanc, Rouge. Biru, Putih, Merah. Upaya Le Pen mengoyak tenun kebangsaan mendapatkan perlawanan kuat.

Di luar kisah nasionalisme, keberhasilan Perancis itu memiliki romantikanya tersendiri bagi warga Basque Utara. Dua anak daerah, Lizarazu dan Deschamps, berhasil menjadi juara dunia.

Basque Utara yang masuk ke wilayah Perancis berbeda jauh dengan Basque Selatan yang menjadi milik Spanyol ketika berbicara tentang keolahragaan. Basque Utara tidak memiliki kesebelasan besar seperti Bilbao atau Sociedad. Alih-alih, mereka justru lebih identik dengan tim rugby. Aviron Bayonnais dan Biarritz Olympique adalah dua tim yang cukup populer di kancah rugby Eropa.

Jika ada kesebelasan dari Basque Utara yang paling terkenal, maka itu adalah Aviron Bayonnais (ya, namanya sama dengan klub Rugby). Mereka hanya malang-melintang di divisi bawah sepakbola Perancis sepanjang hayatnya, namun tetap punya nilai jual oleh sebab akademinya berkualitas.

Salah satu jebolan yang paling terkenal adalah Deschamps. Namanya bahkan diabadikan menjadi nama stadion berkapasitas 3.5000 penonton milik kesebelasan.

Sosok lain yang mungkin bisa dijadikan wajahnya pantas terpampang di dinding ruang ganti akademi adalah Aymeric Laporte. Ia pernah mencicipi pendidikan di klub Bayonne itu selama satu tahun, sebelum pindah ke tim junior Bilbao, promosi ke tim senior, lalu direkrut oleh Manchester City.

Laporte adalah pemain Perancis kedua yang pernah membela Bilbao sepanjang sejarah. Pemain pertamanya adalah Lizarazu (1996-1997). Persamaan keduanya: berdarah Basque.

Los Leones memang memiliki kebijakan tak tertulis yang unik (atau diskriminatif, tergantung sudut pandang). Mereka hanya mengontrak pemain yang berasal dari Basque.

Meski pernah mendapatkan "kehormatan" menyebut San Mames sebagai kandang, tetap saja banyak yang menganggap Lizarazu kerap dianggap "kurang Basque". Maklum, ia sudah pindah ke Bordeaux ketika masih berusia 14 tahun. Di klub inilah namanya berkembang pesat, menjuarai Ligue 2 pada 1992 dan Piala Intertoto (sudah punah) pada 1995, sehingga kemudian berkesempatan bergabung dengan FC Bayern.

Pemain yang berposisi sebagai bek kiri itu menjadi salah satu andalan Die Roten di eranya (1997-2006, diselingi masa pinjaman bersama Olympique Marseille selama setengah musim 2004/05). Ia berperan penting atas keberhasilan mereka menjuarai enam titel Bundesliga, lima DFB-Pokal, dan satu Liga Champions.

Bagaimanapun, hal itu tidak cukup menjadikan Lizarazu sebagai putra daerah kebanggaan. Ia adalah salah satu bintang olahraga yang pernah diancam oleh kelompok pro-kemerdekaan Basque untuk mendukung gerakan dengan cara menyumbang uang. Ia sampai harus mendapatkan pengawalan personal saat membela tim nasional Perancis melawan Spanyol di Valencia pada 2001.

Selepas pensiun pada 2006, Lizarazu mencoba untuk menebus masa kecilnya yang jauh dari kota kelahiran, Saint-Jean-de-Luz. Kota ini berada di pesisir dan memiliki pantai indah sebagai destinasi pariwisata. Ia pun kerap berselancar.

Selain berselancar, Lizarazu diketahui suka bertualang menggunakan sepeda. Ia melewati pegunungan dan bukit-bukit yang membentang di Basque.

"Dua pendekatan itu (berselancar dan bersepeda) adalah fondasi bagiku. Aku adalah seorang Basque tulen, dengan nilai-nilai di dalamnya. Ayahku adalah seorang tukang kayu, begitu juga dengan kakekku. Aku pergi untuk menjadi lebih baik ketika kembali," ucap Lizarazu kepada Nouvelobs (https://o.nouvelobs.com/voyage/20180720.OBS9979/bixente-lizarazu-je-suis-un-vrai basque.html). "Lizar" dalam bahasa Basque berarti pohon ash.

Melihat kembali karier sepakbola yang membuatnya jarang menghabiskan waktu di kota kelahiran, Lizarazu mungkin bisa tertawa. Mengenang saat-saat nama Bixente mendadak ramai dipakai orang setelah Perancis meraih Piala Dunia 1998; nama khas Basque yang pernah dilarang petugas administrasi Perancis sehingga kemudian yang digunakan adalah terjemahannya: Vincent.

Komentar