Anthony Martial dan Jejak Thierry Henry

Backpass

by Redaksi 14

Redaksi 14

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Anthony Martial dan Jejak Thierry Henry

Buat mayoritas penggemar sepakbola, nama Club Omnisports (CO) Les Ulis terbilang asing di telinga. Hal ini tergolong wajar sebab klub yang berdiri tahun 1977 itu sekarang cuma mentas di divisi kelima sepakbola Prancis. Walau begitu, di klub inilah dua pesepakbola legendaris Prancis, Patrice Evra dan Thierry Henry, meniti awal karier sepakbolanya.

Layaknya tim liliput yang acap dipandang sebelah mata dan jauh dari atensi, kemampuan Les Ulis dalam menelurkan bakat-bakat muda ternyata cukup paripurna. Selain Evra dan Henry, klub dari sebuah comune di barat daya kota Paris ini juga menjadi tempat Anthony Martial dan Yaya Sanogo menimba ilmu sekaligus mengasah kemampuan mereka.

Khusus untuk Martial, dirinya dianggap talenta langka nan spesial yang pernah dipunya Les Ulis. Anggapan ini diapungkan oleh pelatih Martial di Les Ulis (bahkan sampai sekarang), Aziz Benaaddane.

"Memori pertamaku tentang Martial? Ia masih sangat muda - barangkali enam tahun - menggiring bola dengan presisi di atas lapangan sembari berlari ke arah gawang untuk menciptakan gol. Sungguh impresif. Ada 400-an bakat muda yang bermain untuk kami tapi yang levelnya seperti Martial hanya muncul satu kali dalam kurun lima sampai enam tahun", ungkap Benaaddane seperti dilansir BBC.

Di bawah bimbingan Benaaddane dan asistennya, Mahamadou Niakate, Martial muda sanggup memperlihatkan potensi maksimalnya. Gara-gara ini pula banyak kesebelasan top yang melirik Martial, baik yang berasal dari Prancis ataupun luar negeri. Klub kaya baru Liga Primer Inggris, Manchester City, bahkan sempat mengundang Martial secara khusus untuk datang ke markas latihan mereka. Pihak The Citizens pun mengakui jikalau mereka sangat meminati Martial.

Keengganan ayah Martial untuk melepas sang putra merantau jauh ke negeri orang menguapkan keinginan City. Oleh sang ayah, Martial didorong untuk bertahan lebih dahulu di Negeri Anggur kalau tujuannya demi menimba ilmu, meningkatkan kualitas individu sekaligus mematangkan permainannya sebagai pesepakbola. Alhasil, akademi Olympique Lyonnais jadi tujuan Martial setelah pergi dari Les Ulis. Pilihan itu sendiri berbuah manis karena di sana Martial beroleh kesempatan seluas-luasnya untuk belajar.

Seiring waktu, gaya main Martial yang energik, licin dan klinis membuat publik terus membanding-bandingkannya dengan Henry. Kebetulan, layaknya Martial, saat bermain Henry tak cuma lihai merumput sebagai penyerang tengah tapi juga bermain melebar dari sisi kiri —situasi yang memudahkannya buat menusuk dari sayap ke area tengah alias cut inside dan menembak dengan memakai kaki terkuatnya. Namun di mata Niakate, kemiripan di antara kedua pemain beda generasi tersebut sudah terlihat sedari Martial belia.

"Martial punya karakteristik yang sangat persis dengan Henry. Buas di depan jala lawan, cerdas, cepat, dan bermental pemenang", ungkap Niakate kepada BBC.

Komparasi yang melibatkan keduanya berkelindan semakin laju tatkala AS Monaco, kesebelasan yang pernah diperkuat Henry saat ketika muda, merekrutnya dari Lyon. Dan layaknya Henry, aksi-aksi impresif juga berhasil dipertontonkan Martial selama mengenakan kostum merah-putih khas Monaco. Uniknya, saat masih berseragam Les Monegasques pula, Martial dan Henry beroleh debut memakai baju tim nasional Prancis.

Ketika Martial memilih Inggris guna bergabung dengan Manchester United buat melanjutkan karier, khalayak ramai pun semakin lantang menyebut bahwa ia coba mengekor jejak karier Henry. Namun di titik ini, ada satu jurang pemisah di antara keduanya lantaran Henry memilih Arsenal sebagai pelabuhannya di Negeri Ratu Elizabeth.

Tak sekadar itu karena bentang karier Henry bareng The Gunners berjalan amat menyenangkan. Selain menyumbang 228 gol dari 376 penampilan (menahbiskannya sebagai pencetak gol terbanyak Arsenal sepanjang masa) pada seluruh kompetisi, ia juga berkontribusi atas masing-masing dua titel Liga Primer Inggris, Piala FA, dan Community Shield. Fans setia Arsenal pun mendapuk Henry, dalam sebuah survey yang dilakukan laman resmi klub medio 2008 silam, sebagai pemain terbaik The Gunners sepanjang sejarah.

Prestasi jempolan Henry di tanah Inggris bukan sesuatu yang mudah direplikasi Martial atau bahkan pemain lain dengan kualitas super. Pemuda kelahiran Massy tersebut kudu berjuang semaksimal mungkin guna melakukannya. Berhasil mencaplok beraneka gelar bersama United (sejauh ini dirinya telah mengecup masing-masing sebiji Piala FA, Piala Liga, Community Shield dan Liga Europa) akan mengharumkan nama Martial. Apalagi kalau kepala dan kakinya ikut-ikutan rajin melesakkan gol demi gol.

Henry adalah Henry, Martial adalah Martial. Namun jejak fenomenal Henry hanya bisa diikuti oleh pemain yang juga fenomenal. Mampukah Martial masuk ke dalam kategori tersebut? Barangkali cuma waktu yang dapat menjawabnya. Satu hal yang pasti, tanpa kerja keras dan pembuktian di atas lapangan bareng The Red Devils, alih-alih dipuji sebagai pengekor jejak yang brilian, sepanjang waktu Martial bakal dicerca sebagai bayang-bayang semu Henry belaka.

Komentar