Jangan Biarkan Mendieta Pergi Sia-Sia

Backpass

by Redaksi 15

Redaksi 15

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Jangan Biarkan Mendieta Pergi Sia-Sia

Mantan pemain Aston Villa, Lee Hendrie, sempat mengungkapkan bahwa kompetisi sepakbola Indonesia selevel dengan liga semi-profesional Inggris. “Kompetisi di Indonesia sangat berbeda. Mungkin setara dengan Football Conference (divisi lima sepakbola Inggris, sekarang dikenal sebagai National league),” kata Hendrie pada

>ESPN.

Hendrie yang hanya beberapa bulan mencicipi Liga Premier Indonesia (LPI) mungkin dapat dikatakan terlalu dini untuk menilai. Namun, ucapannya itu tidak salah.

Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan kata `profesional` sebagai hal yang berkaitan dengan profesi, memerlukan keahlian, dan mendapatkan pembayaran. Pembayaran itulah yang membedakan profesional dengan amatir. Pembayaran ini bukan sekedar upah. Melainkan sumber pendapatan utama seseorang. Jika mereka masih memerlukan pekerjaan lain untuk memenuhi kebutuhan, berarti semi-profesional seperti kata Hendrie.

Pembayaran gaji atau masalah dana secara umum sudah menjadi penyakit lama yang tak kunjung sembuh. Wajar jika mantan pemain tim nasional Inggris menyetarakan sepak bola Indonesia dengan divisi lima negaranya.

April 1998, Majalah Sportif sempat mengungkap masalah dana PSIM Yogyakarta yang mencapai 1,1 miliar rupiah. Sebesar 110 juta di antaranya adalah tunggakan gaji pemain. Masih dari Sportif, Juli 1999, PSIS Semarang dan Persebaya Surabaya kebingungan karena mereka minim dana untuk jadi wakil Indonesia di Piala Champions dan Winners Asia. Sekitar 20 tahun kemudian, kabar tentang tunggakan gaji Sriwijaya FC muncul.

Namun jika ada satu masalah gaji yang bisa mengubah sepakbola Indonesia, hal itu terjadi pada 3 Desember 2012. Mantan Pemain Persis Solo, Diego Mendieta, meninggal dunia setelah menderita Sitomegalovirus. Sebuah virus yang tergolong dalam keluarga herpes dan dapat menular lewat batuk atau bersin.

Mendieta pergi dengan merana. Keluarganya ada di Paraguay. Sementara uang yang seharusnya menjadi upah dari profesinya sebagai pesepakbola profesional tak kunjung datang. Persis menunggak gaji Mendieta selama empat bulan dan angkanya disebut mencapai 131 juta rupiah.

Mendieta meninggal dunia di tengah kisruh sepakbola Indonesia. Tahta penguasa di badan pengurus sepakbola sedang diperebutkan. PSSI sebagai federasi resmi membuat kompetisi baru bernama Liga Premier Indonesia (LPI). Sementara beberapa anggota Komite Eksekutif PSSI yang menolak usulan tersebut mengambil alih Liga Super Indonesia (LSI) dan membentuk organisasi tandingan. Mereka memperkenalkan diri sebagai Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI).

Ironisnya, Mendieta yang bermain di LSI tidak bisa mereka selamatkan. Dualisme sepakbola Indonesia sudah terjadi satu tahun sebelum Mendieta meninggal. Desember 2011, Ketua Umum PSSI ke-14, Djohar Arifin mengirim surat ke FIFA sebagai bentuk aduan terkait LSI yang ketika itu berstatus "ilegal". Desember 2012, Mendieta meninggal dan mendapat perhatian dunia.

Kabar tentang kondisi Mendieta bukan datang tiba-tiba. Suporter Persis Solo sempat menyebarkan hal ini melalui akun Twitter mereka (https://twitter.com/PasoepatiNet/status/275422913954476032">@PasoepatiNet) sejak November. Galang dana sudah mereka dilakukan dan mengumpulkan lebih dari tiga juta rupiah (Rp 3.125.000) untuk Mendieta. Uang tersebut diberikan langsung ke Mendieta pada 3 Desember 2012.

Tapi semua sudah terlambat. Di hari yang sama, jelang pergantian hari, Mendieta dinyatakan meninggal. PasoepatiNet mengonfirmasinya pada pukul 00.06, 4 Desember 2012.

“Sebagai seorang ekspatriat, saya tahu rasanya tinggal sendiri di negara orang. Kisah Mendieta adalah hal yang memilukan. Sayangnya saat mendengar kabar ini, saya sudah terlambat,” kata Anthony Sutton kepada CNN.

Terlambat, sebuah kata familiar. "Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali" adalah ungkapan yang populer. Akan tetapi, dalam kasus ini, ungkapan itu tak berlaku. Mendieta tidak bisa dihidupkan kembali. Hanya sebuah tulisan doa berbahasa Spanyol yang ditinggalkannya.

Dios mil gracis por todo. (Tuhan, terima kasih banyak untuk semuanya.)

Perdona mis pecados. (Maafkan dosa-dosaku.)

Te amo y te necesito. (Aku mencintai-Mu dan aku membutuhkan-Mu.)

Cubre con tu presioso manto. (Tutup tubuh ini dengan jubah-Mu.)

Sagrado a mi amada familia. (Suci untuk keluarga tercinta.)

Mis suenos. (Mimpiku.)

Mi proyecto devid amis amigos. (Pekerjaan teman-temanku.)

A todo aquel que te bus que necesite que crea en ti. (Dan semua orang yang membutuhkan-Mu, saya percayakan kepada-Mu.)

Kepada https://twitter.com/780AM/status/275911059171315712">Radio Primero de Marzo, Valeria mengatakan bahwa sejak kontrak Mendieta bersama Persis Solo hangus, dia yang membiayai suaminya di Indonesia. “Saya yang membayar kontrak rumahnya. Saya yang memberikan dia uang untuk membeli makanan. Pihak klub tidak berbuat apa-apa. Diego juga pernah mengatakan bahwa dia dijenguk pihak kedutaan. Tapi mereka tidak membantunya,” kata Valeria. Menurut wartawan Kompas, Sam Hadi, agen Mendieta sudah mengajaknya pulang ke Paraguay. Namun perasaan malu membuat penyerang 32 tahun bertahan, menunggu dana dari Persis Solo.

"Mendieta sudah tidak membayar kontrak rumahnya selama enam bulan. Setelah jasanya diputus Persis Solo, klub masih berhutang ke Mendieta. Dirinya harus bertahan hidup di Solo. Saat agennya mengajak dia pulang, dirinya menolak. Ia malu tidak membawa pulang uang untuk keluarganya," jelas Sam.

Persis kemudian melunasi kewajiban mereka. Sayang, semua sudah terlambat. Keluarga tak bisa menikmatinya bersama Mendieta.

Bukan Virus tapi Ego

Sitomegalovirus disebut sebagai penyakit yang merenggut nyawa Mendieta. Namun, tunggangkan gaji dari Persis Solo yang mengundang penyakit tersebut. Sial, pada kenyataannya hal ini seharusnya bisa dihindari. Menurut deputi sekretaris jendral (Sekjen) PSSI saat itu, Saleh Mukadar, dualisme liga membuat hak pemain dan kewajiban klub dikesampingkan.

“Regulasi sudah dibuat. Tapi konflik LSI dan PT LI membuat semuanya berantakan. Andai kata regulasi itu diterapkan semua pemain akan pergi ke LSI dan tidak ada yang bermain LPI. Akhirnya hal itu dibatalkan,” aku Saleh.

Sementara Deputi Sekjen PSSI lainnya, Tondo Widodo, merasa kematian Diego Mendieta adalah bukti bahwa LSI sebagai kompetisi `ilegal` gagal melindungi aset mereka. “Apabila bermain di kompetisi resmi yang dipayungi federasi, para klub peserta wajib memperhatikan hak pemain. Jelas akan banyak regulasi yang melindungi pemain,” kata Tondo.

Hingga Diego Mendieta meninggal dunia, dualisme masih terjadi. Bahkan Mendieta tidak disebut sebagai pemain Persis Solo. Tapi Persis Solo versi Badan Liga Indonesia. Hal ini dilakukan untuk membedakan Persis Solo yang mengikuti kompetisi PSSI dan dikelola oleh Liga Prima Indonesia Sportindo dengan kesebelasan Mendieta sebelum meninggal.

Kepergian Mendieta inilah awal dari perdamaian PSSI dengan KPSI. Sejak 10 hari setelah Mendieta meninggal, FIFA memberi waktu tambahan kepada Indonesia untuk menyelesaikan masalah dualisme yang sudah terjadi selama satu tahun. Januari 2013, pemerintah ikut turun tangan hingga akhirnya pada 17 Maret, KPSI dibubarkan. LSI menjadi liga utama di bawah naungan PSSI seperti semula.

Presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno pernah berkata, “Jangan sekali-kali kita meninggalkan sejarah”. Hal yang serupa juga pernah diungkapkan filsuf asal Spanyol, George Satayana. “Mereka yang melupakan masa lalu akan dihukum dan mengulanginya lagi,” tulisnya di buku berjudul `The Life of Reason`.

Kompetisi sepakbola di Indonesia sudah ada sebelum merdeka, tepatnya 1931. Pada 1993, PSSI mengajak peserta Galatama dan Perserikatan untuk menjadi klub profesional, main di Liga Indonesia. 2 tahun kemudian, liga resmi bergulir. Hanya saja kata `profesional`, bahkan sampai saat ini masih semu. Semu.

Komentar