Organisasi, Kompetisi, dan Prestasi

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Organisasi, Kompetisi, dan Prestasi

Oleh: Fahmi Hasan*

Kurang lebih dalam satu tahun belakangan ini sepakbola nasional kita selalu menjadi bahan perbincangan. Sebut saja permasalahan rangkap jabatan yang diemban Ketua PSSI hingga anggota PSSI pusat yang berafiliasi dengan kesebelasan di Liga 1. Setelah itu ada pembahasan tentang musibah kematian suporter yang tewas dikeroyok oleh suporter lawan.

Hal tersebut menjadi pertanyaan apakah PSSI selama ini bisa mengelola kompetisi dengan baik? Masalahnya kejadian serupa bukan sekali ini terjadi, dan yang paling banyak disorot adalah prestasi tim nasional. Lepasnya target timnas mencapai semifinal di Asian Games 2018 dan gagalnya timnas lolos dari fase grup Piala AFF 2018 yang menjadi salah satu capaian terburuk selama timnas mengikuti kompetisi tersebut.

Tulisan ini akan membahas tiga topik utama, yaitu organisasi, kompetisi, dan prestasi. Karena tiga hal tersebut saling berkesinambungan dan selalu melangkah bersamaan.

Organisasi

Bahasan pertama mulai dari organisasi. Organisasi yang dimaksud adalah organisasi yang menaungi sepakbola nasional, yaitu Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia atau PSSI.

Indonesia termasuk negara yang memiliki antusiasme tinggi terhadap sepakbola. Hal ini bahkan diakui pesepakbola top yang pernah bermain di Indonesia. Salah satunya David Beckham yang mengagumi antusiasme masyarakat Indonesia terhadap sepakbola kala bermain di Gelora Bung Karno. Antusiasme ini bisa dilihat di setiap kota atau kabupaten, minimal dalam satu tahun pasti ada kejuaraan sepakbola. Rasanya, sepakbola benar-benar telah membudaya.

Jumlah massa yang besar ini menjadikan sepakbola sebagai alat politik bagi beberapa orang. Malah, 10 sampai 20 tahun lalu ada anekdot bahwa kalau di daerah tersebut ada Pilkada, maka kesebelasan dari daerah tersebut akan juara. Alasannya? Untuk menaikkan popularitas dan elektabilitas si calon pemimpin daerah yang juga biasanya berperan sebagai pengurus kesebelasan tersebut.

Yang jadi soal adalah cara agar klub juara tersebut diragukan dengan cara-cara yang “benar”. Ini merupakan salah satu contoh. Mungkin para pemimpin organisasi sepakbola terjun di organisasi tersebut bukan benar-benar karena ingin mengurusi sepakbola.

Mungkin kebiasaan yang kurang baik dari kultur organisasi sepakbola tersebut merembet ke kebiasaan pengurus organisasi sepakbola masa kini. Sebut saja Ketua Umum PSSI berlaku sebagai Gubernur Sumatera Utara dan juga salah satu pembina di tim yang bermain di Liga 1, PSMS Medan. Rangkap jabatan tersebut memunculkan spekulasi adanya konflik kepentingan.

Selain itu untuk mengurus organisasi sepakbola dengan harapan dan ekspektasi masyarakat Indonesia terhadap prestasi sepakbola yang tinggi, alangkah baiknya sang ketua fokus menuntaskan pekerjaannya sebagai pemimpin organisasi, dan tidak hanya menjadikan “sambilan”.

Ibarat guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Apa yang dilakukan sang ketua merembet ke lingkaran sekitarnya. Belakangan diketahui beberapa posisi penting di PSSI diduduki oleh orang-orang yang memiliki hubungan dan berada dalam organisasi klub peserta Liga 1. Andai saja pengurus fokus, mungkin akan melahirkan kompetisi yang lebih baik dan pengelolaan yang lebih profesional.

Kompetisi

Kompetisi sepakbola nasional diuntungkan dengan antusias masyarakat yang besar serta banyaknya klub yang dimiliki setiap daerah. Namun sayangnya dalam pengelolaannya belum bisa dibilang optimal. Terlihat kompetisi masih terlalu berpusat pada kompetisi untuk “senior”, seperti Liga 1 dan rangkaian kompetisi di bawahnya. Itu pun masih banyak permasalahan mulai dari kualitas wasit yang sering dikeluhkan oleh klub peserta.

Disadari atau tidak sebenarnya wasit pun memiliki peranan dalam membangun karakter pemain. Kita bisa lihat bagaimana kebiasaan pemain kita ketika berlaga di ajang internasional. Banyak dari mereka yang mudah mendapatkan kartu kuning karena pelanggaran yang terlalu keras. Hal tersebut bisa disebabkan karena kebiasaan di kompetisi dalam negeri, di mana wasit banyak memberi toleransi kepada pelanggaran-pelanggaran yang seharusnya mendapat ganjaran kartu kuning hingga merah.

Begitupun kebiasaan pemain kita yang selalu protes ke wasit yang terbawa ke level internasional. Dampaknya, timnas bisa kebobolan karena setelah pelanggaran pemain lawan langsung melanjutkan permainan dan menjadi gol. Di sisi lain pemain kita pada saat itu malah sibuk memprotes pelanggaran tersebut.

Ada pula permasalahan dalam pengaturan laga internasional timnas. Sayangnya beberapa kali timnas tanding saat kompetisi sedang berlangsung. Hal tersebut membuat klub banyak yang keberatan untuk melepas pemainnya. Padahal FIFA telah mengeluarkan kalender jeda internasional untuk memperingatkan kompetisi di setiap negara untuk rehat dan memberi kesempatan kepada timnas untuk melakukan uji tanding. Namun sayangnya kita masih seringkali mengabaikan hal tersebut.

Regulasi yang jelas dan ketat untuk menindaklanjuti dan membasmi kekerasan suporter sangat dibutuhkan, karena kekerasan suporter sudah beberapa kali berulang. Perlu adanya kesadaran dari seluruh elemen sepakbola, mulai dari penonoton, pemain, hingga klub.

Lalu, Kompetisi usia dini yang berjenjang dan memiliki durasi kompetisi yang ideal belum terlaksana dengan baik. Tidak jarang kompetisi usia dini hanya berlangsung beberapa bulan saja yang membuat para atlet muda kita hanya berlatih mendadak ketika mendekati kompetisi berlangsung. Hal tersebut membuat klub mengesampingkan pembinaan mereka pada pemain muda.

Tidak banyak dari klub yang bermain di tingkat tertinggi menggunakan pemain binaannya sendiri sebagai pemain utama, atau bahkan untuk masuk dalam daftar pemain pun tidak banyak. Padahal pada dasarnya kompetisi yang merangsang lahirnya prestasi timnas.

Prestasi

Pada 2018 ada enam kompetisi yang ditargetkan masuk final dan semifinal. Sayangnya dari enam kompetisi tersebut hanya satu yang masuk target, yaitu timnas U16 yang menjadi juara di Piala AFF U16. Selain mereka, Piala AFF U19, Piala Asia AFC U19, Piala Asia U16, Asian Games, dan Piala AFF lepas dari target.

Berbagai kendala yang sebenarnya dari tahun ke tahun tetap sama kembali dibahas. Adanya keluhan dari timnas U19 dan U16 tentang sulitnya menjaring pemain terbaik di tiap daerah karena tidak adanya kompetisi di kelompok umur mereka. Kemudian di timnas senior adanya penolakan dari klub untuk melepas pemain ke timnas lebih dari dua pemain.

Belum lagi tidak diperpanjangnya kontrak Luis Milla dan tidak ada kejelasan mengenai perpanjangan kontrak. Pelatih baru pun belum jelas beberapa minggu menjelang Piala AFF berlangsung. Selain itu pengalaman bertanding dengan negara lain sangat minim, serta jeda internasional dari FIFA tidak dimanfaatkan dengan baik.

Semoga setelah apa yang terjadi hingga penghujung tahun 2018 ini menjadi evaluasi bersama demi tercapainya prestasi. Sudah waktunya mereka yang duduk di organisasi sepakbola fokus untuk membangun sepakbola Indonesia menjadi lebih baik.

Kompetisi dan pembinaan sepakbola kita masih banyak yang harus diperbaiki, serta tim nasional masih membutuhkan perhatian khusus. Ke depannya diharapkan tidak ada lagi orang yang hanya mencari hidup di organisasi, tetapi sudah waktunya mereka yang menghidupi organisasi dengan ide, gagasan, dan integritas mereka.


*Penulis merupakan Dosen ITB, Sport Science Research Group. Bisa dihubungi lewat akun Twitter di @fahmihasannn

**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar