Kejayaan di Liga Champions dalam DNA Real Madrid

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Kejayaan di Liga Champions dalam DNA Real Madrid

Oleh: Verend Liemuel*

Kamis 15 Februari 2018, Santiago Bernabeu bergemuruh. Namun, bukan oleh Madridista, melainkan oleh penggemar kesebelasan kaya raya dari pusat mode dunia, Paris Saint-Germain. Kala itu, Adrian Rabiot menggetarkan gawang Keylor Nevas setelah memanfaatkan asis cerdas dari Neymar.

Gol pada leg pertama babak 16 besar Liga Champions tersebut seperti sudah diprediksi. Soalnya, PSG jauh lebih diunggulkan. Mereka punya trio lini serang yang begitu subur: Neymar, Edinson Cavani, dan Kylian Mbappe. Ditunjang dengan sejumlah pemain bintang di posisi lain, PSG tampil moncer baik di liga domestik maupun di fase grup Liga Champions. Mereka menang lima kali di babak grup dari total enam pertandingan.

Musim lalu, Real Madrid seperti tak begitu diunggulkan di Liga Champions, mengingat kiprah Los Blancos yang terseok-seok di La Liga. El Real sudah tersingkir dari Copa del Rey. Mereka pun hanya ada di peringkat kedua fase grup Liga Champions di bawah wakil Inggris, Tottenham Hotspur. El Real bahkan tak bisa mengalahkan Spurs dengan catatan hasil imbang di Bernabeu dan kalah 1-3 saat melawat ke Wembley.

Dunia bertanya-tanya, apakah sang pemegang takhta mampu mempertahankan gelarnya? Apalagi mereka baru saja mencetak rekor yang selama ini tidak pernah dilakukan oleh tim manapun mengangkat ‘Si Kuping Besar’ tiga kali beruntun di era Liga Champions.

Kembali ke Kamis 15 Februari 2018, sorak sorai para penggemar PSG itu tak terdengar lagi gaungnya. Di ujung babak pertama, Cristiano Ronaldo sukses mengeksekusi tendangan penalti dan menutup babak pertama dengan skor sama kuat. Di babak kedua, 10 menit jelang wasit membunyikan peluit tanda pertandingan berakhir, Madrid kembali mencetak gol dan pertandingan berakhir dengan skor 3-1. Di leg kedua, yang digelar di Paris, Madrid kembali menang 2-1—skor yang membuat mereka lolos dengan agregat 5-2.

Singkat cerita, Real Madrid berhasil melaju ke final usai menumbangkan Juventus di perempat final, dan raksasa Bavaria, Bayern Munchen, di semifinal. Fakta menariknya, baik PSG, Bayern, dan Juventus, adalah juara di masing- masing liga domestiknya. Kesebelasan yang terseok seok di La Liga dan disingkirkan oleh kesebelasan papan tengah di ajang Copa del Rey ternyata akan bertanding di pertandingan puncak kompetisi paling bergengsi Eropa. Mereka bahkan rutin melakukannya selama tiga tahun belakangan ini. Kok bisa?

Sang legenda, Manolo Sanchis, pernah berkata bahwa hal yang membuat Real Madrid begitu perkasa di kompetisi Eropa adalah sejarah yang sudah dibangun lebih dari seabad oleh Real Madrid. Pernyataan ini sekaligus menyentil kesebelasan kaya raya yang berusaha “membeli” kejayaan di pentas Eropa dengan membangun skuat bertabur bintang.

Baca juga: Hanya Ada Tiga Kesebelasan Besar di Dunia

"Bagaimana menjelaskan DNA Real Madrid di Liga Champions? Ini sesuatu yang investor baru tidak mengerti dengan benar," kata Sanchis, seperti dilansir Soccerway.

"Mereka terbiasa membeli segala sesuatu dengan uang. Tapi Anda tidak bisa membeli 116 tahun sejarah yang dimiliki Real Madrid, atau warisan yang begitu banyak dari pemain-pemain hebat," Sanchis menambahkan.

Yang jelas, kesimpulannya adalah mental juara yang sudah dibangun di Madrid sejak kesebelasan ini berdiri. Tak berlebihan rasanya karena faktanya, Los Blancos adalah pemenang dari lima edisi pertama Liga Champions yang kala itu masih disebut European Cup secara beruntun, mulai dari 1955 sampai 1960.

Pada masa kini, mental juara Madrid terus diajarkan dari generasi ke generasi. Setiap pemain Real Madrid paham bahwa mereka bermain membawa nama besar dan reputasi yang sangat disegani. Tak mengherankan bila mereka bisa mencapai final keempat dalam lima musim terakhir. Maka dari itu pula, pemain El Real terlihat begitu nyaman ketika bermain di laga sarat tekanan seperti final Liga Champions dan sebagainya.

Terlebih, Pelatih Madrid kala itu, Zinedine Zidane, sangat paham dengan mental juara ini. Seperti yang kita ketahui, Zizou adalah legenda El Real dan pernah membawa kesebelasan ini juara Liga Champions pada musim 2001/2002. “Kami membuktikan kalau Liga Champions ada dalam DNA Real Madrid. Kami tak pernah berhenti berjuang hingga menit terakhir,” ujar Zidane.

Melirik final UEFA Champions League yang digelar di Olimpiyskiy Stadium Kiev, Real Madrid berhasil menjadi kesebelasan pertama yang menjuarai trofi ini tiga kali beruntun, setelah menaklukkan kesebelasan yang juga punya sejarah di kompetisi ini, Liverpool. Gareth Bale sebagai bintang dengan mencetak dua gol indah, membuat dirinya menjadi man of the match, dan memecahkan rekor pemain pertama yang mencetak dua gol sebagai pemain pengganti di final, setelah menggantikan Isco pada menit ke-61.

Standar kesebelasan yang sangat tinggi memacu pemain untuk menambah penuh lemari trofi Real Madrid. Kesebelasan besar macam Madrid tentu sangat haus akan trofi. Kesuksesan itu adiktif, bukan?


*Penulis merupakan mahasiswa, bisa dihubungi lewat akun Twitter di @verend_L

**Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis melalui kolom Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada dalam tulisan ini merupakan tanggung jawab penulis.

Komentar