Ketika Setan Merah Berkunjung ke Neraka

Backpass

by redaksi Pilihan

Ketika Setan Merah Berkunjung ke Neraka

Pendukung Galatasaray memang terkenal ganas. Keganasan pendukung Galatasaray melebihi para hooligan di Inggris atau ultra di Italia. Manchester United adalah salah satu dari sekian banyak korban keganasan pendukung Galatasaray. Jika Anda pendukung sejati United, Anda tentu ingat dengan peristiwa yang terjadi pada laga leg kedua putaran kedua Liga Champions, 3 November 1993 silam.

Pada laga itu, United tersingkir dari Liga Champions; kalah agresivitas gol tandang dalam agregat 3-3 dari Galatasaray. Leg pertama di Old Trafford berakhir 3-3 sementara leg kedua di Ali Sami Yen (sekarang Turk Telecom Arena) berakhir 0-0. Pada laga itu pulalah semuanya terjadi.

Sudah jatuh tertimpa tangga, begitulah frasa yang tepat untuk menggambarkan kondisi anak asuh Sir Alex Ferguson kala itu. Selain tersingkir dari kompetisi paling bergengsi di Eropa tersebut, Fergie beserta pemain dan stafnya menerima perlakuan tidak mengenakkan dari pendukung tuan rumah. Perlakuan tak enak tersebut sudah mereka rasakan semenjak pertama kali menginjakkan kaki di Istanbul. Sesaat setelah mendarat di Bandara Istanbul Ataturk, mereka melihat banyak pendukung Galatasaray menyoraki dan mengejek mereka. Pendukung Galatasaray juga membentangkan spanduk yang mengintimidasi tim United. Terdapat spanduk bertuliskan “RIP Manchester” dan “Selamat Datang di Neraka.” Selain itu, terdengar salah satu pendukung Galatasaray yang mengatakan bahwa itu akan menjadi 48 jam terakhir mereka untuk hidup. Saat itu, Setan Merah benar-benar tiba di neraka.

Bryan Robson dan kawan-kawan menginap di hotel yang terletak di Bosporus. Bosporus adalah tempat yang indah dengan pemandangan perairan dan jembatan megah. Namun, perlakuan yang mereka dapatkan di hotel tidak seindah pemandangan di wilayah selat pemisah Turki Eropa dan Turki Asia tersebut.

“Salah satu bellboy berdiri di dekat pintu dan aku tersenyum padanya. Dia mengusapkan jarinya ke lehernya (gestur pembunuhan) dan aku terus berjalan. Kemudian saya berpikir bahwa kami tidak aman di hotel ini,” ujar bek United kala itu, Gary Pallister, seperti dilansir Guardian.

Sesaat menjelang pertandingan dimulai, Ferguson memerintahkan pemainnya untuk melakukan pemanasan. Suasana di Ali Sami Yen Stadium benar-benar panas.

“Saya harus mengatakan bahwa di dalam stadion itu, suasananya luar biasa, luar biasa. Itu hanya ‘kata hinaan’ yang mengelilingi pertandingan dan hal tersebut membuatnya menjadi sangat tidak menyenangkan,” ujar Pallister.

“Ada begitu banyak suar dan begitu banyak asap, tampaknya seluruh stadion terbakar," Gary Neville menambahkan.

Peluit sepak mula dibunyikan dan laga berlangsung panas. Gelandang United saat itu, Roy Keane menjelaskan betapa tingginya tensi pertandingan. “Ada banyak pelanggaran, diving, membuang-buang waktu dan mendesak wasit. Mereka melakukan segala cara untuk menyingkirkan kami pada aturan gol tandang. Seisi neraka tumpah.”

Di akhir laga, penyerang United kala itu, Eric Cantona, kehilangan kesabarannya. Sesaat setelah pelanggaran yang dilakukan Denis Irwin terhadap Reinhard Stumpf, Cantona berseteru dengan para pemain Galatasaray. Cantona kesal karena Stumpf seolah mengulur-ulur waktu dengan berlama-lama berbaring di tanah. Tak sampai di situ, Cantona juga menghina wasit, Kurt Rothlisberger. Saat itu juga Rothlisberger melayangkan kartu merah terhadap Cantona dan dia pun diusir dari lapangan. Kemudian, peluit akhir pun dibunyikan.

Polisi melindungi pemain United dari keganasan pendukung Galatasaray saat mereka berjalan menuju ruang ganti. Namun, Cantona merasakan adanya pukulan yang dilayangkan kepadanya dari arah belakang. Kemudian, Robson membalas pukulan tersebut tetapi dihadang oleh perisai. Robson merasa bahwa ada seorang polisi yang memukul Cantona dari belakang.

Cantona pun kalap, dia mencari polisi yang berniat melukainya. Keane menjelaskan betapa marahnya Cantona saat itu. “Di ruang ganti, Eric menjadi gila. Sementara yang lainnya hanya ingin keluar dari sana, dia bertekad untuk kembali ke luar untuk mencari polisi nakal yang memegang pentungannya. Eric adalah seorang yang besar dan kuat. Dia serius, dia bersikeras akan membunuh keparat itu,” tuturnya seperti dilansir Joe.co.

Lebih lanjut dia juga menjelaskan bahwa butuh upaya lebih untuk meredam amarah Cantona. “Butuh upaya gabungan dari manajer, Brian Kidd, dan beberapa pemain untuk menahannya. Biasanya saya tidak akan mundur dari perkelahian, tapi bahkan saya tidak siap untuk yang satu ini. Ada banyak orang Turki di luar sana!”

Cantona buka suara atas kejadian itu pada segmen wawancara bersama Joe.co. Dalam segmen wawancara bernama Unfiltered tersebut, Cantona menyebut bahwa polisi yang memukulnya adalah orang lemah. Dia mengungkapkan bahwa dirinya sangat marah atas kejadian yang menimpanya.

“Jika itu orang lain selain polisi, mungkin reaksi saya akan berbeda. Tapi seorang polisi?! Dia menghilang, menghilang seperti orang lemah,” tuturnya. “Dia membunuh saya dari belakang, bukan membunuh saya, tapi dia memukul saya dari belakang dan menghilang. Saya yakin bahwa gambar dan video itu ada di suatu tempat, tetapi mereka kehilangan segalanya.”

Cantona memang terkenal dengan kontroversi dan keberingasannya. Dia pernah melayangkan tendangan kungfu kepada pendukung Crystal Palace. Namun kali itu, dia benar-benar merasa teraniaya. Peristiwa-peristiwa kelam dalam laga tersebut adalah sesuatu yang sangat membekas di ingatan, baik untuk Cantona, pemain lain, Fergie maupun seluruh pendukung United di seluruh dunia.

[ham/pik]

Komentar