Dampak Negatif Bentrokan Piala AFF dan Liga 1

Editorial

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Dampak Negatif Bentrokan Piala AFF dan Liga 1

Piala AFF 2018 sudah di depan mata. Ajang dua tahunan tersebut akan digelar pada 8 November hingga 15 Desember. Seperti pada 2016, gelaran Piala AFF kali ini pun berbarengan dengan berjalannya Liga Indonesia. Ketika Tim Nasional Indonesia berjuang di Piala AFF, kesebelasan-kesebelasan Liga 1 juga berjuang di liga domestik.

Jika pada 2016 agak bisa dimaklumi (walaupun sebenarnya tidak juga) karena kompetisi yang berjalan adalah Indonesia Soccer Championship yang bukan kompetisi resmi, sekarang timnas akan bentrok dengan kompetisi resmi divisi teratas Indonesia.

Sebenarnya pada awal tahun ini, COO PT Liga Indonesia Baru, Tigor Shalom Boboy, memang sudah menyatakan jika Liga 1 akan bertabrakan dengan Piala AFF. Namun dilihat dari sisi mana pun, situasi tersebut tidak lah elok karena memiliki banyak dampak negatif.

Pada 9 November, Indonesia sudah menjalani pertandingan pertama melawan Singapura. Di saat yang sama, ada tiga pertandingan Liga 1 digelar. Begitu juga pada 17 November ketika Indonesia bertandang ke Thailand. Di babak semifinal pun, jika Indonesia berhasil melangkah ke empat besar, ada pertandingan Liga 1 yang digelar. Dukungan untuk timnas dan klub bisa terpecah.

"Pembatasan Pemanggilan Pemain" Secara Tak Langsung

Yang paling kentara dari bentroknya liga dan agenda timnas adalah soal pemanggilan pemain. Sudah dapat dipastikan Indonesia tidak akan tampil dengan skuat terbaiknya pada Piala AFF 2018 nanti. Alasannya, timnas tidak bisa leluasa memanggil pemain yang diinginkan.

Pada Piala AFF 2018 ini memang tidak seperti dua tahun lalu ketika timnas dibatasi hanya boleh memanggil maksimal dua pemain dalam satu kesebelasan. Tapi jika dilihat dari komposisi pemain yang disiapkan Bima Sakti, pembatasan pemain tampaknya menjadi aturan tak tertulis. Hanya PS Barito Putera dan Bhayangkara FC yang menyumbang tiga pemain ke Timnas.

View this post on Instagram

Kalau dinilai dari angka 1-10 berapa skor skuat Timnas Indonesia ini dan kenapa?

A post shared by PanditFootball.com (@panditfootball) on

Sebagai contoh, Barito Putera sebenarnya punya pemain lain yang cukup layak bermain di timnas saat ini selain Hansamu Yama, Rizky Rizaldi Pora, dan Gavin Kwan Adsit. Nazar Nurzaidin, Paulo Sitanggang, dan Samsul Arif adalah pemain-pemain yang musim ini tampil cukup gemilang dan konsisten.

Paulo secara kualitas tak kalah baik dibanding Zulfiandi yang terpilih. Pun dengan Nazar yang lebih memiliki jam terbang musim ini dibanding Alfath Fathier. Samsul Arif yang sejak musim lalu selalu mencetak dua digit gol, musim ini torehan golnya (10) lebih baik daripada Irfan Jaya dan Dedik Setiawan serta sama jumlah golnya dengan Beto Goncalves.

Pihak klub sebenarnya tidak boleh melarang pemainnya ke Tim Nasional. Dalam Kode Disiplin PSSI, hal itu tertuang dalam Bagian Kesebelas Pasal 73.

Di situ tertulis, pemain yang menolak panggilan timnas akan dihukum denda 20 juta rupiah serta larangan bermain sekurang-kurangnya 6 bulan (walaupun bisa didiskon seperti Rezaldi Hehanusa yang hanya dihukum dua laga). Ofisial atau pengurus yang menghalangi pemainnya ke timnas pun terancam hukuman 12 bulan larangan beraktivitas di sepakbola Indonesia.

Tapi sekarang bayangkan jika Nazar, Samsul, dan Paulo juga dipanggil timnas. Barito pasti kerepotan menjalani pertandingan sisa Liga 1. Apalagi sekarang mereka sedang tidak menang dalam 8 laga terakhir. Kehilangan enam pemain kunci tentu melemahkan setengah kekuatan tim. Klub kemungkinan besar akan protes. Boleh jadi PSSI tidak melakukannya demi menghindari konflik dengan klub.

PSSI sendiri sudah menyiasati agar hal seperti di atas tak terjadi. PSSI sudah membuat tim sendiri yang skuatnya diisi oleh maksimal tiga pemain dari klub jauh sebelum Asian Games 2018. Skuat yang dibangun Luis Milla bersama para pemain kategori usia di bawah 23 tahun itu tinggal bongkar pasang satu-dua posisi dengan pemanggilan pemain baru atau pemain senior.

Joko Driyono, Wakil Ketua Umum PSSI, mengakui jika para pemain yang disiapkan untuk Piala AFF nanti adalah para pemain yang berlaga di Asian Games 2018. Dengan serangkaian pemusatan latihan yang membuat para pemain beberapa kali tidak bisa membela klub, PSSI sudah membiasakan setiap klub terbiasa tidak diperkuat dengan para pemainnya yang dipanggil timnas.

Walaupun begitu, di sini klub menjadi subjek penderita karena mereka tetap harus berlaga tanpa pemain terbaiknya di sejumlah pertandingan Liga 1. Barito Putera, lagi-lagi, jadi contoh yang terkena dampak negatif secara nyata. Hansamu Yama dan Gavin Kwan harus membela Timnas Indonesia di PSSI Anniversary Cup 2018, uji tanding pra Asian Games 2018, Asian Games 2018 (plus pemusatan latihan).

Barito Putera mencatatkan 9 laga tanpa Hansamu dan Gavin. Dari 9 laga tersebut, Barito hanya menang dua kali, sisanya dua imbang dan lima kalah. Barito Putera yang nyaris menjadi juara paruh musim kini tercecer hingga peringkat ke-10.

Baca juga: Peduli Amat dengan Piala AFF!

Tidak Ada Salahnya Memanggil Banyak Pemain dari Satu atau Dua Klub

Masalah seperti ini tak bisa dianggap sebelah mata sampai akhirnya terus terjadi. Di samping membela tim nasional menjadi kewajiban setiap pemain, kebijakan federasi juga sebaiknya jangan sampai merugikan klub yang menggaji sang pemain.

Dengan kondisi seperti ini juga akan ada situasi di mana timnas membutuhkan banyak pemain dari sebuah kesebelasan. Italia sering disebut ItalJuve karena banyaknya pemain Juventus yang menjadi pemain inti di Timnas Italia. Spanyol yang juara Piala Eropa 2012 dan Piala Dunia 2010 kental dengan pemain Barcelona dan Real Madrid. Ada enam pemain Bayern Muenchen yang membela Timnas Jerman di final 2014.

Sebenarnya tak perlu jauh-jauh, Thailand yang jadi juara Piala AFF 2016 pun dihuni oleh sembilan pemain Muangthong United. Sementara pada 2014 yang juga mereka juarai, ada enam pemain BEC Tero Sasana. Malaysia yang juara Piala AFF 2012 juga dikuasai oleh enam pemain Johor Darul Takzim FC.

Negara-negara di atas bisa leluasa memilih banyak pemain di satu kesebelasan karena pemanggilan pemain dipastikan tidak merugikan tim. Penjadwalan kompetisi yang mengikuti kalender FIFA hingga AFC dan AFF pun akhirnya membuat timnas negara-negara di atas selalu bisa tampil dengan kekuatan terbaiknya.

Memang tidak semua negara juara didominasi oleh pemain dari sebuah kesebelasan, contohnya Perancis pada Piala Dunia 2018 atau Brasil pada Piala Dunia 2002. Tapi tentu bukan kebetulan negara-negara di atas, yang dihuni banyak pemain dari satu kesebelasan, bisa jadi juara. Paling sederhana, banyaknya pemain dari sebuah kesebelasan bisa membuat kekompakan tim lebih mudah terjalin karena beberapa pemain sudah terbiasa bermain bersama.

Selain kekompakan, mental juara juga bisa dibangun lewat sejumlah pemain dari kesebelasan tertentu. Pada Piala AFF 2010 yang antiklimaks, skuat Indonesia mayoritas dihuni oleh pemain-pemain dari Sriwijaya FC, Arema, Persib, dan Persija. Timnas Indonesia asuhan Alfred Riedl itu rasanya sampai saat ini menjadi timnas dengan skuat terbaik. Pada akhirnya gagal juara pun karena adanya faktor non-teknis, yang sampai membuat Riedl marah besar jelang final leg pertama.

Saat itu ada enam pemain Sriwijaya dan lima pemain Arema. Dua kesebelasan tersebut merupakan dua kesebelasan juara saat itu: Sriwijaya juara Piala Indonesia sementara Arema juara Liga Super Indonesia. Maka tak heran Indonesia tampil luar biasa di Piala AFF 2010 dengan catatan 13 gol dan kebobolan dua kali sebelum laga final karena dihuni para pemain bermental juara.

Dengan keadaan sekarang, mustahil skuat Timnas Indonesia dihuni oleh para pemain terbaik di setiap lini. Berjalannya liga saat timnas bertarung di Piala AFF membuat timnas pun secara tersirat agak mengalah dalam pemilihan pemain.

Pada akhirnya nama-nama seperti Irfan Bachdim, Paulo Sitanggang, Esteban Vizcarra, Sandi Sute, Novri Setiawan, Andik Rama, Victor Igbonefo, Ardi Idrus, dan masih banyak lagi, terkorbankan. Jika mereka juga bermain di Piala AFF, kecurigaan akan pelemahan kesebelasan tertentu pun akan menyeruak, khususnya pemain dari kesebelasan yang berada di papan atas klasemen.

Akar Masalah pada Penjadwalan

Skuat Indonesia saat ini dihuni banyak pemain muda potensial yang bisa jadi andalan di masa depan, jadi hal positif memang. Tapi bagaimanapun, situasi seperti sekarang ini patut dihindari olehPSSI dan pengelola liga di masa yang akan datang. Hal seperti ini bisa diakali dengan penjadwalan yang baik dan benar. Toh, di liga-liga lain pun agenda timnas jarang merugikan klub.

Tanggal selesainya liga-liga domestik negara-negara AFF (Oleh: Mayda Ersa Pratama)

Pada Piala AFF 2018 ini misalnya, seperti yang ditunjukkan pada gambar di atas, hanya Indonesia yang liga domestik tertingginya masih berjalan berbarengan dengan Piala AFF.

Sebenarnya Liga Australia (A-League) juga berjalan bersamaan dengan Piala AFF. Namun itu tak menjadi masalah bagi mereka karena Australia belum kunjung mau bermain di Piala AFF meski sudah menjadi anggota AFC sejak 2006 dan kemudian bergabung dengan AFF pada 2013.

Pada akhirnya perencanaan jadwal agenda tim nasional dan liga wajib selaras dengan agenda FIFA, AFC, AFF, bahkan sampai acara olahraga seperti Asian Games (yang mana liga domestik diliburkan waktu Asian Games 2018), sehingga tidak perlu merugikan klub. Agenda pemusatan latihan bersamaan liga berjalan jangan dijadikan kebiasaan karena selain merugikan klub, toh, hasilnya Indonesia masih gagal juara juga.

Jika timnas tidak tampil dengan skuat terbaiknya, hantu kegagalan tentu akan akrab menggentayangi. Hal itu dipastikan merupakan buntut dari kegagalan PSSI dan pengelola liga membuat jadwal yang "benar", sehingga melahirkan bentrokan antara kepentingan klub dan timnas.

Seperti yang sudah dicurigai di awal tahun ini, bentroknya jadwal Piala AFF dan Liga 1 kali ini tak lepas dari molornya kick-off Liga 1. Sementara itu molornya sepak mula Liga 1 juga memiliki banyak alasan, mulai dari utang-utang yang belum terbayar kepada banyak kesebelasan, sampai deal-deal-an yang berbelit-belit soal hak siar.

Ini baru urusan jadwal, belum soal manajemen, kepemilikan kesebelasan, kepengurusan PSSI, rangkap jabatan, penunggakan gaji, regulasi, suporter, dan segudang masalah lainnya. Urusan jadwal yang seolah sepele ini ternyata bisa berdampak panjang. Ini semua bukan barang baru untuk Indonesia. Gak kaget juga, kan?

Komentar