Gelandang Bertahan Terbaik Terakhir Arsenal

Backpass

by Dex Glenniza

Dex Glenniza

Your personal football analyst. Contributor at Pandit Football Indonesia, head of content at Box2Box Football, podcaster at Footballieur, writer at Tirto.ID, MSc sport science, BSc architecture, licensed football coach... Who cares anyway! @dexglenniza

Gelandang Bertahan Terbaik Terakhir Arsenal

Menjalani musim tak terkalahkan pada 2003/04, Arsenal memiliki segudang pemain kunci. The Gunners memiliki lini tengah terbaik dengan kombinasi keanggunan, kekuatan, dan kreativitas dalam diri Robert Pirès, Freddie Ljungberg, dan Patrick Vieira. Mereka memiliki lini serang yang apik dalam diri Thierry Henry dan Dennis Bergkamp. Lini belakang mereka juga kuat berkat kawalan Jens Lehmann, Sol Campbell, Kolo Touré, serta dua full-back: Lauren dan Ashley Cole.

Namun itu belum semua. Ada satu pemain yang "paling tak kelihatan", yang melindungi para bek. Ia adalah Gilberto Silva, yang dijuluki Invisible Invincible, alias "Si Tak Terkalahkan yang Tak Kelihatan".

Saat bermain, ia lebih pasif dibandingkan kebanyakan pemain outfield Arsenal. Alih-alih melakukan tekel, ia cenderung membayangi, sehingga bisa memaksa lawan mengoper atau menggiring bola kembali ke belakang. Akibatnya, ia memiliki catatan yang luar biasa bersihnya untuk seorang gelandang bertahan.

Menurut ProZone (analis data sepakbola) yang dikutip The Sunday Times pada Januari 2007, Gilberto, bersama dengan Paul Scholes (Manchester United) dan Frank Lampard (Chelsea), dianggap sebagai gelandang Liga Primer Inggris yang mencapai performa "the elite Champions League level".

Sebelum menjadi pemain kunci di Arsenal dan Tim Nasional Brasil, Gilberto Silva memiliki kisah hidup yang berat tapi inspiratif. Ia lahir pada 7 Oktober 1976 di Lagoa da Prata, Minas Gerais, Brasil, dengan nama lengkap Gilberto Aparecido da Silva. Sama seperti anak-anak Brasil lainnya, mimpinya adalah menjadi pesepakbola sukses.

Kehidupan Masa Kecil yang Berat

"Ada banyak orang sepertiku yang memiliki pendidikan yang sama," kata Gilberto, dikutip dari Goal. "Aku tumbuh di desa yang sangat kecil dan aku merasa tak akan pernah memiliki kesempatan di klub sepakbola, trial, atau apa pun. Ketika aku mendapat kesempatan, aku ingin melakukan yang terbaik."

Baca juga: Holding Midfielder Lebih Kompleks dari Gelandang Bertahan

Kesebelasan pertama Gilberto adalah América Mineiro. Di awal kariernya sebagai pemain muda, ia bermain sebagai bek tengah. Selagi tak bermain sepakbola, ia biasa membantu ayahnya yang bekerja sebagai pembuat furnitur.

Ayahnya kemudian pensiun pada 1991, yang membuat Gilberto menjadi tulang punggung untuk membiayai keluarga dengan tiga saudara perempuan dan seorang ibu yang sakit keras. Padahal saat itu Gilberto masih berusia 15 tahun.

Saat itu ibunya semakin sakit keras. Ditambah gaji di América Mineiro yang sangat rendah, membuat Gilberto memutuskan berhenti dari sepakbola dan beralih profesi menjadi pekerja pabrik. "Awalnya aku frustrasi, lalu aku kembali bekerja lagi untuk membantu keluargaku," katanya. Saat itu ia berpikir mimpinya menjadi pesepakbola sudah pupus.

Selama tiga tahun ia bekerja di banyak tempat sambil menemani ibunya yang sakit. "Aku bekerja di sebuah perusahaan konstruksi. Lalu aku bekerja di perkebunan kopi. Aku juga bekerja sebagai tukang melapis perabot dan bekerja di pabrik untuk membantu keluargaku. Aku selalu memahami tanggung jawabku setiap saat dan itu adalah pelajaran hebat yang aku simpan bersamaku sepanjang hidup."

Usahanya tidak sia-sia karena ibunya berhasil pulih. "Aku percaya kepada Tuhan. Aku adalah seorang Katolik dan aku pikir ketika kamu membuat pengorbanan dalam hidupmu, kamu akan mendapatkan balasannya di masa depan, dan itu terjadi kepadaku," kata Gilberto, dikutip dari Think Faith.

Kembali ke Sepakbola dan Menjadi Invisible Invincible

Pada 1997 akhirnya Gilberto kembali ke sepakbola. Ia kembali ke América Mineiro, membawa kesebelasannya menjuarai Série B Brasil untuk promosi ke Série A. Saat ia berusia 24 tahun pada 2000, América Mineiro kembali terdegradasi dan ia pindah ke kesebelasan rival, Atlético Mineiro.

Di Atlético Mineiro ia diperkenalkan kepada posisi barunya sebagai gelandang bertahan, yang dinilai membuatnya bisa menjadi pesepakbola yang lebih baik. Carlos Alberto Parreira adalah manajer yang membuatnya menjadi salah satu gelandang bertahan terbaik dunia. Gilberto kemudian menjadi pemain kunci saat Brasil menjadi juara Piala Dunia 2002.

Setelah menjadi juara dunia, Gilberto pindah ke Arsenal. "Ketika aku pindah ke Arsenal, aku harus memulainya lagi dari nol dengan hidup dan karier sepakbolaku. Ketika aku memulainya dari sana, aku pikir itu adalah kesempatan untuk belajar. Untukku, Arsenal adalah sekolah yang besar," katanya, dikutip dari Daily Mail.

Arsène Wenger sangat menyukai Gilberto yang saat itu berusia 25 tahun. "Yang aku suka adalah ia bermain sederhana. Ia bisa bermain di semua area tengah tapi peran holding [midfielder] di depan pertahanan adalah yang terbaik," kata Wenger, dikutip dari ESPN.

Pada musim invincible, Gilberto menjadi pemain tengah dengan jumlah pertandingan terbanyak kedua setelah Pirès. Ia bermain dalam 29 pertandingan. Sementara pemain yang tampil paling banyak musim itu di Liga Primer Inggris adalah Jens Lehmann yang selalu bermain sepanjang 38 pertandingan.

Baca juga: Musim yang Abadi untuk Arsenal

Bukan hanya terkenal sebagai pesepakbola, Gilberto juga senang bermain musik. Di waktu luangnya, ia memainkan mandolin dan gitar. Ia bahkan sering tampil di pub di daerah St. Albans, tempat tinggalnya ketika di Inggris.

Menjadi yang Terbaik di Luar Sepakbola

Gilberto adalah penyokong dana The Street League, badan amal Inggris yang menyelenggarakan pertandingan sepakbola untuk para tunawisma, pengungsi, dan pencari suaka. Pada Juni 2003, ia melakukan perjalanan ke Brasil dalam tur bersama 17 pemain Liga Jalanan. Tur ini termasuk kunjungan ke kota asalnya, Lagoa da Prata, dan pertandingan melawan tim kota kumuh lokal di Stadion Maracanã.

"Siapa pun mereka, pesepakbola muda, tua, pesepakbola besar; semua orang adalah manusia. Ada sisi kemanusiaan di balik setiap pesepakbola," kata Gilberto, dikutip dari Goal.

"Aku percaya apa yang aku lakukan sebelum sepakbola penting bagiku. Sangat mudah tersesat ketika kamu sudah mencapai cita-cita dalam sepakbola. Aku tidak pernah kehilangan alur karena aku mengerti betapa sulitnya kehidupan di luar sepakbola."

"Untuk seseorang yang ingin sukses dalam sepakbola, dia harus memahami bahwa kehidupan pesepakbola tidak semudah itu jika ingin mencapai hal-hal hebat. Kamu harus bekerja keras alih-alih mengeluh sepanjang waktu. Untuk bekerja keras, bertanggung jawab, dan mentransfernya ke sepakbola. Bagiku, itu namanya bekerja dengan sangat baik."

Di sepakbola, Gilberto menjadi yang terbaik meski permainannya tak terlalu kelihatan. Sampai saat ini bahkan Arsenal dianggap masih belum memiliki sosok gelandang bertahan terbaik lagi selepas kepergian Gilberto Silva pada 2008. Namun ternyata Gilberto juga bisa menjadi yang terbaik di luar sepakbola.

Komentar