Mengenang Mr. Runner-up

Backpass

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Mengenang Mr. Runner-up

Michael Ballack adalah legenda Timnas Jerman. Ia pernah dijuluki Little Kaiser, merujuk kehebatannya yang diprediksi bisa menyamai bahkan melampaui Der Kaiser yakni Franz Beckenbauer. Ia melakukannya dengan menjadi salah satu gelandang hebat dunia hingga awal 2000an. Akan tetapi, ia punya kenangan buruk sebagai pemain: kerap hanya nyaris juara.

Ballack menjalani karier sepakbola selama 17 musim. Pemain kelahiran 26 September 1976 ini bukannya tanpa gelar. Namun pada momen tertentu, ia seperti kehilangan daya magisnya. Di Timnas Jerman, Chelsea, Bayern Muenchen dan Bayer Leverkuen, ia kerap kalah pada partai genting. Beberapa terjadi di laga final. Julukan "Mr. Runner-up" melekat padanya.

Awalnya, kegagalan menjuarai Bundesliga pada 1999/00 hanya dianggap sebagai kesialan semata bagi Ballack. Di laga terakhir, Leverkusen hanya butuh hasil imbang melawan SpVgg Unterhaching. Nyatanya, Bayer kalah 0-2. Ballack mencetak gol bunuh diri. Di saat bersamaan, Bayern Muenchen menumbangkan Werder Bremen (3-1). Bayern dan Bayer sama-sama meraih poin 74 di akhir kompetisi. Namun Bayern lebih unggul selisih gol (45 berbanding 38).

Ternyata itu menjadi awal terbukanya pintu "Mr. Runner-up" dalam diri Ballack. Pada musim 2001/02, pemain kelahiran Gorlitz ini bahkan dua kali mengalami kenyarisan mengangkat piala. Di Bundesliga musim tersebut, tiga laga terakhir berujung kekalahan membuat Leverkusen turun ke posisi dua dan peringkat pertama direbut Borussia Dortmund. Menyangka trofi Liga Champions dan DFB Pokal akan menjadi pelipur lara, Bayer justru kalah 1-2 oleh Real Madrid dan 2-4 dari Schalke 04. Artinya, dalam dua tahun, ia sudah empat kali hanya sebatas nyaris jadi juara.

Kegagalan Bayer Leverkusen pada musim 2001/02 itu menjadi momen paling dikenang sepakbola Jerman. Leverkusen diolok-olok menjadi Bayer Neverkusen. Bayer juga dijuluki Vizekusen (dalam bahasa Jerman, juara kedua disebut Vizemeister).

Ballack yang merupakan salah satu gelandang terbaik dunia saat itu pun jadi sorotan. Apalagi di Timnas Jerman pun nyatanya ia kembali sebatas nyaris. Mampu membawa Jerman hingga melenggang ke partai final, Jerman takluk 0-2 dari Brasil. Sebenarnya Ballack tidak bermain pada laga final karena akumulasi kartu kuning. Tapi dengan kegagalannya di Leverkusen, ia pun mulai seperti dikutuk.

Kutukan terhadap Ballack seolah makin menjadi-jadi karena ia kerap menggunakan nomor punggung 13. Angka 13 secara global memang dikenal sebagai angka sial. Ballack tentu tak percaya hal semacam itu dan ia pun tetap menggunakan nomor punggung 13. Toh, Alessandro Nesta yang juga identik dengan nomor punggung 13 tetap meraih kesuksesan dengan menjuarai Piala Dunia pada 2006.

Berpindah kesebelasan menjadi solusi Ballack mengubah nasib. Usai Piala Dunia 2002, ia bergabung ke Bayern Muenchen. Terbukti, bersama Bayern, ia meraih double winners kompetisi domestik tiga musim berturut-turut sejak musim perdananya.

Pindah dari Bayern, hantu Vizekusen kembali merasuki Ballack. Chelsea, yang dibelanya usai Piala 2006, meraih treble runner-up bersamanya. Pada musim 2007/08, Chelsea kalah di final Piala Liga, final Liga Champions, dan terpaut dua poin dari Manchester United yang menjuarai Liga Primer. Kekalahan dari Manchester United di final saat itu menjadi pertandingan yang paling disesalinya selama membela Chelsea.

"Melihat masa itu [di Chelsea], itu adalah masa kesuksesan dan masa bahagia buatku," tutur Ballack kepada 11Freunde. "London kota yang brilian. Aku diterima oleh rekan setimku meski aku harus berlatih keras pada awalnya. Kekalahan di final Liga Champions menjadi satu-satunya momen buruk di samping kenangan yang indah."

Kebetulan atau tidak, Timnas Jerman yang berlaga di Piala Eropa 2008 pun tersungkur di final. Ballack yang menjadi kapten pada laga melawan Spanyol tersebut harus tertunduk lesu, untuk kesekian kalinya, di akhir laga karena kalah akibat gol tunggal Fernando Torres. Bagi Timnas Jerman, itu melengkapi kegagalan pada Piala Dunia 2006, saat mereka menempati posisi tiga di rumah sendiri.

Bukan kebetulan juga jika Timnas Jerman baru meraih gelar juara Piala Dunia pada 2014, empat tahun setelah Ballack pensiun. Ballack bahkan seolah dipaksa pensiun ketika itu. Pelatih Jerman, Joachim Loew, tidak membawanya ke Piala Dunia 2010 karena cedera. Setelah itu, Loew menawarkan dua laga uji tanding untuk Ballack agar ia bisa menggenapi caps ke-100 di Timnas Jerman sebelum ia pensiun. Ballack yang ketika itu kembali ke Bayer Leverkusen menolak dan meresponsnya dengan pensiun dari Timnas karena merasa tak lagi dihargai oleh Loew. Pensiunnya itu membukakan jalan bagi gelandang-gelandang seperti Sami Khedira, Bastian Schweinsteiger, Mesut Ozil, hingga Thomas Mueller yang kemudian menjadi bagian dari skuat Jerman juara Piala Dunia.

Ballack pensiun dari sepakbola pada 2012. Meski banyak kesempatan juara yang ia lewatkan, 12 trofi telah ia raih. Trofi Bundesliga dan Liga Primer menjadi trofi paling bergengsi yang pernah diangkatnya. Tak sekali pun ia membawa Timnas Jerman juara. Baginya, hal itu tak masalah karena ia merasa telah memberikan yang terbaik dan telah menunjukkan kehebatannya sebagai salah satu gelandang terbaik dunia, terbaik di Jerman.

"Menilai seseorang dari gelar juara terlalu berlebihan. Tentu Lothar Matthaus akan selalu dikenang dengan pencapaiannya pada Piala Dunia 1990, tapi apakah orang-orang bisa mengingat gelar juara apa yang diraih pemain hebat seperti Guenter Netzer, Johan Cruyff, atau Luis Figo? Atau bagaimana cara mereka bermain sepakbola dan cara mereka memimpin tim mereka masing-masing? Aku harap orang-orang pun akan mengingatku sebagai pesepakbola spesial," tutur Ballack setelah pensiun.

Benar. Ballack bisa dikenang sebagai salah satu pesepakbola terbaik dunia dari Jerman. Tapi apa boleh buat, penghormatan didapatkan tidak dengan diminta. Juga, sekadar nyaris saja tidak pernah cukup. Bukan salah orang-orang juga jika Ballack pada akhirnya lebih dikenal sebagai Mr. Runner-up.

Komentar