Ragip dan Granit Xhaka di Usia 22

Backpass

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Ragip dan Granit Xhaka di Usia 22

“Benar, ayahku dipenjara selama tiga setengah tahun dan penyebabnya adalah dia memperjuangkan hal yang dia yakini,” ujar Granit Xhaka kepada Blick pada 2014. “Itu bukan subjek tabu di keluarga kami. Kami berbicara tentang itu. Biar bagaimana, aku ingin tahu apa yang terjadi.”

Hanya itu yang Xhaka ceritakan kepada publik. Tidak kurang, tidak lebih. Bahasan yang sama baru kembali keluar dari mulut Xhaka ketika David Hytner, jurnalis Guardian, mewawancarainya pada November 2017.

“Sejauh yang aku tahu, beberapa bulan pertama [dalam penjara] baik-baik saja. Namun kemudian pemukulan mulai terjadi,” ujar Xhaka.

“Sebagai putranya, cerita ini sangat menyentuhku—cerita ini benar-benar ada dalam hatiku. Untuk mendeskripsikan ayahku dengan layak, kamu harus menghargai kedalaman penuh ceritanya. Sangat tragis. Aku kadang meminta kepadanya: ‘Ceritakan lagi kepadaku,’ tapi aku masih berpikir dia belum mengungkap semuanya. Selalu ada momen hening yang membuatku merasa dia menelan sesuatu dan tidak mengungkap hal sebenarnya. Mungkin karena terlalu berat dan dia ingin anak-anaknya tak ikut merasakan kesedihan.”

Ragip Xhaka menjadi tahanan politik karena ambil bagian dalam demonstrasi menentang pemerintah komunis pusat di Beograd. Saat itu usianya baru 22 tahun dan masih berstatus mahasiswa di Pristina, ibu kota Kosovo.

“Dia orang Kosovo yang bangga dan dia merasa orang-orang Kosovo punya hak untuk diakui keberadaannya,” ujar Xhaka kepada Hytner. “Dia memperjuangkan hak-hak mereka, hak-hak demokratis dasar, kebutuhan dasar seperti dibolehkan memilih. Bukan hanya dia. Ada orang lain yang ditangkap, termasuk pamannya, yang pernah dipenjara beberapa tahun sebelumnya. Dia dijatuhi hukuman 15 tahun. Alasannya politis saja. Ayahku bertanya: ‘Kenapa kita di sini bukan demokrat? Kita berhak menjadi demokrat. Kita berhak didengar.’”

Delapan hari berselang laman web Arsenal memuat wawancara serupa.

“Kekuatan mental berasal dari didikan,” ujar Xhaka kepada Arsenal Player. “Soal latar belakang dan keluarga, aku tak pernah seterbuka di wawancara terbaru. Itu masa sulit untuk orang tuaku. Aku belum lahir. Aku rasa kekuatan mental berasal dari rumah.

“Aku sering bertanya kepada ayahku tentang itu. Orang-orang mungkin pada awalnya tidak ingin [menanyakan hal semacam itu] tetapi aku mulai mempertanyakan hal ini ketika usiaku sekitar 18 tahun dan mampu menyadari sendiri apa yang terjadi. Aku sering bertanya kepadanya tapi aku rasa cerita lengkap, cerita sebenarnya, cerita tentang hal-hal yang sebenarnya terjadi, adalah cerita yang mungkin tidak akan pernah dia ceritakan kepadaku.”

Pada 1990 Ragip dibebaskan. Begitu saja dan tanpa penjelasan. Bersama istrinya, Eli, dan dengan bantuan Amnesty International, Ragip mengungsi ke Swiss pada musim panas tahun yang sama. Pada 1991 putra pertama mereka, Taulant, lahir di Basel. Granit Xhaka menyusul 18 bulan kemudian, pada 27 September 1992.

“Ayahku menunjukkan kekuatan yang luar biasa dan Taulant dan aku tumbuh dengan kekuatan mentalnya,” ujar Xhaka kepada Guardian. “Kami punya idola, kami punya teladan yang mengajarkan bahwa kami harus kuat untuk meraih banyak hal. Jadi kami tumbuh dengan sangat kuat. Karena itulah di lapangan, kami punya kekuatan mental untuk mengatasi banyak hal dan bersaing.”

Begitu kuat dan nyata terlihat hasil didikan keluarga dalam diri Xhaka sehingga ketika Andre Schubert membutuhkan seorang pemimpin untuk timnya, Borussia Monchengladbach, dia memilih Xhaka. Bukan tugas mudah memimpin sekumpulan pemain yang sedang terpuruk karena lima kali kalah beruntun di lima pertandingan pembuka. Pemain-pemain yang lebih berpengalaman bukannya tidak ada, tapi Schubert mantap memilih Xhaka. Usianya saat itu baru 22 tahun, seusia Ragip ketika ditangkap dan ditahan.

“Ada dua atau tiga pemain lain yang bisa menggantikan [Tony] Jantschke,” kata Schubert, dikutip dari Guardian. “Namun aku memilih Granit karena dia pemain penting bagi kami, pemain yang punya banyak kualitas baik. Dia juga seseorang yang harus belajar mengemban tanggung jawab.”

Perjudian besar yang membuahkan hasil. Beban tanggung jawab membuat Xhaka tumbuh. Perlahan tapi pasti Xhaka menguasai peran kapten dan Monchengladbach diuntungkan karenanya. Satu posisi demi satu posisi Monchengladbach merangkak naik dari dasar klasemen. Di akhir musim, mereka menempati posisi empat.

Komentar