Eternal Derby: Rivalitas Terpanas di Eropa Timur

Cerita

by redaksi

Eternal Derby: Rivalitas Terpanas di Eropa Timur

Ada sebuah pepatah Serbia yang mengatakan bahwa musuh terbesar adalah orang terdekat. Di sepakbola Serbia, permusuhan orang terdekat itu memanas di kota Belgrade, ibu kota negara Serbia, lewat sebuah rivalitas sengit antara dua klub: Red Star Belgrade dan Partizan Belgrade. Eternal Derby.

Bangsa Serbia berkali-kali sejarahnya digencet dan diinjak oleh negara-negara tetangganya yang tiranik seperti Prusia, Rusia, Turki, Austria, dan Nazi Jerman. Bagi bangsa Serbia pemberontakan terhadap tiran-tiran selama berabad-abad lamanya dijadikan sebagai semacam olahraga rakyat, volksport. Seperti apa yang Winston Churchill katakan. “Keberanian memberontak adalah sifat dan watak pembawaan dari bangsa Serbia.”

Berbicara tentang rivalitas Red Star dan Partizan maka kita harus merunut jauh ke masa lampau. Tepatnya pada Perang Dunia ke II, saat Adolf Hitler memecah etnis bangsa itu menjadi dua kelompok yang berbeda: Partisan dan Chetnik.

Pada 6 April 1941, Jerman menginvasi Yugoslavia. Dalam beberapa hari kemudian ibu kota Belgrade jatuh ke tangan Nazi. Raja Peter lari ke Inggris bersama para menterinya. Alhasil Yugoslavia tak lagi punya pemerintahan dan tentara di wilayahnya sendiri.

Di saat itu munculah nama Draza Mihailovich—mantan Menteri Pertahanan yang angkat senjata pertama kali melawan pendudukan Jerman. Para pengikutnya dinamakan Chetnik.

Kebanyakan pemberontak Chetnik berasal dari kaum aristokrat dan borjuis yang mempunyai hubungan keluarga dan finansial pada para elite yang tertawan di Kota Belgrade. Nyatanya ini yang jadi titik lemah mereka, mudah bagi Nazi Jerman menaklukan mereka. Ancaman Nazi untuk membunuh seluruh penduduk Kota Belgrade membuat kelompok pemberontak ini luluh tak berdaya.

Di saat yang bersamaan nama Josiv Broz Tito muncul ke muka. Pengikutnya yang melancarkan perang gerilya terhadap Nazi menamakan dirinya kaum Partisan. Kaum ini mempunyai struktur sosial yang berbeda dengan kaum Chetnik. Mereka hanya rakyat jelata, petani, buruh kecil yang tak memiliki keterikatan dengan kehidupan di kota.

Mereka tak gentar dan tak peduli ancaman Jerman yang akan melakukan pembalasan terhadap penduduk Kota Belgrade. Sebagai kaum kiri yang miskin, mereka tak peduli atas elite dan hartawan di Belgrade. Bahkan mereka menganggap kaum borjuis sebagai lawan yang mesti dihapus dalam tatanan sosial.

Di saat kaum Chetnik semakin melunak pada Nazi Jerman, Partisan malah sebaliknya, simpatisannya pun semakin bertambah dari hari ke hari. Kedua kelompok ini saling berseteru setelah kaum Chetnik membelot kepada Nazi.

Lantas saat kemenangan berpihak pada sekutu dan tentara Nazi tunggang langgang lari dari tanah Yugoslavia, kekuasaan mutlak berada di kaum Partisan. Josep Broz Tito didapuk sebagai pemimpin negara Yugoslavia baru yang berdaulat.

Faktor Kebencian yang Jadi Pembentuk Klub

Saat komunis berkuasa maka tamatlah sudah sisa-sisa kekuatan monarki di Yugoslavia. Tito membabat habis apapun itu, dalam hal sepakbola Tito membubarkan SK Jugoslavija—klub bangsawan Belgrade. Segala kepemilikan klub—gedung olahraga, stadion dan kantor klub— disita oleh negara.

Tapi Tito sadar betul saat dia menekan lewat sepakbola maka resistansi akan didapat rezimnya. Terlebih diapun butuh bantuan aristokrat dan borjuis Belgrade untuk membangun pondasi negara yang masih porak poranda.

Untuk mencitra dan merebut kalangan atas, pada 4 Maret 1945 secara resmi Tito mendirikan klub Red Star Belgrade. Klub ini sejatinya adalah klub milik monarki SK Jugoslavija yang dikomuniskan oleh Tito. Segala hal: warna klub, pengurus, dan stadion diadaptasi dari klub SK Jugoslavija.

Baca juga: Peranan Red Star dalam Perang Balkan

Sikap Tito ini tentu saja membuat kaum partisan iri. Apa yang dilakukan Tito adalah sebuah tindakan ingkar karena sebelumnya ia berjanji untuk menghapus kaum borjuis dari tatanan sosial.

Sebagai bentuk perlawanan di dunia sepakbola beberapa bulan setelah Red Star Belgrade berdiri, 4 Oktober 1945 kaum partisan mendirikan sebuah klub bernama Partizan Belgrade. Klub ini didirikan oleh kalangan militer yang kesal terhadap kepada Tito.

Di awal pendiriannya Partizan tak memiliki stadion untuk bernaung. Sebagai klub tentara yang punya kuasa dengan seenaknya mereka mengakuisisi stadion milik BSK Belgrade. Sebelum perang dunia II BSK Belgrade adalah klub borjuis ibukota lain yang jadi rival sengit dari SK Jugosjavija. Oleh militer BSK Belgrade diusir ke pinggiran kota.

Sebuah hal unik mengingat jarak antara stadion Marakana milik Red Star dan Partizan Stadium milik Partizan hanya berjarak 900 meter. Pihak tentara memang sengaja melakukan konfontasi jarak dekat dengan harapan dapat melakukan psywar terhadap Red Star.

Letak dua stadion yang berada di tengah kota diharapkan mampu merebut simpati masyarakat kota untuk membelot dari Red Star beralih pada Partizan. Dari dua pembentukan klub di atas kita bisa mendapat kesimpulan. Pondasi pembentuk kedua klub ini adalah kebencian. Jika Partizan lahir karena kebencian, maka Red Star dilahirkan Tito untuk meredam kebencian.

Rivalitas Komunis versus Fasis

Franklin Foer dalam buku How Soccer Explains the World menjelaskan Red Star dijadikan oleh kaum Chetnik sebagai benteng nasionalisme terakhir etnis serbia. Sedangkan Partisan hadir untuk memumpus angan-angan itu.

Yugoslavia adalah surga tumbuh suburnya gerakan etno-nasionalisme. Masing-masing etnik atau bangsa merasa lebih aman jika mereka dikumpulkan dalam sebuah negara berdasarkan etnisitas masing-masing. Hal ini tentu bertentangan dengan keinginan Tito yang menyatukan perbedaan itu Lewat sebuah Republik Federal Sosialis Yugoslavia.

Jika di Spanyol Diktator Franco membebaskan separatisme Katalan lewat ruang mencaci rezim di stadion. Untuk meredam separatisme etnis Serbia, Tito melakukannya dengan membentuk persaingan antara Red Star dan Partizan. Dia biarkan perseteruan itu panas dengan sendirinya.

Kaum Chetnik adalah representasi dari nasionalisme Serbia. Selalu muncul idiom kebanggaan berlebihan dalam diri mereka hingga merendahkan etnis-etnis lain di wilayah Balkan. Ideologi mereka cenderung ke arah fasis.

Hal ini bertolak belakang dengan kaum partisan yang komunis. Ideologi tentara komunis yang diusung menolak tegas ideologi separatis kaum nasionalis Serbia yang jadi penghambat solidaritas buruh dan kerukunan etnis.

Kefasisan Red Star membuat basis pendukung Red Star Belgrade hanya mencakup etnis Serbia saja. Lain hal dengan Partizan yang di mana memiliki basis massa fans cukup banyak di negara Montenegro dan Bosnia Herzegovina yang didominasi oleh orang Islam.

Baca juga: Menyaksikan Secara Langsung Panasnya Eternal Derby Serbia

Kebangkitan Red Star Menjadi Raksasa

Pada dekade awal pemerintahan Tito, Kaum Chetnik ditekan habis-habisan. Para tentara membunuh, menangkap dan memenjarakan mereka. Dalam segi sepakbola hal itupun terjadi demikian. Dalam liga, Red Star selalu kalah bersaing dengan klub-klub komunis lain macam Partizan, Hajduk Split, atau Dinamo Zagreb.

Jonathan Wilson, dalam buku Behind the Curtain: Football in Eastern Europe, menjelaskan bahwa pembentukan klub-klub sepakbola di Eropa Timur memiliki patronase yang sama. Selalu ada keterikatan dengan instansi-instansi pemerintahan.

Jika Partizan selalu identik didukung oleh militer, maka pada dekade 50-an Red Star mulai didukung oleh instansi kementerian dalam negeri dan kepolisian, yang di mana dua instansi itu disusupi pendukung kaum Chetnik. Sepanjang sejarah, polisi selalu memangku posisi utama di dewan pengurusnya.

Dukungan politik menjadikan Red Star sebuah kekuatan terbesar sepakbola Yugoslavia. Sebelum negara itu mengalami disintegrasi terpecah menjadi banyak negara, Red Star menjuarai Liga Yugoslavia sebanyak 25 kali, timpang dengan Partizan yang hanya mampu 11 kali.

Slobodan Milosevic Menjadikan Rival

Kematian Joseph Broz Tito dibarengi dengan kematian Negara Republik Federasi Sosialis Yugoslavia. Ini adalah konflik tak berujung. Penyebabnya tak lain dari seseorang bernama Slobodan Milosevic.

Kali pertama sejak Perang Dunia II bahwa seorang pejabat Partai Komunis secara terbuka memihak suatu kelompok etnis tertentu. Orang itu tak lain adalah Slobodan Milosevic. Lelaki ini begitu membanggakan dan dibangga-banggakan oleh etnis Serbia.

Adam Lebor dalam buku Biografi Slobodan Milosevic mengatakan bahwa Slobodan sadar bahwa pasca runtuhnya komunisme Red Star seolah teralienisasi dari peradaban masyarakat. Stadion Marakana seolah kandang bagi genster-gengster yang tak jemu bertikai.

Bagi kebanyakan negara kekerasan dalam sepakbola adalah masalah, tapi bagi Milosevic itu adalah solusi.Perjanjiannya simpel. Lewat sosok Arkan, Milosevic menegosiasikan faksi-faksi yang bertikai dalam satu komando baru bernama Delije.

Kesamaan ideologi ultranasionalisme semi-fasis yang mereka anut membuat mereka tunduk dan patuh kepada Milosevic. Lantas saat Milosevic didapuk jadi Presiden Yugoslavia, Delije menjadi kelompok paramiliter yang dipersenjatai.

Baca juga: Apa yang Membuat Pertandingan Disebut Derby?

Mereka jadi aksi terdepan dalam Perang Balkan untuk membela Serbia. Merekapun bertanggung jawab atas pembantaian ribuan orang tak berdosa di Kosovo, Kroasia, dan Bosnia-Hergezovina. Aksinya itu membuat mereka bukan dicaci melaikan dipuja sebagai pahlawan Serbia.

Militer adalah penjilat; itu tabiat. Mereka selalu condong membebek pada penguasa. Di akhir dekade 80-an Pendukung Partizan selalu meneriakan yel-yel “Partizan, Partizan, that is serbian team. Slobodan Milosevic proud of them, oleh pendukung Red Star selalu ditimpali, “Partizan, Partizan, well known moslem team, Azem Vllasi (pemimpin Kosovo) proud of them.”

Yel-yel yang dilakukan pendukung Partizan tentu saja adalah pembelokan ideologi politik mereka selama ini. Seolah mencari muka mereka mendekat pada Milosevic. Wajar jika penggemar Red Star tertawa melihat kekonsistenan itu.

***

Kekerasan selalu identik dengan derbi ini. Jarak dua basis wilayah kedua pendukung dan stadion yang berdekatan membuat keamanan adalah barang langka saat derbi digelar. Selalu saja terjadi kericuhan. Jumlah personel polisi yang diturunkan selalu lebih dari 5000 personil—jumlah terbesar di Eropa Timur.

Polisi ini kemudian disebar perkelompok-kelompok kecil di seluruh penjuru kota. Mengingat tinggal di kota yang sama membuat risiko bentrok kedua suporter bisa terjadi di mana saja.

Soal kekerasan ini, mungkin kita bisa membaca laporan wartawan The Guardian, Dave Fowler, yang hadir saat Eternal Derby pada 2004 silam.

“Saat ini, hooligan dari Belgrade mungkin tidak sekuat seperti saat mereka terbentuk dalam organisasi militan selama perang Balkan, tapi mereka tetaplah gerombolan bebal yang paling keras dan rasis di dunia sepakbola. Apa yang mereka lakukan lebih buruk daripada apa yang telah aku saksikan di Inggris, atau bahkan di negara Eropa Timur manapun.”

Karena itulah saya tak perlu panjang lebar menjelaskan tindak-tanduk kekerasan yang dua kelompok supporter ini lakukan. Pembunuhan, penculikan, perusakan stadion, penjarahan, kerusuhan besar-besaran, dll sesuatu hal besar yang sudah jadi biasa dalam Eternal Derby.

Pertandingan bertensi sengit itu akan terus terulang, setidaknya dua kali setiap musimnya. Mari ucapkanlah, "Welcome to Hellgrade Derby!


Tulisan ini ditulis oleh Aqwam Fiazmi Hanifan, pernah dipublikasikan dengan judul yang sama di About the Game - detikSport.

Komentar