Dari Pulisic, untuk Amerika Serikat

Backpass

by Evans Simon

Evans Simon

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Dari Pulisic, untuk Amerika Serikat

Setiap generasi memiliki ikonnya masing-masing. Bagi para milenial Amerika Serikat yang menggemari sepakbola, sosok tersebut jatuh pada diri Christian Pulisic.

Menjadi pusat (perhatian) dunia adalah hal biasa bagi warga AS, bahkan seakan telah menjadi sebuah keharusan. Sebut saja semuanya: ekonomi, teknologi, musik, film, hingga urusan emansipasi selangkangan pun AS adalah influencer papan atas.

Hal serupa juga terjadi di dunia olahraga. Mereka adalah salah satu elitis di ajang Olimpiade. Hanya segelintir negara yang bisa menyaingi mereka di sektor mother of sports.

Di cabang olahraga populer seperti basket dan bisbol, liga nasional mereka relatif lebih prestisius ketimbang medali emas Olimpiade. Menjuarai National Baskeball Association (NBA) atau Major League Baseball (MLB) diklaim setara dengan menjadi juara dunia.

Jika ada satu olahraga yang belum berhasil ditaklukkan, maka itu adalah sepakbola.

Sangat sulit bagi AS untuk bisa mengambil peran penting dalam peta kekuatan sepakbola dunia. Pelbagai usaha telah mereka upayakan: mendatangkan Pele dan Franz Beckenbauer (disusul David Beckham, Steven Gerrard, Frank Lampard, Zlatan Ibrahimovic), menjadi tuan rumah Piala Dunia, hingga menciptakan liga bersistem waralaba. Semua demi mendapatkan pengakuan bahwa AS juga adidaya di atas lapangan hijau.

Apa daya. Usaha demi usaha yang mereka lakukan belum cukup untuk membuat banyak orang di belahan dunia lain rela mengorbankan waktu tidur demi menonton Major League Soccer (divisi satu sepakbola Amerika). Tim nasional yang mereka sebut dengan USMNT (United States Men National Team) bahkan baru menelan mentah sebuah aib: tak lolos ke Piala Dunia 2018.

Kepastian tersebut didapatkan setelah kalah 1-2 dari Trinidad & Tobago. Pulisic tampil selama 90 menit penuh dan mencetak gol tunggal USMNT dalam laga ini. Meski kalah, ia masih sempat menjaga optimisme ketika peluit panjang terakhir berbunyi.

"Berapa skor di laga lain (Panama vs Kosta Rika)?" tanya pria yang lahir pada 18 September 1998 tersebut kepada salah satu asisten pelatih USMNT, seperti yang ditulis The Players Tribune.

Tak berselang lama, Pulisic mengetahui bahwa tiket ke Rusia berada di dalam genggaman Panama yang menang 2-1 atas Kosta Rika, bukan AS. Mimpi untuk memberikan sensasi meledak-ledak, seperti yang dirasakan sendiri oleh Pulisic di ruang bawah tanah rumah saudaranya di Virginia ketika merayakan gol Clint Dempsey ke gawang Ghana pada Piala Dunia 2014, harus ditunda.

Ini adalah pertama kalinya USMNT gagal melaju ke putaran final Piala Dunia sejak 1990. Pulisic, yang menjalani tahun pertamanya bersama tim nasional, tidak bisa menyembunyikan kekecewaan.

Pria yang memiliki kewarganegaraan ganda tersebut (Amerika-Kroasia) mengkritik sistem pembinaan pemain muda di AS. Ia merasa struktur pengembangan pemain-pemain muda di MLS perlu dibenahi, terutama terkait kesempatan bermain yang sangat terikat dengan finansial.

Ada alasan kuat dan valid atas keberhasilan AS menjadi salah satu raja di dunia olahraga, yakni sistem pembinaannya. Cabang-cabang olahraga seperti atletik, renang, basket, hingga American Football menyediakan jalan bagi para muda-mudi yang ingin fokus menjadi atlet melalui jalur pendidikan.

Banyak beasiswa olahraga tersedia. Terdapat juga pelatih mumpuni dan liga kompetitif yang turut membantu perkembangan atlet-atlet muda. Tak jarang, atlet dari negara lain pun menempuh jalur ini dan berhasil menjadi juara dunia. Tak percaya? Tanyakan pada perenang Singapura Joseph Schooling. Situasi tersebut tidak terjadi dalam sepakbola AS.

"Seorang anak yang bermain basket atau American Football bisa memiliki peluang bermain di perguruan tinggi. Mereka melihat ada jalan yang terbuka," ucap mantan pemain MLS, Amir Lowery, kepada Guardian. "Jika Anda ingin bermain sepakbola (setelah Sekolah Menengah Atas), tidak ada jalan yang terbuka...anak-anak bahkan tidak berpikir bahwa sepakbola adalah jalur yang tepat untuk dijalani."

Berdasarkan laporan San Diego Union Tribune, biaya yang harus dihabiskan seorang anak berusia 8 tahun di AS untuk belajar sepakbola di klub selama satu tahun adalah sekitar 1.200 hingga 1.500 Dollar AS (sekitar 17,8 hingga 22,3 juta Rupiah).

Jumlah yang dikeluarkan terus meningkat seiring bertambahnya umur. Bahkan, ketika seorang anak cukup berbakat dan terpilih masuk ke dalam Akademi Pengembangan Sepakbola AS, mereka harus membayar sekitar 2.500 hingga 3.000 Dollar AS per tahun (sekitar 37,2 hingga 44,7 juta Rupiah). Angka itu bisa bertambah dua atau tiga kali lipat, tergantung seberapa sering sang anak ikut pertandingan tandang.

Pun jika mendapatkan beasiswa, ada tanggung jawab berat yang membayangi. Sang pemain diwajibkan membayar seluruh biaya jika ingin pindah ke klub lain sebelum masa berlaku beasiswanya berakhir.

Ini bukanlah masalah baru dalam sepakbola AS. Pemain-pemain seperti Tim Howard, DeAndre Yedlin, Brad Guzan, dan (sang legenda) Jozy Altidore melewati pengalaman tersebut.

Mahalnya harga pembinaan sampai membuat sepakbola menjadi olahraga eksklusif di AS. Bagi para imigran, yang kebanyakan berdarah Latin dan Afrika, sepakbola bukanlah milik mereka.

"Olahraga anak kulit putih yang kaya". Begitu mantan kiper tim nasional wanita AS, Hope Solo, mendekripsikan sepakbola di Negeri Paman Sam.

Permasalahan tak berhenti sampai di situ. Jika sudah beranjak dewasa, seorang pemain muda di AS akan masuk sistem "roster", sebagaimana liga-liga olahraga lain di AS. Akibatnya, seorang pemain muda kerap merasa sudah menjadi bintang, bahkan sebelum mereka belajar cara terbang.

Sepanjang musim 2017 lalu, hanya empat pemain berusia di bawah 20 tahun binaan sistem akademi MLS yang tampil secara reguler bersama klub masing-masing. Mereka adalah Tyler Adams (New York Red Bulls), Tommy Redding (Orlando City), Justen Glad, dan Danilo Acosta (Real Salt Lake).

Pulisic sendiri tahu betul cara "hukum rimba" ditegakkan dalam sistem sepakbola Eropa. Ia telah berada di sana sejak berusia 16 tahun, sebuah keistimewaan berkat darah Kroasia diturunkan oleh kakeknya. Hukum pekerja di Eropa memang membatasi ruang gerak para pemain muda Amerika untuk mengembangkan kariernya di Benua Biru.

Ketika menjalani hari-hari pertama berlatih bersama Borussia Dortmund, Pulisic merasakan perbedaan besar dengan sistem pembinaan pemain muda di AS.

"(Di Eropa), tim berisi dengan para pemain yang semuanya adalah `pemain terbaik` dan sama-sama bertarung memperebutkan posisi. Hal ini menciptakan intensitas dan kerendahan hati yang Anda butuhkan di atas lapangan, baik dari aspek mental maupun fisik," jelas dirinya.

Tidak sedikit yang menilai bahwa Pulisic besar kepala. Tentu mudah memahami kegelisahan penggemar sepakbola AS. Mereka baru saja mengucapkan selamat tinggal pada generasi Landon Donovan dan Clint Dempsey. Kini, seorang anak muda sudah berani berani menjelekan-jelekkan negaranya sendiri hanya karena sudah menjadi andalan salah satu klub ternama Eropa.

Bagaimana pun, ada lebih banyak lagi yang melihat Pulisic sebagai sosok yang tepat sebagai (calon) `penyelamat`. Keberaniannya menyuarakan kritik terhadap sistem pembinaan sepakbola AS layaknya oase di tengah keringnya prestasi. Bagi anak-anak kecil, keberhasilan Pulisic menembus skuat utama Dortmund adalah inspirasi.

Pulisic tidak pernah merasa bahwa dirinya adalah wajah baru bagi sepakbola AS. Namun, ia pun tidak sungkan untuk mengemban tugas tersebut selama bisa menjadikan sepakbola sebagai "bagian dari kultur kami (AS)".

Komentar