Menjadi `Hitam-Putih` Seperti Marchisio

Cerita

by Redaksi 16

Redaksi 16

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Menjadi `Hitam-Putih` Seperti Marchisio

Setelah 25 tahun memperkuat Juventus, Marchisio harus melepas seragam kebanggaannya. Ia memutuskan untuk mengakhiri kebersamaan dengan Si Nyonya Tua melalui pemutusan kontrak yang sejatinya baru berakhir pada 2020. Meski dalam sepakbola perpisahan merupakan hal yang lumrah, bagi Marchisio, itu berarti ia harus meninggalkan klub yang dicintainya.

Sebenarnya bisa saja Marchisio memilih Torino, namun hatinya tertambat kepada tim yang tidak hanya dicintainya, tetapi juga oleh keluarganya. Ayah sekaligus agen Marchisio, Stefano Marchisio, merupakan Juventini sejati dan tercatat sebagai pemegang tiket musiman pertandingan Juventus.

Lahir dan besar di Turin membuat Marchisio punya kaitan erat dengan Juventus. Marchisio kecil maupun Marchisio dewasa tetap orang yang sama: sama-sama mencintai Juventus.

“Saya tidak bisa berhenti melihat foto ini dan strip [hitam-putih] di mana saya menjalani hidup saya sebagai seorang laki-laki dan pesepakbola,” tulis Marchisio ketika mengunggah foto dirinya yang masih anak kecil di media sosial pribadinya. “Saya mencintai jersey ini, apa pun yang terjadi, saya yakin bahwa kebaikan bagi tim harus diutamakan. Selamanya."

Il Principino. Si Pangeran Kecil. Begitulah Marchisio dijuluki selama bermain untuk Juventus. Bergabung dengan akademi Juve pada tahun 1993, pemain kelahiran 19 Januari 1986 ini telah berkembang menjadi salah satu gelandang dengan visi serta teknik yang tinggi.

Di usia muda Marchisio bukan seorang gelandang tengah. Mengidolai Del Piero seperti kebanyakan anak-anak di Turin, pemain yang kini berusia 32 tahun tersebut pun menjalani masa muda dengan banyak bermain di belakang penyerang. Namun setelah bermain di skuat senior, kemampuannya ternyata lebih termaksimalkan ketika ia bermain sebagai gelandang tengah.

Marchisio memiliki kemampuan untuk dijadikan gelandang yang andal mengatur ritme permainan. Dari era kepelatihan Didier Deschamps sampai dengan setidaknya awal kedatangan Massimiliano Allegri, ia menjadi pemain andalan di lini tengah Juventus.

Kualitas Marchisio terbukti dengan pencapaiannya selama membela La Vecchia Signora. Sebanyak 37 gol dan 43 asis dari total 418 penampilan menjadi bukti atas daya magis pemain bertinggi 180 cm tersebut. Dedikasi Marchisio pun menghasilkan 7 scudetto, 3 Piala Super Italia, serta 4 Coppa Italia.

Marchisio pun disandingkan dengan legenda Juventus, Marco Tardelli, berkat prestasi dan kemampuan bermainnya. Hal itu diungkapkan oleh mantan pemain AC Milan, Stefano Borgonovo.

“Marchisio sangat bagus dan memiliki kemampuan teknis dan taktik yang luar biasa. Ia memiliki segalanya untuk bermain di level tertinggi: kualitas, kepekaan terhadap taktik, dinamis dan kemampuan yang menjadikannya pemain hebat. Ia memiliki kepribadian, ia mengingatkan saya pada Tardelli,” tutur Borgonovo, dikutip dari These Football Times.

Menghabiskan 25 tahun karier di Juve jelas membuat Marchisio mengalami suka dan duka. Selain merasakan kebahagiaan meraih trofi, ia juga menjadi bagian dari nestapa Juventus kala Bianconeri harus terjerumus ke Serie B karena skandal Calciopoli. Ia pun harus berjuang bersama pemain kawakan macam Mauro Camoranesi, Pavel Nedved, Alessandro Del Piero dan David Trezeguet. Walaupun begitu, dengan usianya yang kala itu masih 20 tahun, ia bisa belajar banyak tentang arti ‘hitam-putih’.

“Dan akhirnya, ketika mitos [untuk bermain bersama legenda] menjadi rekan satu tim, kamu harus menjadi kuat, meskipun kakimu bergetar ketika berada satu lapangan bersama mereka. Del Piero, Nedved, Buffon, Trezeguet, Camoranesi, dan yang lainnya. Untuk menghargai jersey yang dipakai [hitam-putih], seluruh pesepakbola harus melakukan bagian mereka masing-masing,” kenang Marchisio pada pernyataan terbuka terkait perpisahannya.

Marchisio sebenarnya kembali mengalami masa sulit dalam dua musim terakhir. Cerita indahnya bersama Juventus mulai terganggu oleh cedera ligamen yang diderita menjelang akhir musim 2015/16. Sempat pulih, cedera lain kemudian mulai menjadi kawan karibnya. Total Marchisio telah absen dari lapangan hijau selama 317 hari. Bahkan pada musim 2017/18, ia hanya bermain sebanyak 20 kali di semua kompetisi.

Kehadiran gelandang baru yang lebih muda dalam diri Emre Can dan masih adanya gelandang-gelandang yang lebih bugar seperti Miralem Pjanic, Sami Khedira, Blaise Matuidi, hingga Rodrigo Bentancur membuat Marchisio bukan lagi opsi utama. Dengan situasi tersebut pemutusan kontrak menjadi keputusan terbaik bagi Marchisio dan Juventus.

***

Mungkin Marchisio tidak bisa mengembalikan momen di mana ia masih menjadi andalan di lini tengah bagi Juventus. Selain karena cedera, memang sudah saatnya bagi Il Principino untuk pergi. Akan tetapi satu yang tidak bisa dimungkiri, dedikasi Marchisio terhadap Juve melebihi apa yang orang lain bayangkan.

Salah satu kalimat perpisahan di bawah ini merangkum segala perjalanan Marchisio sebagai pesepakbola, bahwa sampai kapan pun, dirinya akan tetap mencintai Juventus. Ia akan selalu mengenang bahwa hanya ada satu strip warna yang ia banggakan; hitam-putih.

“Ketika Anda menyadari bahwa 25 tahun terakhir kehidupan Anda tiba-tiba tidak lagi menjadi milik Anda sekarang, hanya ada satu cara untuk menang: saya sadar tidak akan kehilangan ingatan karena mereka adalah bagian dari diri saya dan saya akan selalu menjadi bagian dari mereka, di mana pun saya akan berada.”

foto: airtelfootball.ug

Komentar