AC Milan Mengubah Nasib Ancelotti

Cerita

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

AC Milan Mengubah Nasib Ancelotti

Carlo Ancelotti seperti mengkhianati AC Milan. Setelah menjuarai Liga Champions 2013/14 bersama Real Madrid, ia mengatakan bahwa jika ia kembali melatih kesebelasan Italia, hanya AC Milan kesebelasan yang akan ia latih. Nyatanya, pelatih berusia 59 tahun tersebut akan menjadi lawan Milan karena sekarang ia berstatus Kepala Pelatih Napoli, yang akan dihadapi Milan pada Minggu (26/8) dini hari WIB.

Dibanding Milan, Napoli saat ini lebih menjanjikan di mata Ancelotti. Lagipula ia percaya bahwa Milan saat ini sudah bersama pelatih yang tepat: Gennaro Gattuso.

"Pertama, saya ingin kembali ke Italia dan berbicara bahasa Italia lagi," kata Ancelotti tentang keputusan memilih Napoli pada DAZN. "Kedua, saya tertarik dengan proyek klub ini [Napoli]. Skuat tim ini punya kualitas menjanjikan tapi belum mencapai puncak podium, hanya sekadar nyaris. Saya berharap pengalaman saya bisa menolong tim ini ke langkah terakhir [menuju trofi]."

"Rino—sapaan akrab Gattuso—masih sama dalam hal karakter. Anda bisa lihat dari cara timnya bermain: fokus, sangat terorganisir, solid, dan agresif. Seperti Gattuso saat masih menjadi pemain. Di beberapa aspek, saya sudah menduga ia akan jadi pelatih, walau di aspek lain tidak. Kuncinya adalah menyatukan semuanya menjadi satu jalur untuk mewujudkan ambisi dan karier Gattuso menunjukkan karier yang luar biasa lewat ambisinya," sambung Ancelotti.

Meski memilih Napoli, tidak bisa tidak, Milan adalah kesebelasan yang selalu ada di hati Ancelotti, tidak seperti Juventus yang selamanya tak akan bisa ia cintai. Di Milan ia meraih banyak kesuksesan. Milan telah mengubahnya menjadi seorang pelatih legenda maupun secara pribadi.

Ancelotti ditunjuk sebagai pelatih Milan pada 2001 dengan kepercayaan diri yang luluh lantak. Sebagai pelatih muda potensial, ia dicampakkan begitu saja oleh Juventus. Ia dipecat saat pertandingan berlangsung, saat turun minum di pertandingan terakhir musim 2000/01. Tapi di Milan, ia mendapatkan dukungan penuh dari sang Presiden, Silvio Berlusconi.

"Saya selalu punya hubungan bagus dengan Presiden [Berlusconi], walau orang-orang sering mengatakan bahwa ia mengatur susunan pemain tim saya. Dia tidak pernah mengkritik saya saat saya menghadapi momen sulit. Faktanya, ia justru mengkritik ketika kami sedang berada di puncak klasemen atau setelah menjuarai Liga Champions: cara dia untuk memotivasi kami," tutur Ancelotti sebagaimana dikutip football-italia pada 2014.

Baca juga: Swatch di Antara Rolex, Plastik di Antara Emas

Ancelotti tidak ingin mengulang kesalahannya di Juventus. Menurutnya, salah satu penyebab kegagalannya di Juve adalah ia meninggalkan formasi dasar 4-4-2 andalannya agar Zinedine Zidane, pemain terbaik Juventus sekaligus pemain terbaik dunia saat itu, bisa selalu dimainkan. Apalagi semua orang di Juventus ingin Zidane selalu dimainkan.

"Saya kurang keberanian. Hal itu menjadi-jadi ketika saya menukangi Juventus. Juga Zidane. Saya benar-benar tidak bisa meninggalkannya di bangku cadangan," tulis Ancelotti pada otobiografinya.

Di Parma, Ancelotti berani menyingkirkan Gianfranco Zola sampai menjualnya ke Chelsea karena tidak ada tempat untuk pos no. 10 dalam skema andalannya. Bahkan ia juga rela urung mendatangkan Roberto Baggio yang keukeuh ingin bermain sebagai gelandang serang, bukan penyerang seperti yang diinginkan Ancelotti. Tapi Zidane, kehebatannya terlalu mengagumkan untuk hanya sekadar menyaksikan rekan-rekannya bertanding dari bangku cadangan.

"Dia [Zidane] pemain terbaik yang pernah saya latih," Ancelotti berujar. "Dia bisa melakukan banyak hal dan kita hanya perlu berdiri dan menontonnya. Saya bisa terpaku menyaksikannya karena itu bagian dari pekerjaan saya [sebagai pelatih]. Tapi rekan setimnya sering tertegun melihat kehebatannya, dan itulah reaksi ketika melihat seniman."

Di Milan pun sebenarnya Ancelotti punya tugas yang lebih sulit. Ia menghadapi lebih dari satu pemain dengan kehebatan seperti Zidane. Setiap pertandingan, ia harus menentukan siapa yang akan bermain lebih dulu di antara Rui Costa, Andrea Pirlo, Clarence Seedorf, dan Rivaldo.

"Saya pelatih beruntung karena saya punya skuat yang fantastis," puji Ancelotti pada para pemain Real Madrid yang berhasil menjuarai Liga Champions 2014. "Di samping kualitas yang mereka miliki, mereka sangat profesional dan menerima setiap keputusan saya. Bahkan lebih sulit saat saya harus memainkan Pirlo bersama Rui Costa, Seedorf dan Rivaldo ketimbang ketika menyatukan Isco, James Rodriguez dan Kroos, karena itulah sejak awal saya mengubah filosofi sepakbola saya."

Ancelotti memang tipikal pelatih yang berusaha memainkan pemain di posisi terbaiknya. Tapi dengan pelajaran yang ia dapat saat menukangi Juventus, ia pun mulai harus bereksperimen dengan formasi lain, tidak hanya pola dasar 4-4-2 yang pernah ia dapatkan dari Arrigo Sacchi. Karenanya setelah di Milan, ia bisa memainkan formasi 4-3-1-2 (untuk memainkan Pirlo dan Rui Costa bersamaan), 3-4-1-2 (untuk memaksimalkan Marcos Cafu), hingga yang paling ikonik formasi "Pohon Natal" atau 4-3-2-1.

Andrea Pirlo adalah salah satu pemain Milan saat itu yang membuat Ancelotti harus terus memutar otak menentukan formasi dan cara bermain. Bahkan pelatih kelahiran Reggiolo itu tak sungkan mengatakan bahwa Pirlo adalah pemain yang membuatnya tidak lagi menelan mentah-mentah paham sacchiano.

"Pirlo sangat membantu saya. Dia mendatangi saya pada suatu hari dan mengatakan bahwa ia bisa bermain di posisi yang lebih dalam, di depan empat bek sejajar. Saya benar-benar skeptis. Dia itu seorang gelandang serang, kemampuan utamanya adalah berlari bersama bola. Tapi ternyata, itu berhasil. Dia menjadi salah satu pemain terbaik dunia di peran itu [deep-lying playmaker]. Saya menempatkan Seedorf melebar, sementara Rui Costa dan Rivaldo di belakang penyerang tunggal. Kemudian, voila! lahirlah formasi 4-3-2-1 atau Pohon Natal," Ancelotti bercerita kepada Sky Sports.

Baca juga: Tanpa Pirlo, Gattuso Bukan Siapa-siapa

Memang hanya satu trofi Serie A yang dipersembahkan Ancelotti untuk Milan. Namun di Liga Champions, dua kali Ancelotti mengantarkan Milan mengangkat Trofi Si Kuping Besar. Bahkan Ancelotti nyaris meraih tiga trofi Liga Champions seandainya "Tragedi Istanbul" tidak terjadi. Sampai saat ini, kekalahan Milan dari Liverpool itu masih menghantui Ancelotti.

"Tim sudah bermain maksimal untuk meraih kemenangan. Saya tidak bisa marah. Saya pikir itu memang takdir. Saya sudah menjadi manajer untuk 800 pertandingan. Jika saya bisa memilih dua pertandingan di mana tim saya bermain dengan sangat-sangat baik, itu salah satunya. Satu pertandingan lagi saat semi-final Liga Champions 2007 melawan Manchester United," kenang Ancelotti.

Ancelotti saat ini dikenal sebagai pelatih juara. Selain bersama Milan, ia telah juara bersama Chelsea, Real Madrid, PSG, dan Bayern Muenchen. Walau begitu masa kepelatihannya tak pernah sepanjang di Milan.

Semasa karier melatihnya, Milan adalah kesebelasan yang paling lama ditangani Ancelotti: 8 musim. Belum lagi ia pernah menjadi pemain AC Milan. Maka tak heran Milan selalu spesial untuk Ancelotti. Namun untuk sekarang, Ancelotti harus melupakan dulu romantisme dirinya dan Milan karena tugasnya saat ini adalah mengantarkan Napoli ke tangga juara; bukan Milan.

Baca juga: Buat Tesis Dulu, Jadi Pelatih (Italia) Hebat Kemudian

foto: topsport.mk

Komentar