Penculikan Politis Alfredo Di Stefano

Backpass

by Redaksi 16

Redaksi 16

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Penculikan Politis Alfredo Di Stefano

Alfredo Di Stefano, legenda Real Madrid, telah banyak meraih kesuksesan dalam kariernya. Lima gelar Liga Champions berturut-turut menjadi salah satu pencapaian terbaik. Gelar individu bergengsi, Ballon d`Or, diraihnya pada 1957 dan 1959.

Di balik kedigdayaan Di Stefano sebagai pemain, ada kisah tragis sekaligus menarik yang menyangkut dirinya. Alfredo Di Stefano pernah diculik.

Penculikan bermula ketika Madrid menggelar tur ke Venezuela untuk melakoni pertandingan Intercontinental Cup melawan Sao Paulo dan FC Porto. Di Stefano dan skuat Madrid bermalam di Hotel Potomac yang berlokasi di Caracas, Ibu Kota Venezuela.

Suatu malam, ketika para pemain lain memutuskan untuk menikmati kota Caracas, Di Stefano memilih beristirahat. Masih beradaptasi dengan iklim tropis Venezuela, ia memutuskan untuk tidur. Ketika pagi menjelang, Di Stefano dibangunkan oleh sekelompok orang yang memasuki kamarnya. Ia dipaksa mengikuti orang-orang tersebut

“Mata saya ditutup ketika gerombolan tersebut membawa saya dari hotel di Hari Sabtu dan dikunci di sebuah kamar [setelahnya],” ujar Di Stefano, dikutip dari ESPN.

“Kami (penculik) tidak akan meminta apapun dari kamu (Di Stefano), kami hanya melakukan penculikan ini agar media memperhatikan kami. Pemerintah melarang pemberitaan tentang FALN. Kamu akan bersama kami beberapa jam, dan kami akan mengembalikan kamu. Kami tidak akan menyakiti dirimu,” ucap salah satu orang yang menculik Di Stefano, dikutip dari These Football times.

Kelompok FALN (Fuerzas Armadas de Liberacion Nacional) sendiri merupakan kelompok guerrilla bentukan Partai Komunis Venezuela. FALN menentang pemerintahan Venezuela saat itu, pemerintahan Romulo Betancourt. Operasi penculikan tersebut dipimpin Paul Del Rio, yang juga dikenal dengan nama Maximo Canales. Penculikan tersebut tak jauh dari tujuan serta misi politik yang dibawa, untuk mencari perhatian publik agar segera mengganti rezim yang berkuasa.

“Kami menculik dia (Di Stefano) karena popularitas dirinya. Gengsi dan popularitas dirinya di Real Madrid membantu tujuan kami,” ucap Canales.

Bahkan secara terang-terangan, Canales menjelaskan maksud dari penculikan tersebut kepada Di Stefano. “Tidak ada yang akan terjadi pada dirimu, tetap tenang, kami (FALN) hanya ingin dunia mengenali kami dan mengetahui siapa kami. Negara kami, Venezuela, sedang dieksploitasi oleh kekuatan hebat dari bisnis perminyakan,” ujar Canales, merujuk pada penculikan yang dilakukannya terhadap Di Stefano.

El Real sendiri pada saat yang bersamaan akan menjalani laga melawan FC Porto. Di Stefano akhirnya melewatkan laga tersebut dan harus berurusan dengan kegaduhan politik yang menyeretnya ke dalam kasus penculikan.

Meski penculikan dirinya terkesan menyeramkan—karena bersangkutan dengan kelompok militer—dirinya sama sekali tidak mendapat perlakuan buruk. Bahkan selama dirinya menjadi ‘tawanan’, ia sempat bermain catur bersama para penculik (seperti yang terlihat pada gambar utama artikel ini). Sesuai dengan janji yang diberikan sejak awal, bahwa FALN ataupun Canales tidak akan menyakiti Di Stefano.

“Saya kira mereka akan membunuhku,” ujar Di Stefano, menjelaskan keadaan ketika dirinya sedang diculik.

Dua hari setelah penculikan tersebut, pada 26 Agustus 1963, Di Stefano dibebaskan di sekitar wilayah Libertadores Avenue. Setelah dibebaskan dari penculikan, ia kembali lagi bermain bagi Madrid melawan Sao Paulo dan mendapat sambutan hangat.

Romulo Bentancourt sendiri turun dari jabatannya sebagai Presiden Venezuela pada 1964. Melalui proses revolusi yang dilakukan, secara demokratis rakyat Venezuela memilih Raul Leoni sebagai pengganti dirinya.

Penculikan tersebut menjadi salah satu bagian sejarah dari bagaimana perjalanan politik di Venezuela. Meski mundurnya Bentancourt bukan sepenuhnya upaya dari FALN atau Maximo Canales sendiri, Di Stefano menjadi saksi sejarah bagaimana sepakbola dapat menjadi alat politik bagi segelintir kelompok.

Komentar