Swatch di Antara Rolex, Plastik di Antara Emas

Cerita

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Swatch di Antara Rolex, Plastik di Antara Emas

Carlo Ancelotti berpeluang mendatangkan Roberto Baggio ke Parma pada 1997. Ancelotti menginginkan Baggio sebagai penyerang baru timnya, tapi sang pemain meminta peran nomor 10. “Tidak, kau harus bermain sebagai penyerang,” ujar Ancelotti kepada Baggio. Si Kuncir Kuda memilih pindah ke Bologna.

Ancelotti berkeras meminta Baggio menjadi penyerang karena peran yang diminta sang pemain tak ada dalam formasinya. Lima tahun pengalaman sebagai pelatih, ditambah besarnya pengaruh Arrigo Sacchi terhadap perkembangannya sebagai juru taktik, membuat Ancelotti hanya tahu satu formasi dan cara main.

“Musim itu Baggio mencetak 25 [yang benar 22] gol untuk Bologna! Aku kehilangan 25 gol! Kesalahan besar,” ujar Ancelotti berkisah. Ancelotti berubah. Pengalaman itu mengajarinya bahwa seorang pelatih harus mampu menyesuaikan taktik berdasar pemain-pemain yang dia punya.

Carletto—sapaan akrabnya—sudah jauh lebih berpengalaman dan tidak lagi keukeuh memainkan formasi 4-4-2 dengan gaya main menyerang ketika ditunjuk menjadi Kepala Pelatih AC Milan pada 2001. Ancelotti tahu bahwa menangani Milan berarti menangani Silvio Berlusconi. Melatih Milan berarti menyusun formasi dan gaya main tim untuk menyenangkan sang pemilik klub.

“Tradisi Milan adalah memainkan gaya sepakbola yang baik—berbeda dari Juventus, di mana yang paling penting adalah kemenangan,” ujar Ancelotti. “Ini satu-satunya alasan untuk memainkan Pirlo, Seedorf, Rui Costa, Kaka, Shevchenko secara bersamaan.”

Ancelotti tidak keberatan terhadap kontrol Berlusconi. Sang pelatih bahkan sampai mempersilakan sang pemilik untuk berkelakar di ruang ganti menjelang pertandingan final Liga Champions 2003, melawan Juventus. Biasanya Ancelotti sendiri yang berkelakar—seni melatih ini dipelajarinya dari Nils Liedholm—di hadapan para pemainnya.

Milan menang. Ancelotti mengangkat tinggi trofi pertama yang dimenangkannya untuk Milan. Tiga hari berselang Ancelotti kembali mengangkat trofi, kali ini Coppa Italia. Trofi Piala Super UEFA, Supercoppa Italia, Serie A, Liga Champions, Piala Super UEFA (lagi), dan Piala Dunia Antarklub menyusul kemudian. Ancelotti membuktikan bahwa tidak mustahil membawa klub memenangi banyak gelar sambil menjaga hubungan baik dengan mereka yang tidak ikut berkeringat.

Itu yang tidak mampu dilakukannya di Juventus, klub yang dilatihnya di antara Parma dan Milan. Cerita Ancelotti di Turin dibuka dengan kemenangan di final Piala Intertoto 1999 dan ditutup dengan pengumuman pemecatan saat turun minum di pertandingan terakhir musim 2000/01. Juventus memilih untuk tidak lagi mempekerjakan Ancelotti karena tekanan dari para pendukung dan pers terlalu besar. Ancelotti tidak diterima di Juventus. Penyebabnya banyak.

Pertama, Ancelotti adalah pendukung Inter Milan semasa kecil. Kedua, Ancelotti pemain andalan Roma saat persaingan Roma dan Juventus sedang ketat-ketatnya pada tahun 1980-an. Ketiga, Ancelotti pemain andalan Milan semasa Juventus mengalami tujuh tahun puasa gelar.

Tidak hanya terus menerus menjadi pesaing langsung Juventus semasa aktif bermain, Ancelotti juga beberapa kali mengganggu Juventus saat menangani Parma. Ditambah lagi yang posisinya digantikan Ancelotti di Juventus adalah Marcello Lippi, salah satu kepala pelatih tersukses di Juventus.

Para pendukung Juventus tidak sungkan menunjukkan penolakan terhadap Ancelotti. Pesan mereka sampai kepada Ancelotti hanya beberapa hari setelah pengumuman penunjukan sang pelatih. Di sebuah obelisk yang terletak di rute perjalanan kaki Ancelotti menuju kantor klub tertulis sebuah grafiti: Un maiale non può allenare. Seekor babi tak bisa melatih. Ancelotti adalah anak petani dari Emilia-Romagna.

Penolakan tak membuat Ancelotti goyah. Siapa bisa menolak tawaran pekerjaan dari klub terbaik Italia saat itu di usia muda? Tantangannya bukan hanya meneruskan kegemilangan era Lippi, melainkan juga membuat para pendukung dan pers menerimanya sebagai bagian dari Juventus. Keduanya tidak pernah terjadi.

Piala Intertoto 1999 adalah satu-satunya gelar yang mampu dipersembahkan Ancelotti kepada Juventus. Kerasnya hati para pendukung Juventus membuat Ancelotti tak pernah mendapat tempat. Namun itu bukan cerita lengkapnya. Ancelotti juga ternyata tak pernah bisa membuka hati kepada Juventus. Ancelotti menghormati Juventus bahkan sampai hari terakhirnya bekerja di sana, tapi mencintai Si Nyonya Tua dia tak pernah bisa.

“Aku punya satu kelemahan besar,” tulis Ancelotti dalam otobiografinya. “Ketika aku melatih sebuah tim, aku menjadi pendukung nomor 1 tim itu. Ini tidak terjadi [di Juventus]. Aku tidak pernah mencintai Juventus dan mungkin tidak akan pernah. Kami berbeda dalam segala hal. Aku anak desa. Mereka pebisnis berjas dan berdasi. Aku Swatch di antara Rolex. Plastik di antara emas.”

Barangkali Ancelotti memang ditakdirkan untuk mengganggu Juventus, bukan sukses sebagai bagiannya. Setelah sembilan tahun bertualang di Inggris, Perancis, Spanyol, dan Jerman, Ancelotti punya kesempatan untuk melakukannya lagi. Kali ini sebagai Kepala Pelatih SSC Napoli.

Baca juga: Menyambut Renaisans Serie A

Carlo Ancelotti akan memulai perjalanannya bersama Napoli di Serie A dengan menghadapi Lazio pada Minggu dini hari WIB. Serie A musim ini berpotensi menarik, apalagi Ancelotti salah satu pelatih terbaik di Italia, kembali terlibat di dalamnya.

Komentar