Oxlade-Chamberlain, Scrum-half Liverpool

Backpass

by Ardy Nurhadi Shufi

Ardy Nurhadi Shufi

Juru Taktik Amatir
ardynshufi@gmail.com

Oxlade-Chamberlain, Scrum-half Liverpool

Sepakbola tidak terlalu mengandalkan otot bahu. Pesepakbola profesional biasanya fokus memperkuat otot betis, paha, atau pinggul. Namun Alex Oxlade-Chamberlain lain. Ototnya yang paling menonjol justru bukan otot ketiga bagian tubuh tersebut, melainkan otot trapezius alias otot bahunya.

Chamberlain punya tinggi badan sekitar 180 cm. Tidak pendek untuk pesepakbola Eropa. Namun karena otot trapeziusnya yang besar, pemain kelahiran 15 Agustus 1993 itu terlihat pendek. Besarnya otot bagian bahu dan sudut leher membuat Ox—sapaan akrabnya—seolah tak memiliki leher.

Foto Oxlade-Chamberlain pada 2013, otot trapesiusnya lebih `terbentuk`

Secara keseluruhan, otot badan bagian atas Ox memang lebih besar daripada otot badan bagian bawah, khususnya pada otot trapezius yang biasanya dimiliki atlet gulat atau rugbi. Ox awalnya hendak merintis karier sebagai pemain rugbi.

Rugbi mengandalkan kekuatan dan daya tahan tubuh lebih dari sepakbola. Perebutan bola, saling menjatuhkan lawan, dan tabrakan antar pemain adalah normal dalam rugbi.

“Saya pernah sekolah rugbi,” kata Ox pada 2012, dikutip dari Sportsmole. “Saya seorang scrum-half atau terkadang bermain sebagai full-back. Saya menikmatinya sampai saya tumbuh remaja. Saat itulah secara fisikal saya bertambah besar.”

Mark Bailey, kolumnis Telegraph, menjelaskan beberapa contoh latihan para pemain rugbi profesional dalam sebuah artikel. Menurutnya, tiga latihan utama para pemain pro rugbi adalah squats, deadlift, dan bench press. Latihan-latihan itulah yang tampaknya membentuk tubuh Ox.

Ox pada akhirnya lebih memilih sepakbola. Ia ingin mengikuti jejak sang ayah, Mark Chamberlain, yang merupakan eks pemain Timnas Inggris di era 1980an.

Uniknya, di saat bersamaan, bukan hanya rugbi dan sepakbola yang ditekuni Ox, melainkan juga kriket. Pemain yang saat ini bermain untuk Liverpool itu bahkan sempat disarankan untuk menjadi atlet kriket dengan mengikuti seleksi. Ox menolak karena kriket pun ia mainkan hanya untuk kesenangan semata.

Ox mahir dalam banyak olahraga. Ia terlahir dari keluarga atlet. Selain ayahnya yang seorang pesepakbola, ibunya merupakan atlet voli. Pamannya, Neville Chamberlain, seorang eks pesepakbola profesional juga. Sementara itu adiknya, Christian Chamberlain, juga berkarier di sepakbola dan kini bermain di Notts County.

Kehebatan Ox dalam berbagai macam olahraga pun membuatnya ia menjadi pesepakbola yang pintar. Semasa di Arsenal, seringnya Ox dimainkan sebagai gelandang tengah, tapi diminta jadi sayap pun dia tetap cakap. Karena hal ini pula manajer Liverpool, Juergen Klopp, tertarik merekrutnya.

“Dia [Ox] selalu bilang, ‘Saya bisa melakukan lebih dari ini’. Jadi dia tidak berkata, ‘ayolah, mainkan saya di posisi terbaik’. Dia selalu siap, sejak hari pertama, untuk bekerja keras,” ujar Klopp ketika ditanya alasan memainkan Chamberlain sebagai pemain sayap, dinukil dari This Is Anfield. “Ini tentang hal baru yang akan dialaminya. Ini bukan tentang ‘Sepakbola Ox’, ini berbeda. Ini memberikannya kesempatan untuk melakukan hal-hal baru. Itu membantunya dan itulah yang kami harapkan.

“Dia punya talenta yang luar biasa, masih banyak hal yang bisa ditingkatkan. Itu tidak masalah. Kami mungkin tidak bisa membuatnya lebih cepat, tapi secara teknik dan taktikal, dia sudah berada di level tertinggi dan bisa mengambil keputusan yang bagus—semua pemain bisa meningkatkan itu,” sambung Klopp.

Ox merupakan pemain yang pandai. Karena itulah ia bisa mendapatkan debut senior di Southampton pada usia 16 tahun. Di Arsenal, ia langsung mendapatkan debut pada usia 18 tahun. Dari Nigel Adkins hingga Arsene Wenger menyukai karakternya yang siap bermain di posisi mana pun (Wenger pernah memainkannya sebagai wing-back).

Ox pun mahir bermain sebagai gelandang tengah tak lepas dari pengalamannya bermain rugbi. Posisi scrum-half pada rugbi adalah posisi yang menjadi jembatan antara pemain belakang dan depan alias pengirim bola dari belakang ke pemain depan (fly-half). Ini tak beda jauh dengan posisinya di sepakbola, di mana ia andal bermain sebagai box-to-box midfielder.

Di sepakbola andalan Klopp, gaya main Ox ini semakin termanfaatkan. Salah satu tugas bertahan posisi scrum-half di rugbi adalah memberikan tekanan pada pemain scrum-half lawan. Dalam sepakbola, itu bisa diartikan menekan pemain lawan yang sedang menguasai bola; identik dengan Gegenpressing yang menjadi andalan Klopp.

Lambat laun, Ox yang awalnya menjadi bahan olokan setelah hijrah dari Arsenal ke Liverpool pada awal musim 2017/18 mulai menemukan performa terbaiknya di bawah asuhan Klopp. Setelah memasuki putaran kedua musim, Ox mulai rajin menyumbang gol dan asis. Dari 17 laga pada awal 2018, dua gol dan lima asis ia cetak. Sial baginya, cedera lutut membuatnya harus mengakhiri musim lebih awal.

Komentar