Bintang Barcelona dari Keluarga Petenis

Backpass

by Redaksi 43

Redaksi 43

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Bintang Barcelona dari Keluarga Petenis

Rafael Nadal adalah pendukung Real Madrid dan dia tidak menyembunyikannya. Dia bahkan memuluskan proses transfer Marco Asensio dari Real Mallorca—klub kampung halamannya—ke Madrid. Namun Rafa juga salah satu dari sedikit orang yang turut berbahagia ketika Barcelona meraih gelar juara. Pada 1991 hingga 1999, terutama.

“Itu hal yang sangat aneh,” kata Miguel Angel Nadal. “Sebabnya mungkin karena ketika ia kecil ayahnya memakaikannya kaus Real Madrid. Dia satu dari sedikit pendukung Real Madrid yang senang ketika Barcelona memenangi gelar ketika pamannya bermain.”

Miguel Angel Nadal Homar (selanjutnya akan disebut Nadal) adalah pemain inti FC Barcelona asuhan Johan Cruyff. Sebagai pemain kunci di masa jaya Barcelona, Nadal memenangi lima gelar juara La Liga, dua Copa del Rey, empat Supercopa de Espana, satu European Cup (sekarang Liga Champions), satu UEFA Cup Winners’ Cup, dan dua UEFA Super Cup.

Nadal Sepakbola, Nadal tenis

Keluarga Nadal menggeluti dua olahraga: sepakbola dan tenis. Saat masih masih kanak-kanak, banyak orang mengira sosok kelahiran 28 Juli 1966 tersebut akan tumbuh menjadi petenis.

“Aku dulu bermain tenis sampai berusia 15 tahun,” ujar Nadal. “Malah semua orang mengira aku akan menjadi petenis daripada pesepakbola. Aku dari dulu lebih suka tenis daripada sepakbola.”

Seperti pamannya, Rafael juga menggeluti sepakbola dan tenis. Bedanya, Rafael lebih memilih tenis. Keputusan Rafael untuk lebih fokus di satu bidang pun datang lebih awal ketimbang pamannya. Rafael yakin ingin menjadi petenis setelah memenangi kejuaraan nasional U-14 di usia 12 tahun.

“Tenis adalah olahraga yang aku kuasai, bahkan walau aku menikmati sepakbola sama besarnya, mungkin lebih,” tulis Rafael dalam otobiografinya. “Aku menikmati sepakbola, tapi untuk bersenang-senang.”

Tiga tahun berselang Rafael memenangi pertandingan pertamanya di ATP, kejuaraan tenis papan atas dunia. Di usia 17 tahun Rafael mengalahkan Roger Federer. Di usia 18 Rafael memenangi pertandingan tunggal yang memastikan Davis Cup—Piala Dunia-nya tenis—dimenangi Spanyol.

Rafael berkembang sebagai petenis kelas satu di bawah arahan pamannya yang lain, Toni Nadal.

Baik Nadal maupun Rafael sama-sama memilih olahraga yang tepat. Namun selalu ada pertanyaan: mungkinkan, jika Rafael memilih sepakbola, dia akan sama suksesnya?

“Kita tidak akan pernah tahu jawabannya, karena sepakbola bukan olahraga perorangan.” kata Nadal. “Sepakbola adalah olahraga beregu dan banyak faktor yang tidak bergantung kepada diri kita sendiri. Tentu dia [Rafael] punya banyak kemampuan dan keahlian, dan dia masih punya begitu sampai sekarang.”

(Bukan) Binatang Buas Barcelona

Salah satu julukan yang disematkan kepada Nadal adalah the Beast of Barcelona. Bahkan Sid Lowe menggunakan istilah itu dalam artikel yang ditulisnya di The Guardian, hasil wawancara dengan Nadal pada 2001. Ada alasan kenapa julukan tersebut dalam bahasa Inggris.

“Sebelum aku bermain di Piala Eropa dengan tim nasional pada 1996, orang-orang Inggris menulis di surat kabar bahwa aku adalah ‘Binatang Buas Barcelona’,” ujar Nadal berkisah. “Julukan semacam itu tidak tepat. Di Spanyol aku dikenal sebagai seseorang yang bermain dengan elegan dari lini pertahanan, sama sekali tidak kotor. Aku tidak seperti Goicoechea, yang mengincar kaki lawan.”

Andoni Goicoechea dijuluki Tukang Jagal dari Bilbao. Pada 1982, tekelnya membuat Diego Maradona cedera empat bulan.

“Miguel Angel tidak kasar,” ujar Rafael mengenai citra pamannya. “Dia pemain teknis. Aku dulu sering ke stadion menontonnya bermain untuk Real Mallorca. Aku sering bermain bola dengannya di halaman.”

Pada 2007, The Times menempatkan Nadal di posisi 47 daftar 50 Pemain Terkeras. Sebagai pembanding, Marco Materazzi menempati posisi 45 dan Zlatan Ibrahimovic 44; Patrick Vieira di posisi 33 sementara rivalnya, Roy Keane, 11. Peringkat pertama ditempati, tidak lain dan tidak bukan, Andoni Goicoechea.

Hampir ke Manchester United

Pada masanya Sir Alex Ferguson sangat meminati Nadal. Ferguson nyaris memiliki Nadal di skuatnya, malah.

“Aku sudah sangat dekat dengan kepindahan [pada 1996],” ujar Nadal berkisah kepada Sid Lowe. “Satu setengah kakiku sudah di Manchester. Semuanya berjalan mulus dengan United dan aku sudah siap pindah, namun ada masalah dengan Barcelona dan di menit-menit akhir mereka menolak melepasku.”

Kesediaan Nadal pindah dari Barcelona berbarengan dengan tidak laginya Cruyff menjabat posisi Kepala Pelatih Barcelona. Nadal bertahan dan sempat bekerja sama dengan para penerus Cruyff: Carles Rexach, Sir Bobby Robson, dan Louis van Gaal. Nama terakhir tidak memberi Nadal cukup banyak kesempatan bermain.

“Aku bersedia main di Inggris,” ujar Nadal. “Lapangan di sana punya karakter yang berbeda dengan Spanyol, dan aku punya kenangan baik tentang Wembley walau kami (Spanyol) kalah di sana pada Piala Eropa 1996. Aku dapat tawaran lain setelahnya, tapi pindah di usia 20-an adalah satu hal, berbeda dengan ketika sudah lebih tua dan berkeluarga.”

Pada 1999, Nadal pulang ke Real Mallorca—klub pertamanya, klub yang dia tinggalkan untuk Barcelona pada 1991. Nadal sempat memenangi satu Copa del Rey lagi, bersama Mallorca, pada 2003. Dia pensiun di Mallorca pada 2005.

Komentar