Kreativitas yang Melahirkan Generasi Emas Kroasia Jilid Dua

Cerita

by Redaksi 24

Redaksi 24

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Kreativitas yang Melahirkan Generasi Emas Kroasia Jilid Dua

Piala Dunia 1998 bagi Kroasia adalah Piala Dunia terbaik mereka. Di Perancis, Kroasia yang kala itu berstatus sebagai tim debutan mampu mengejutkan dunia dengan pencapaiannya menempati posisi ketiga.

Performa Kroasia di Piala Dunia 1998 memang luar biasa. Di fase grup, dari tiga pertandingan yang dilakoni, Kroasia mencatatkan dua kemenangan dan satu kalah. Dengan raihan enam poin, Vatreni pun melaju ke fase gugur dengan status runner-up Grup H.

Pada babak 16 besar, Rumania berhasil dikalahkan dengan skor tipis 1-0. Kemudian di babak perempatfinal, giliran Jerman yang ditumbangkan tiga gol tanpa balas. Namun di semifinal, berhadapan dengan tuan rumah Perancis, Kroasia takluk 1-2.

Meski begitu Kroasia tetap menunjukkan bahwa mereka adalah tim yang tangguh. Kekalahan dari Perancis di semifinal dibayar tuntas ketika mereka sukses meraih kemenangan 3-1 atas Belanda di partai perebutan tempat ketiga dan keempat Piala Dunia 1998. Kemenangan tersebut membuat Kroasia pulang dengan senyum yang merekah.

Publik sepakbola Kroasia pun dibuat bangga dengan pencapaian tersebut. Terlebih pada dua tahun sebelumnya, Kroasia pun bisa menembus babak perempatfinal dalam debutnya di Piala Eropa. Julukan generasi emas pada skuat asuhan Miroslav Blazevic itu kemudian melekat.

Kroasia saat itu memang dihuni pemain-pemain bintang yang matang di kompetisi elite Eropa. Zvonimir Boban (AC Milan), Slaven Bilic (Everton), Davor Suker (Real Madrid), Robert Prosinecki (Sevilla), dan Goran Vlaovic (Valencia) menghuni skuat Kroasia kala itu.

Setelah Piala Dunia 1998 penurunan prestasi yang ditunjukkan Kroasia. Sejak tahun 2002 hingga 2014, dari tiga penampilan terakhirnya di Piala Dunia, prestasi Vatreni mentok di fase grup. Bahkan pada 2010, Kroasia gagal menembus putaran final Piala Dunia yang berlangsung di Afrika Selatan.

Perlahan namun pasti Kroasia mampu bangkit dari keterpurukan. Kebangkitan tersebut tampak jelas di Piala Dunia 2018.

Di Rusia, performa memukau ditunjukkan Kroasia. Hadangan Nigeria (2-0), Argentina (3-0), dan Islandia (2-1) di fase grup berhasil dilalui dengan kemenangan. Melalui torehan tersebut, Kroasia pun lolos ke 16 besar dengan status juara Grup D.

Di fase gugur laju Kroasia kian tak terbendung. Setelah melewati hadangan Denmark di 16 besar, giliran Rusia yang ditaklukkan di babak perempatfinal. Di fase gugur Kroasia menang lewat babak adu penalti.

Syahdan, kemenangan atas Rusia mengantar Kroasia lolos ke semifinal untuk kali pertama dalam 20 tahun terakhir. Tak ayal membuat banyak pihak menganggap tim asuhan Zlatko Dalic itu sebagai generasi emas kedua setelah skuat di tahun 1998. Apalagi Kroasia tampil menjanjikan sejak fase grup.

Tak sedikit pula yang berpandangan bahwa skuat Kroasia di Piala Dunia 2018 jauh lebih mentereng dibandingkan dengan skuat mereka di Piala Dunia 1998. Dari 23 pemain Kroasia di Piala Dunia 2018, hanya dua pemain yang berkompetisi di liga domestik: Dominik Livakovic (Dinamo Zagreb) dan Flip Bradaric (HNK Rijeka). Sisanya merupakan pemain yang berasal dari kompetisi elite Eropa dan bermain untuk kesebelasan besar seperti Luca Modric, Mateo Kovacic (Real Madrid), Ivan Rakitic (Barcelona), Ivan Perisic (Internazionale Milan), Mario Mandzukic (Juventus), Dejan Lovren (Liverpool), hingga Danijel Subasic (AS Monaco).

Cara Kroasia Melahirkan Generasi Emasnya

Sejatinya, bukan satu hal yang aneh bila Kroasia mampu menciptakan dua generasi emas untuk timnas mereka. Faktanya meski Sumber Daya Manusia(SDM) di Kroasia tidak terlalu banyak, tapi mereka dikenal sebagai salah satu negara penghasil pesepakbola terbaik di Eropa. Tujuh nama yang disebutkan di atas adalah bukti dari kepiawaian Kroasia mencetak pesepakbola andal.

Latar belakang negara Kroasia yang kerap dirundung masalah politik dan ekonomi menjadi salah satu pemicu yang membuat pembinaan olahraga di sana berkembang. Bagi sebagian besar masyarakat Kroasia, olahraga, khususnya sepakbola, memiliki tingkatan yang tinggi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.

Pada 1990, Presiden pertama Kroasia, Franjo Tudjman, pernah menyatakan bahwa atlet merupakan duta terbaik negara. Citra olahraga, khususnya sepakbola, di Kroasia juga bukan sekadar sebagai hiburan. Sepakbola dijadikan alat pemersatu bangsa. Melalui latar belakang itulah Pemerintah Kroasia gencar mengembangkan kualitas pembinaan olahraga di sana.

Dalam sepakbola, pembinaan pemain muda menjadi fokus utama Federasi Sepakbola Kroasia (HNS). Pengembangan pembinaan pemain muda di Kroasia bertumpu pada pembentukan kreativitas pemain di lapangan.

Setiap pertandingan formal di turnamen atau kompetisi U-12 dimainkan dengan ukuran lapangan yang lebih kecil, dengan jumlah pemain di lapangan hanya enam sampai delapan pemain per tim. Ini berbeda dengan negara lain. Di Inggris misalnya, sejak usia 11 tahun para pesepakbola sudah mulai bermain dengan jumlah pemain yang normal (11 lawan 11) dan ukuran lapangan yang lebih besar.

HNS meyakini bahwa cara tersebut bisa mengekspresikan kemampuan individu anak-anak. Mereka didorong untuk mengerahkan semua kreativitasnya baik dalam membangun serangan maupun bertahan.

“Kreativitas adalah yang terpenting. Kami selalu mengajari mereka untuk menjadi kreatif. Mereka akan tahu cara menembak, memainkan satu sentuhan, dan menggiring bola. Tetapi pilihan-pilihan diserahkan kepada mereka,” kata Martin Novoselac, mantan kepala pembinaan usia muda Kroasia, dilansir dari The Guardian.

Federasi Kroasia secara berkala mengeluarkan investasi sebesar 2 juta euro setiap tahunnya untuk pengembangan akademi sejak awal 2000an, di mana saat itu belum dilakukan negara lain, bahkan oleh negara seperti Inggris. Tapi menurut mereka uang bukan faktor utama Kroasia bisa memaksimalkan talenta-talentanya.

Secara fasilitas sebenarnya akademi-akademi di Kroasia tidak mendukung. Tapi itu tidak menjadi halangan bagi mereka untuk berusaha mendidik dan membina para pemainnya untuk andal dalam kualitas individu. Federasi Kroasia selalu menegaskan bahwa setiap pemain muda harus menyadari potensinya sebagai pemain Kroasia, yang sejak dulu punya ciri khas lebih berteknik dibanding negara lain.

"Julukan kami adalah `Brasilnya Eropa` merujuk pada bagaimana kami bermain," kata Vatroslav Mihacik, salah satu profesor sepakbola di Kroasia. "Kondisi di Kroasia sebenarnya jauh lebih buruk dari Inggris yang unggul fasilitas, lapangan lebih baik, banyak ahli nutrisi, ahli psikologi dan lain-lain. Tapi kami selalu berusaha bermain kreatif. Kreativitas menjadi faktor yang menentukan dalam melahirkan pemain yang bagus."

Kreativitas jadi fokus utama Kroasia. Mereka membebaskan para pemainnya saat menguasai bola. Mengasah kemampuan individu diyakini mereka sebagai salah satu fondasi meningkatkan dan membangun rasa percaya diri para pemain muda.

"Anda tidak bisa membuat seorang pemain lewat sebuah momen. Itu butuh waktu yang lama," kata Novoselac. "Hal terpenting adalah membina teknik mereka dan membuatnya terus berkembang. Para pemuda kami tidak bermain di kompetisi yang ketat sampai usia 12-13 tahun, bahkan hasil dan prestasi bukan yang utama."

"Meningkatkan kreativitas adalah yang paling utama. Kami fokus mengajarkan mereka untuk menjadi pemain kreatif. Dengan begitu mereka akan tahu bagaimana cara menendang, bermain satu sentuhan dan dribel. Tapi pilihan ada di tangan mereka. Anda bisa saja berlatih untuk 100 tahun, tapi jika kamu tidak punya kesadaran yang baik, itu tidak bagus juga," sambungnya.

Melihat pernyataan Novoselac di atas, ada kemiripan prinsip dari pengembangan pemain muda Kroasia dengan Belgia yang juga sedang memiliki generasi emas. Prestasi tidak jadi target mereka untuk usia muda. Keduanya sepakat, butuh waktu lama untuk menuai hasil sesuai yang diharapkan, karena untuk membenahi pembinaan untuk menjadi fondasi di masa yang akan datang tidak mungkin langsung menghasilkan prestasi.

Foto: @Squawka

Komentar