Inggris Hidup karena Bola Mati

Cerita

by Evans Simon

Evans Simon

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Inggris Hidup karena Bola Mati

Harapan Inggris menjuarai Piala Dunia masih hidup. Kemenangan 2-0 atas Swedia mengantarkan mereka ke semifinal pertama sejak 1990. Keberhasilan ini tidak lepas dari kesuksesan memaksimalkan situasi bola mati.

Inggris sebenarnya tidak mengawali laga yang digelar di Arena Samara ini dengan baik. Meski unggul dalam penguasaan bola sesuai prediksi, mereka justru terkesan mengikuti tempo lambat yang diinginkan Swedia dalam 15 menit pertama.

Skuat asuhan manajer Gareth Southgate baru mencatatkan tembakan pertamanya pada menit ke-19. Mereka kesulitan memasuki kotak penalti Swedia.

Memasuki menit ke-30, upaya Kieran Trippier membongkar pertahanan Swedia membuahkan sepak pojok pertama bagi Inggris dalam pertandingan.

Eksekusi Ashley Young melambung ke tengah kotak penalti. Di sana, bola bertemu dengan kepala Harry Maguire, yang memenangi adu badan melawan Emil Forsberg.

Gol Maguire sangatlah krusial karena setelah gol tersebut, Inggris bermain lebih lepas. Swedia pun mau tak mau harus bermain terbuka demi mengejar ketertinggalan. Situasi ini membuat Inggris mampu mengalirkan bola dari lini tengah ke lini depan secara lebih baik melalui umpan-umpan panjang.

Ini tentu bukan pertama kali gol Inggris berasal dari situasi bola mati. Gol Maguire adalah yang ke-8 dari total 11 gol sepanjang Piala Dunia 2018 berlangsung.

Jika dilihat lebih detail lagi, lima dari delapan gol tersebut berawal dari sepak pojok. Sedangkan tiga lainnya dihasilkan melalui titik putih.

Angka tersebut, untuk sementara, menjadikan Inggris sebagai tim paling efektif dalam memaksimalkan bola mati. Hal ini tentu terbilang mengejutkan karena dalam 72 kesempatan sebelumnya (dalam turnamen besar sejak Piala Dunia 2010), tidak ada satupun yang berbuah gol!

Perjalanan ke Amerika Serikat

Sekitar empat bulan sebelum Piala Dunia Rusia bergulir, Southgate berkunjung ke Amerika Serikat. Ia berencana menyaksikan Super Bowl LII antara New England Patriots dan Philadelphia Eagles.

Sebelum menjadi saksi mata kemenangan Eagles, Southgate menonton klub NBA Minnesota Timberwolves bermain terlebih dahulu. Ia di sana untuk mendalami kemampuan para pemain basket dalam memaksimalkan ruang sempit di bawah ring. Ia bahkan berbicara langsung kepada kepada pemilik Wolves, Glen Taylor, untuk lebih memahami cara membuka sekaligus menutup ruang.

Isu yang kurang lebih sama juga didiskusikan olehnya kepada para staf pelatih klub NFL Seattle Seahawks.

Mantan pelatih Middlesbrough itu tidak mempelajari hal ini karena ingin banting setir menjadi pelatih basket atau American Football. Ia justru ingin mengaplikasikan teknik-teknik tersebut ke dalam sepakbola.

Southgate tentu tidak sendiri dalam mengajari para pemain Inggris. Terdapat pelatih Allan Russell yang didatangkan pada Maret 2017.

Russell adalah mantan pemain profesional yang bermain sebagai penyerang. Kebanyakan tim yang dibela olehnya adalah tim-tim kecil. Saat ini, ia "hanya" memegang lisensi pelatih A UEFA. Namun, dampak yang diberikan ke skuat Inggris sangatlah besar.

Pengalaman merumput bersama tim Amerika Serikat, Carolina Railhawks (2010-2011) dan Orange County Blues FC (2014), membuat Russell menyadari betapa pentingnya taktik pergerakan tanpa bola dalam menghadapi bola mati.

"Kami semua adalah pemain top, jadi ia tidak mengajarkan kami tentang teknik atau cara menendang bola," ucap top skorer sementara Piala Dunia 2018, Harry Kane, kepada Guardian. "Ia hanya memberi tahu kami hal-hal kecil yang dapat memberi kami keuntungan."

Hal-hal kecil itulah yang akhirnya menjadi pembeda bagi perjalanan Inggris di Rusia. Kane pun mengakui bahwa "setiap detail kecil di level permainan seperti Piala Dunia" sangatlah berpengaruh.

Ketika menghadapi Panama, contohnya. Gol pertama Inggris yang dicetak oleh John Stones merupakan hasil kreasi rekan-rekannya. Mereka menarik para bek Panama dengan menjauhi sisi tengah kotak penalti. Alhasil, Stones leluasa untuk mengeksploitasi ruang yang ditinggalkan.

Ruben Loftus-Cheek, yang dipercaya tampil sebagai starter oleh Southgate dalam laga kontra Panama, pun mengakui pentingnya latihan yang diberikan oleh Russell.

"Kami menghabiskan banyak waktu berlatih situasi bola mati hingga hal-hal terkecil. Semua adalah tentang berlari dan memblok lawan. Melihatnya berhasil di atas lapangan merupakan hal menyenangkan," tutur dirinya.

Taktik yang digunakan melawan Swedia pun sedikit berbeda. Jordan Henderson dan Dele Alli berdiri tepat di atas titik putih. Sedangkan Maguire, Kane, Raheem Sterling, dan John Stones menumpuk diri di ujung kotak penalti.

Ketika Young mengekskusi bola, Henderson berlari ke tiang dekat, menarik satu bek Swedia. Adapun Stone berlari ke tiang jauh, juga menarik satu pemain lawan.

Sterling dan Alli tidak berbuat banyak. Tugas mereka berdua hanya memancing pemain Swedia untuk menjaga mereka.

Situasi tersebut menciptakan ruang bagi Kane atau Maguire untuk menusuk ke tengah kotak penalti dan menghampiri bola.

Forsberg, yang sebelumnya menempel ketat Sterling, gagal mengantisipasi pergerakan Maguire. Ia sudah telat dalam melompat. Adapun Alli, yang hanya berdiam diri, justru dikelilingi oleh tiga pemain Swedia.

Maguire mencetak gol internasional pertamanya di salah satu momen terbaik yang bisa ia dapatkan. Untuk sementara, cita-cita memulangkan sepakbola ke kampung halaman masih tetap hidup dan sehat.

Komentar