Siapa Bilang Politikus Tak Boleh Mengurus Sepakbola?

PanditSharing

by Pandit Sharing

Pandit Sharing

Ingin menulis di PanditFootball.com? Kirimkan ke sharingpandit@gmail.com

1. Lengkapi dengan biodata singkat dan akun Twitter di bawah tulisan
2. Minimal 900 kata, ditulis pada file Ms. Word
3. Tulisan belum pernah dipublikasikan di media apapun (blog, website, forum, dll)
4. Tambahkan alamat lengkap dan nomor HP (tidak dipublikasikan)

Siapa Bilang Politikus Tak Boleh Mengurus Sepakbola?

Oleh: Fahmi Hasan

Seakan menjadi sesuatu yang sulit dipisahkan, sepakbola dan politik selalu berjalan beriringan—secara harfiah ataupun sebagai metafora. Hal tersebut tentunya sudah berlangsung dalam waktu yang tidak sebentar. Apakah tidak akan berdampak negatif jika keduanya sering beriringan? Sehatkah jika demikian?

Sebenarnya wajar jika keduanya selalu berjalan bersama karena pada dasarnya sepakbola adalah cabang olahraga yang melibatkan banyak orang. Sepakbola, secara permainan, termasuk salah satu yang melibatkan atlet terbanyak. Di lapangan saja 22 orang terlibat; belum lagi para pemain cadangan, staf pelatih, hingga ofisial tim yang lain. Banyak, kan?

Di Piala Dunia, setiap tim mendaftarkan 23 pemain; rata-rata jumlah ofisial yang dibawa setiap tim 12 orang. Berdasar hitungan tersebut, maka setiap pertandingan melibatkan 70 orang. Jumlah yang tidak sedikit, kan?

Hal itu yang membuat sepakbola mampu menarik massa dalam jumlah besar. Mengapa? Mereka yang terlibat di pertandingan didukung keluarganya. Para pemain bintang punya barisan pendukung sendiri. Selain dua faktor itu, para penonton yang datang murni untuk pertandingan pun pasti ada. Jangan lupakan juga orang-orang yang hadir atas dasar nasionalisme.

Melihat jumlah massa yang bisa dikumpulkan sepakbola, wajar saja politik terlibat di dalamnya. Kenapa? Tentu karena pada dasarnya politik membutuhkan pendukung. Sebuah partai politik dapat berpengaruh lebih besar jika memiliki jumlah pendukung yang lebih banyak dari partai lawannya.

Banyak cara partai politik mendulang dukungan. Salah satunya dengan mendekatkan diri lewat kebutuhan dan kesenangan masyarakat. Pendekatan paling halus kepada masyarakat adalah lewat kesenangan mereka—lewat sepakbola.

Maka tidak heran jika pegiat sepakbola yang telah memiliki eksistensi dan popularitas yang tinggi melanjutkan petualangannya ke dunia politik. Contoh di Jawa Barat: Heru Joko yang sangat populer di kalangan Bobotoh. Contoh di daerah lain: Ketua Umum PSSI Edy Rahmayadi yang mencalonkan diri menjadi Gubernur Sumatera Utara dan bekas Ketua Umum PSSI Nurdin Halid yang mencalonkan diri menjadi Gubernur Sulawesi Selatan.

Baca juga: Keniscayaan Politik dalam Sepakbola

Itu contoh orang-orang yang mencalonkan diri. Namun pengaruh sepakbola begitu besar sampai sosok yang tidak maju pun diangkat ke kancah politik. Di Mesir, sejuta penduduk menulis nama Mohamed Salah di surat suara Pemilihan Presiden walau Salah bukan kandidat Calon Presiden Mesir.

Paragraf sebelum ini menjelaskan bagaimana sepakbola mampu mendukung politik. Lantas bagaimana dengan politik? Apakah politik mendukung sepakbola? Jika tidak saling menguntungkan dan membutuhkan, tentu keduanya tak akan besama dalam waktu lama.

Para pengelola sepakbola harus melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah, meski aturan FIFA jelas melarang intervensi pemerintah terhadap sepakbola. Namun pada kenyataannya, terutama di Indonesia yang belum mampu menjadikan sepakbola sebagai industri, itu hal sulit.

Sementara kesebelasan-kesebelasan divisi tertinggi bisa hidup tanpa APBD, kesebelasan-kesebelasan di divisi yang lebih rendah kesulitan mencari sponsor. Alhasil mereka kembali mengemis kepada pemerintah daerah agar bisa berkompetisi. Lalu sang kepala daerah bersedia membantu dengan harapan mendapat perhatian dan simpati masyarakat—yang pada akhirnya diharapkan mampu meningkatkan elektabilitas sang kepala daerah maupun partainya.

Begitulah sepakbola dan politik. Tidak ada sepakbola yang tidak politis. Pada dasarnya itulah harkat sesuatu yang dapat memengaruhi massa dalam jumlah besar. Tidak ada larangan politikus mengurus sepakbola, tapi siapa pun yang mengurus sepakbola harus melakukannya dengan benar. Ini mutlak dan berlaku untuk semua pihak, tak peduli siapa.


Penulis berprofesi sebagai dosen di Institut Teknologi Bandung. Tulisan ini merupakan hasil kiriman penulis lewat rubrik Pandit Sharing. Segala isi dan opini yang ada di dalam tulisan merupakan tanggung jawab penuh penulis.

Baca juga tulisan bertema politik lainnya.

Komentar