Anak Nakal yang Menaklukkan Inggris

Cerita

by Redaksi 18

Redaksi 18

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Anak Nakal yang Menaklukkan Inggris

Sore itu skuat Inggris tengah bersiap menjalani pertandingan kedua mereka di Grup H dalam ajang Kualifikasi Piala Dunia 2014. Lawan yang akan dihadapi adalah Ukraina. Pertandingan akan digelar di Wembley Stadium tepat pukul 8 malam. Para pemain berangkat menggunakan bus untuk menuju stadion nasional Inggris tersebut.

Ada sosok baru mengisi salah satu kursi dalam bus tim Inggris sore itu. Ia seorang anak muda yang berusia 17 tahun dan bermain untuk Liverpool, namanya Raheem Sterling.

Itu adalah kali pertama Sterling bergabung dengan tim nasional Inggris senior. Seperti kebanyakan pemain yang menjalani debut untuk tim nasional, perasaan antusias bercampur haru serta bangga juga dirasakan Sterling. Ia sudah merasakan semua sensasi itu ketika masih duduk di kursi bus, jauh sebelum kaki-kakinya menginjak lapangan pertandingan.

Ketika bus memasuki kawasan Harrow Road, suasana nostalgik langsung menyergap Sterling. Ingatan-ingatan tentang masa lalu silih berkelebat di benaknya. Harrow Road menyimpan terlalu banyak kenangan bagi Sterling.

“Itu adalah rumah tempat temanku tinggal. Di sebelah sana adalah tempat kami bermain roller skate. Dan lapangan kecil itu... ya, lapangan itu, adalah tempat semua mimpiku berawal,” batin Sterling dalam lamunannya.

***

Putar ulang waktu 12 tahun ke belakang ketika Sterling, bersama ibu dan kakak perempuannya, tiba di London untuk kali pertama dan tinggal di kawasan Harrow Road. Di ibu kota Inggris itu, Sterling yang masih berusia 5 tahun tak menemukan kehidupan yang menyenangkan seperti halnya saat masih tinggal di ibu kota Jamaika, Kingston. Dan Sterling bersama keluarganya harus menghadapi semua kesulitan itu tanpa didampingi sosok ayah yang telah meninggal dunia ketika Sterling masih berusia 2 tahun.

Tingginya biaya hidup di London memaksa ibu Sterling berkeringat lebih banyak agar bisa menafkahi putra-putrinya. Sang ibu kemudian bekerja sebagai tukang bersih-bersih di sebuah hotel yang terletak di kawasan Stonebridge, London.

Sterling dan kakaknya acap kali ikut membantu ibunya membersihkan toilet dan mengganti seprai tempat tidur yang ada di hotel tersebut. Terkadang ia bertengkar dengan saudara perempuannya itu karena sama-sama tak ingin mendapat giliran membersihkan toilet.

Di sekolahnya, Sterling adalah anak yang nakal. Ia tak pernah tertarik mendengarkan pemaparan guru tentang pelajaran. Jam istirahat selalu dinantikannya. Sebabnya tidak lain agar ia bisa bermain sepakbola bersama teman-temannya, seperti yang biasa ia lakukan ketika masih tinggal di Jamaika.

Kenakalan Sterling saat itu sampai membuat pihak sekolah memisahkannya ke sebuah kelas khusus yang hanya berisi enam orang anak, namun guru yang berjaga di kelas itu ada tiga orang. Siasat tersebut tampaknya cukup ampuh membuat Sterling kecil jera. Ia kemudian memperbaiki sikapnya dan akhirnya dikembalikan ke kelas semula.

Kendati gemar bermain sepakbola, Sterling tak pernah punya niat serius untuk menjadi pesepakbola profesional. Niatan tersebut baru muncul ketika ia bertemu dengan Clive Ellington, seorang pria pengasuh anak yatim yang tinggal di dekat rumahnya.

Ellington mengajak Sterling untuk bergabung dengan tim sepakbolanya, yang rutin melakukan pertandingan setiap hari Minggu. Sterling menerima ajakannya. Dari sana, kemampuan mengolah bola yang dimiliki Sterling semakin terlihat. Obsesi dan minatnya terhadap sepakbola pun tumbuh seiring waktu. Tekad Sterling kini bulat untuk berkarier sebagai pesepakbola di masa depan.

Ketika usianya memasuki 11 tahun, Sterling bergabung dengan tim muda Queens Park Rangers yang tertarik dengan bakatnya. Setiap kali pergi latihan, Sterling selalu diantar kakak perempuannya. Tidak hanya itu, sang kakak pun dengan sabar selalu menunggu Sterling selama berlatih. Rutinitas tersebut dilakukan sang kakak setiap hari.

Rupanya pengorbanan besar yang diberikan sang kakak membuat Sterling tersentuh. Ia pun semakin bertekad meraih mimpinya untuk menebus pengorbanan kakaknya.

Motivasi tersebut semakin berlipat-lipat ketika pada suatu hari, dari halaman belakang rumahnya, Sterling menyaksikan bagaimana megahnya Stadion Wembley yang sedang direnovasi. Ia terpana dengan besi besar yang melengkung di atas stadion tersebut. Dalam hati Sterling bergumam, “Aku akan bermain di Wembley suatu hari nanti.”

Seiring semakin kuatnya tekad Sterling, tantangan yang dihadapinya pun semakin besar. Tantangan yang harus dihadapinya bukan hanya datang dari dalam lapangan, melainkan juga dari luar lapangan.

Pada suatu hari, Sterling kedapatan tidak memperhatikan pelajaran yang sedang diterangkan gurunya di dalam kelas. Sang guru yang jengkel dengan ulah anak nakal itu kemudian memarahinya dengan melemparkan sebuah perkataan yang amat berpotensi menurunkan mental Sterling dalam meraih mimpinya.

“Raheem! Maumu sebenarnya apa? Apa kamu pikir sepakbola akan cukup untuk menjadi tujuan hidupmu? Berapa banyak anak-anak lain yang juga pernah punya mimpi yang sama namun ternyata gagal? Apa yang membuatmu spesial?”

Alih-alih mentalnya menciut dengan tamparan perkataan itu, Sterling justru semakin terpacu untuk membuktikan bahwa dirinya bisa. “Apa yang membuatku spesial? Baiklah, kita lihat saja nanti,” ucap Sterling dalam hati.

Dua bulan kemudian, Sterling dipanggil tim nasional Inggris U-16 untuk pertama kalinya. Ia kemudian diturunkan dalam sebuah pertandingan melawan Irlandia Utara, dan mencetak dua gol. Semua aksi hebatnya terekam dalam siaran televisi.

Tepat hari Senin, ketika ia kembali ke sekolah, teman-teman serta guru yang dahulu memarahinya seketika menjadi sangat lembut sikapnya kepada Sterling. Anak nakal itu tiba-tiba menjadi pujaan banyak orang di sekolah.

Dua tahun setelahnya, saat usianya memasuki 17, Sterling naik tingkat ke tim nasional Inggris senior. Dan pertandingan melawan Ukraina di kualifikasi Piala Dunia 2014 itu, adalah debut yang akan selalu membekas dalam benaknya.

***

Kini di Piala Dunia 2018, Sterling masih menjadi andalan The Three Lions. Ia termasuk dalam 23 pemain yang diboyong Gareth Southgate ke Rusia.

Di dua laga awal fase grup yang sejauh ini telah dimainkan Inggris, Sterling selalu diturunkan sejak menit awal. Kontribusinya pun kentara. Pada pertandingan kedua Inggris di fase grup melawan Panama, Sterling mencatatkan 2 asis dari total 6 gol yang dijaringkan Inggris ke gawang Panama. Melansir Telegraph, Southgate mengakui betapa besarnya peran Sterling untuk tim nasional Inggris di Piala Dunia tahun ini.

Sterling telah membuktikan bahwa keseriusan tekadnya untuk menjadi seorang pesepakbola dan bermain di Wembley bukanlah bualan belaka. Bocah nakal dari Jamaika yang dahulu ditempa oleh kerasnya kehidupan di London itu, kini telah menaklukkan Inggris lewat mimpi yang diraihnya.

Komentar