Piala Dunia Menghentikan Sejenak Nestapa di Perbatasan

Cerita

by Redaksi 18

Redaksi 18

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Piala Dunia Menghentikan Sejenak Nestapa di Perbatasan

Nina Kovalyova mencintai sepakbola sebagaimana sebagian besar warga Ukraina lainnya. Akan tetapi sepakbola tak bisa dinikmati seperti olehnya seperti dulu setelah mulai terjadinya perang antara kelompok separatis kontra pemerintah Ukraina di wilayah Donetsk yang berbatasan langsung dengan Rusia, pada Maret 2014.

Tak ada lagi sepakbola yang bisa dinikmati Nina. Dahulu, sebelum perang berkecamuk, perempuan paruh baya ini getol mengunjungi Donbass Arena untuk menyaksikan Shaktar Donetsk berlaga. Anak perempuan, cucu, sampai menantunya sering ia ajak ke stadion.

Sekarang, jika ingin menyaksikan Shaktar Donetsk berlaga secara langsung, maka Nina harus menempuh perjalanan jauh sepanjang 322 kilometer menuju Kota Kharkiv. Markas Shaktar sudah pindah ke sana sejak 2017. Sebelumnya, Shaktar juga sempat hijrah ke Kota Lviv yang berjarak 1.200 kilometer dari Donetsk.

“Segalanya amat terasa menyenangkan ketika [pertandingan] dekat dari rumah. Ketika [tim] harus mengungsi ke tempat lain, rasanya akan sangat berbeda,” ujarnya.

Sebagai seorang yang gemar menonton pertandingan sepakbola, pergelaran Piala Dunia 2018 jelas tak luput dari perhatiannya. Nina pun mengaku ingin sekali menyaksikan pertandingan-pertandingan hebat di ajang empat tahunan tersebut. Namun sayangnya keinginan itu pudar karena terbatasnya akses yang tersedia.

Seiring ketegangan dengan Rusia, pemerintah Ukraina tak mengizinkan televisi nasional mereka untuk menyiarkan pertandingan-pertandingan Piala Dunia 2018. Alasannya, mereka khawatir Rusia akan menyusupinya dengan propaganda-propaganda. Federasi Sepakbola Ukraina juga tidak memberikan izin kepada para jurnalis di sana untuk melakukan liputan ke Rusia. Bahkan beberapa politikus di negara tersebut menyerukan pemboikotan terhadap Piala Dunia.

Walau berbagai pembatasan dilakukan oleh pemerintah, gairah publik Ukraina dalam menyambut Piala Dunia tetap besar. Hal ini membuat dua saluran televisi di Ukraina memutuskan untuk tetap menyiarkan Piala Dunia. Dilaporkan juga oleh New York Times, sebanyak 6.000 fans sepakbola Ukraina memutuskan untuk pergi ke Rusia guna menyaksikan Piala Dunia secara langsung.

Banyak juga pencinta sepakbola di Donetsk yang menyaksikan Piala Dunia bersama-sama di sebuah bar. Dengan melakukan nonton bareng, atmosfer pertandingan bisa tetap terasa seperti halnya menonton di stadion.

“Kau tahu, tidak banyak orang bisa pergi ke Rusia untuk menyaksikan kejuaraan ini. Sejak akses ke Rusia melalui Rostov ditutup akibat perang, banyak pencinta sepakbola di Donetsk berkumpul di bar ini agar bisa menonton sepakbola dengan atmosfer yang tak kalah hebatnya seperti di stadion,” ujar Naira Fan kepada AFP.

Gairah besar ini tidak hanya terlihat di kalangan penduduk sipil. Di kalangan anggota militer Ukraina—yang sejatinya berkonfrontasi langsung dengan para pemberontak yang didukung Rusia—demam Piala Dunia juga terasa.

“Sepakbola dapat menyembuhkan penat di kepalamu,” sebut salah seorang anggota militer Ukraina bernama Nikolai kepada New York Times. “Ketika kau melihat bola dioper oleh seorang pemain, maka semua beban yang hinggap di kepalamu akan sirna dengan seketika.”

Bersama seluruh koleganya, Nikolai menyaksikan laga pembuka Piala Dunia 2018 di markas besar Batalion ke-2 dari Brigade ke-92 yang berlokasi di Kota Avdiivka, Donetsk. Di dalam sebuah bangunan yang kondisinya sangat tak layak, Nikolai menikmati jalannya pertandingan antara Tim Nasional Rusia kontra Arab Saudi.

Namun berbeda dengan anak buahnya, Komandan Batalion ke-2, Oleg A., sama sekali tak punya minat yang besar terhadap sepakbola. Baginya, balapan Formula One jauh lebih masuk akal ketimbang sepakbola.

“Aku tak mengerti dengan 22 orang yang begitu siibuk berlari mengejar-ngejar bola,” tuturnya. Oleg lebih memilih untuk berjalan-jalan keluar sambil mengontrol daerah sekitar.

Berkah didapatkannya. Di hari itu tak ada satu pun suara ledakan atau tembakan yang didengarnya dari pasukan pemberontak. “Aku kira tak akan ada serangan tembakan [dari pasukan pemberontak] untuk dua jam ke depan. Rusia sedang bertanding, dan semua orang pasti sedang menyaksikannya,” ujarnya.

Komandan Oleg baru kembali ke markas saat separuh laga sudah berjalan. Kedudukan sementara menunjukkan Rusia unggul dua gol dari Arab Saudi.

Selain Oleg, beberapa personel lain yang memilih untuk tidak menyaksikan pertandingan adalah Alexei J dan Dmitry Yarovoy. Keduanya pun punya alasan masing-masing.

Alexei tidak ikut menonton karena prinsip yang dimilikinya. Ia tak sudi duduk berlama-lama hanya untuk menyaksikan musuh mereka sendiri bermain. Sambil menunjukkan bekas luka akibat perang di sekujur tubuhnya, ia berkata, “Semua pecahan ini telah membuatku tak sudi menyaksikannya,” ujarnya.

Sementara Yorovoy tak ikut menonton karena alasan keamanan yang sangat rentan terusik setiap saat. “Kita tidak sedang berada di tempat dan waktu yang tepat untuk menonton sepakbola,” tegasnya.

Walau ketiga orang tersebut ogah ikut menonton, antusiasme tak luntur sedikit pun dari raut wajah mereka yang menyaksikan laga dengan saksama. Salah satunya, Kapten Dima Shvets.

Sambil duduk di sebuah kursi, Shvets tampak dimanjakan betul oleh aksi-aksi yang disuguhkan Aleksandr Golovin dan kawan-kawan di lapangan hijau. Kemudian terucap dari mulutnya bahwa ia harus menghadiri langsung pertandingan Piala Dunia suatu hari nanti.

Pernyataan itu disusul pertanyaan yang dilemparkan oleh seseorang kawannya, “Meski pun itu di Rusia?”

“Aku lebih suka pergi ke Brasil,” jawab Shvets tegas.

Walau efeknya mungkin tidak begitu besar, setidaknya fenomena ini menunjukkan bahwa sepakbola mampu membuat sekelompok orang berhenti berperang dan melakukan pertumpahan darah. Di Donetsk, kenestapaan akibat perang bisa terhenti sejenak berkat Piala Dunia.


Tulisan ini sebagian besar disadur dari artikel The New York Times, "Watching the World Cup in a War Zone, Where Every Goal Matters".

Komentar