Musuh Bersama Jadi Pahlawan Negara

Cerita

by Redaksi 24

Redaksi 24

Pandit Football Indonesia mengkhususkan pada analisis pertandingan sepakbola, statistik dan liga, juga sejarah perkembangan sepakbola dan evolusi taktiknya

Musuh Bersama Jadi Pahlawan Negara

Kalau bukan karena Ricardo Gareca, Peru mungkin tak perlu menunggu hingga 36 tahun untuk kembali tampil di putaran final Piala Dunia. Namun kalau bukan karena Gareca penantian panjang Peru mungkin masih terus berlanjut.

Tarik mundur ke pertengahan tahun 1985, saat kualifikasi Piala Dunia 1986 digelar. Saat itu Peru punya peluang besar meraih tiket lolos otomatis ke putaran final Piala Dunia. Syaratnya: mengalahkan Argentina di pertandingan terakhir Grup 1 Kualifikasi Zona CONMEBOL. Di klasemen sementara, Peru berada di peringkat kedua dengan 7 poin; hanya 1 angka di belakang pemuncak klasemen, Argentina.

Di Stadion La Bombonera, 30 Juni 1985, skuat Peru menatap pertandingan melawan Argentina dengan penuh percaya diri. Permainan impresif mereka membuat Diego Armando Maradona dkk. kepayahan. Hingga menit ke-80, Peru masih unggul 2-1.

Jelang pertandingan berakhir, Gareca muncul sebagai sosok antagonis. Penyerang berjuluk El Tigre itu sukses mencetak gol penyama kedudukan setelah menerima umpan matang Maradona. Skor imbang 2-2 bertahan hingga akhir laga. Hasil tersebut sebenarnya belum membuat peluang Peru tampil di Meksiko sirna. Mereka masih memiliki satu kesempatan untuk lolos melalui babak play-off. Sayangnya kesempatan tersebut gagal dimaksimalkan. Peru takluk 2-4 dari Chili di laga penentuan.

Peru terpuruk setelah kegagalan tersebut. Dalam 36 tahun berikutnya, setiap usaha Peru untuk kembali tampil di Piala Dunia selalu kandas. Bagi sebagian publik Peru, sosok Gareca adalah biang keladi kegagalan tim nasional mereka menembus putaran final Piala Dunia 1986. Tentu saja Gareca tidak ada sangkut pautnya dengan delapan kegagalan setelahnya. Meski demikian tetap saja sebagian besar masyarakat Peru menganggap Gareca musuh bersama.

Kebencian terhadap Gareca yang tertanam dalam sebagian masyarakat Peru tampak saat Federasi Sepakbola Peru menunjuk Gareca sebagai kepala pelatih Los Incas di tahun 2015. Keputusan tersebut banyak ditentang publik.

“Saya selalu diingatkan akan gol itu segera setelah saya tiba di Peru, tapi saya tidak pernah melihatnya sebagai sesuatu yang harus saya perbaiki. Saya hanya melakukan apa yang harus saya lakukan sebagai seorang pemain Argentina,” kata Gareca, dilansir dari laman web FIFA.

Federasi Sepakbola Peru bergeming atas keputusan yang dianggap kontroversial itu. Melalui rekam jejak Gareca yang gemilang sebagai pelatih, pihak federasi yakin Gareca mampu membawa Peru bangkit dari lembah keterpurukan.

***

Gareca memulai karier kepelatihannya di Club Atletico Talleres pada 1996, dua tahun setelah dirinya memutuskan gantung sepatu. Prestasi terbaik Gareca selama melatih sendiri diraihnya saat menukangi Club Atletico Velez Sarsfield dari 2009 hingga 2013. Dalam empat tahun, Gareca membawa Velez meraih tiga gelar Clausura.

Pada 2015, beberapa bulan sebelum Copa America digelar, Gareca diperkenalkan sebagai Kepala Pelatih Timnas Peru. Gareca sadar bahwa dirinya pernah punya pengalaman kelam menyangkut Peru, yang membuat banyak orang di negara tersebut membencinya. Maka saat mendapat mandat menukangi Peru, misi utamanya adalah mengangkat Peru dari keterpurukan.

Gareca membenahi banyak hal demi membawa angin perubahan bagi sepakbola Peru. Fokusnya tak hanya di lingkup penerapan taktik dan strategi. Lebih dari itu, Gareca juga menerapkan banyak aturan ketat agar para pemainnya disiplin.

Gareca juga fokus membenahi mental bertanding anak asuhnya yang rapuh. Ia melihat Peru sebagai negara yang punya talenta sepakbola luar biasa, hanya saja mental para pemainnya tidak teruji dengan baik. Maka di awal kepemimpinannya di Peru, ia mendatangkan psikolog untuk membantu para pemainnya meningkatkan kepercayaan diri, terutama saat menghadapi pertandingan melawan tim besar.

Perlahan tapi pasti Gareca mampu mengangkat performa Peru. Di Copa America 2015, Peru yang berstatus kuda hitam dibawa Gareca menduduki peringkat ketiga. Di Copa America Centenario 2016, Peru dibawanya melangkah hingga perempat final.

Peru gemilang di Copa America yang menggunakan sistem turnamen, namun kewalahan di kualifikasi Piala Dunia yang menerapkan sistem kompetisi penuh.

Los Incas memulai kualifikasi dengan catatan minor. Dari enam laga awal, Peru hanya meraih satu kemenangan. Sisanya berakhir dengan empat kekalahan dan satu hasil imbang. Pertandingan ketujuh menjadi titik balik. Peru menang tiga gol tanpa balas atas Bolivia.

Setelah itu, performa Peru meningkat dan secara perlahan mampu merangkak ke lima besar klasemen sementara. Situasi tersebut membuat Peru berpeluang besar lolos otomatis ke Piala Dunia 2018. Hingga pertandingan terakhir di babak kualifikasi, Peru bersaing sengit dengan Kolombia untuk menempati empat besar, syarat untuk mendapat tiket lolos otomatis ke Rusia.

Peru dan Kolombia bersua di pertandingan penutup kualifikasi. Hasil akhir pertandingan, 1-1, amat tak menguntungkan Peru. Akibat hasil tersebut mereka harus menjalani pertandingan play-off untuk mencapai Rusia. Situasi ini seperti menyeret Peru kembali ke masa suram, saat gagal mencapai Piala Dunia 1986.

Namun kali ini keberuntungan berpihak kepada Peru. Menghadapi Selandia Baru, Peru meraih keunggulan agregat 2-0 (0-0, 2-0). Hasil tersebut membuat Peru menjadi tim terakhir yang lolos ke Piala Dunia 2018.

“Biar bagaimana, kita sudah sampai ke Piala Dunia sekarang, jadi tidak ada lagi yang mengatakan hal-hal tentang aku berutang kepada mereka! Aku mendapat dukungan tanpa syarat dan banyak cinta,” ujar Gareca.

Komentar